Para asatidzah MIUMI yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Izinkan saya berbagi tentang hukuman mati dari perspektif ilmu di bidang saya. Materi kajian ini pernah saya sampaikan di International Halal Conference di Makassar tahun 2013.
Hukuman mati dengan pancung itu jauh lebih baik dan lebih manusiawi dibandingkan dengan cara hukuman mati apapun, lebih-lebih dengan tembak (shooting). Mengapa? Kajian ilmiahnya begini:
Hukuman mati dengan cara metode Barat atau dengan tembakan, algojonya banyak, namun senapan yang berisi peluru tajam cuman 1. Itu artinya, yang ditembak cuman 1 organ: jantung saja atau otak saja.
Kalau jantung yang ditembak, otak masih berfungsi sehingga orang yang dieksekusi tidak segera mati.
Kalau otak yg ditembak, jantung masih aktif berdetak, maka tidak segera mati. Di harian Kompas tahun 2005 pernah dibahas bahwa terpidana hukuman mati dengan cara ditembak akan menemui ajalnya 20-30 menit setelah tembakan.
Jangan dikira sakitnya seperti apa! Konon kabarnya, pembantai keluarga dokter di Purwokerto itu matinya sekitar 25 menit setelah dieksekusi regu tembak di Nusa Kambangan.
Sebaliknya, yang cara Islam adalah dengan pancung. Algojonya cuma 1 dengan pedang yang amat sangat tajam. Sekali tebas, kepala lepas. Sekilas mengerikan. Namun ternyata, ketika leher putus, “kabel” penghubung antara otak dan jantung (spinal cord) langsung putus. Ketika hubungan otak-jantung putus, jantung kehilangan kontak dengan otak. Akibatnya, jantung langsung berhenti berdetak. Orang mati seketika, tidak perlu berlama-lama merasakan sakit.
Bahkan didasarkan penelitian oleh Prof. Wilhelm Schulze dan Dr. Hazim dari College of Veterinary Medicine, Hannover University, German, kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang dipancung itu tidak merasakan sakit, karena tidak ada saraf sakit yang tersentuh.
Kesimpulannya, syari’at Islam tentang hukuman mati dengan cara dipancung itu scientifically excellent.
Kajian ini hampir selalu ana sampaikan saat tugas khutbah shalat Idul Fithri dan Idul Adha, termasuk saat tugas di KBRI London tahun 2011 (saat saya masih sekolah S3 di UK).
Ustadz Dr. Nanung Danar Dono
Dosen Fakultas Peternakan UGM, pengurus MIUMI Yogyakarta.