Kiswah adalah kain yang menutupi Ka’bah di Makkah, Saudi Arabia. Kain ini biasanya diganti setiap tahun pada tanggal 9 Dzulhijjah, hari ketika jamaah haji berjalan ke Bukit Arafah pada musim Haji. Nama kiswah dalam bahasa Arab berarti ‘selubung’ (kain yang dikenakan pada peti) dan seasal dengan kata kisui dalam bahasa Ibrani.
Setiap tahun, kiswah lama diangkat, dipotong-potong menjadi beberapa bagian kecil dan dihadiahkan kepada beberapa orang, pejabat Muslim asing yang berkunjung dan organisasi asing. Beberapa di antara mereka turut bertukar suvenir Haji.
Pada masa-masa sebelumnya Umar bin Khattab memotong-motongnya dan membagi-bagikannya kepada para jamaah yang hendak menggunakannya sebagai pelindung dari panasnya suhu kota Makkah.
Biaya pembuatan kiswah saat ini mencapai 17.000.000 Riyal Saudi. Kain ini memiliki luas 658 m2 dan terbuat dari sutera seberat 670 kg. Jahitannya terdiri dari benang emas seberat 15 kg. Kain ini terdiri dari 47 bagian kain dan masing-masing kain memiliki panjang 14m dan lebar 101m.
Kiswah dipasang mengitari Kakbah dan direkatkan ke tanah menggunakan cincin tembaga Jahitan ayat-ayat Quran yang biasanya dirancang secara manual sekarang dibantu oleh komputer yang mempercepat masa pembuatan kain ini.
Disebutkan dalam kitab Fiqih Empat Madzhab bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman bagi seseorang yang mencuri kain kiswah Ka’bah. Berikut pendapat masing-masing madzhab:
Menurut madzhab Malikiyah siapa yang mencuri sesuatu dari dalam Ka’bah pada waktu ada izin untuk boleh memasukinya maka yang bersangkutan tidak dikenakan hadd. Tapi jika tidak pada waktu diizinkan memasukinya maka pencuri tersebut dikenakan hadd jika ia sampai mengeluarkannya sampai ke tempat thawaf.
Menurut madzhab Syafi’iyah dikenakan hadd bagi orang yang mencuri tirai/kiswah Ka’bah jika dikelilingkan padanya karena tirai tersebut dianggap terjaga ketika itu.
Menurut madzhab Hanabilah siapa yang mencuri tirai Ka’bah atau barang yang ada di dalam Ka’bah dan mencapai nisab maka yang bersangkutan dikenakan hukuman hadd. Karena perbuatannya tersebut dianggap telah menodai kehormatan dan kemuliaan Baitullah. Hal tersebut juga menunjukkan kelemahan imannya dan tidak mengindahkan kehormatan Kaabah yang disebut sebagai Baitullah maka harus ditegaskan hukuman baginya yaitu dengan hadd.
Menurut madzhab Hanafiah siapa yang mencuri tirai K’bah dan mencapai nisab maka yang bersangkutan tidak dikenakan hadd karena barang tersebut dianggap tidak ada yang memilikinya. Kemudian yang berangkutan mungkin saja dia hanya bermaksud atau mengharap keberkahan dengan mengambilnya.
Makna hudud (bentuk jamak dari hadd) secara istilah cukup banyak didefinisikan oleh para ulama, sesuai dengan kriteria tentang hukum hudud dalam pandangan mereka.
Intinya para ulama sepakat bahwa makna hudud adalah hukuman yang sifatnya ketetapan dari Allah atas pelanggaran dosa, dimana bentuk, tata cara dan teknis hukumannya bukan ditentukan oleh manusia, seperti nabi, shahabat atau para ulama, namun semua telah ditentukan langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan istilah hudud pada makna aslinya sebenarnya mengacu kepada bentuk hukuman yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan, namun terkadang juga dipakai untuk menamakan perbuatannya juga.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menetapkan hukum hudud, berupa pemotongan tangan, buat orang yang mencuri harta milik orang lain yang telah memenuhi semua ketentuan dan syarat pemotongan tangan.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 38)