Seorang teman pernah berkata dengan tegas, bahwa ia tidak akan memilih pasangan hidupnya dari orang-orang terdekatnya. Ia menegaskan, bahwa menikah dengan teman satu organisasi bukan menjadi pilihan yang baik. Di lain waktu, teman yang lain mengatakan hal yang serupa namun dengan sedikit improvisasi, bahwa ia tak ingin menikah dengan teman dari satu organisasi, namun ia juga tak ingin menolak, jika yang datang melamar adalah teman satu organisasi. Alasannya cuma satu, “saya takut malah jadi menolak jodoh yang sholih”
Pada kisah yang lain, seorang ibu sering marah kepada anaknya, karena sang anak bekerja bukan pada bidang yang ia pelajari saat kuliah. Saat kuliah ia belajar akuntansi, kemudian ketika lulus, ia malah mengajar bahasa Inggris. Sang ibu mempunyai idealisme yang mendorong dirinya untuk mengatakan, bahwa sia-sia saja anaknya kuliah di jurusan akuntansi, toh sekarang bukan kerja di Bank atau bekerja sebagai accounting, eh malah mengajar bahasa inggris. Setiap dimarahi oleh ibunya, ia hanya bisa terdiam. Karena tak dipungkiri, ia pun jadinya merasa salah jurusan.
Dua kisah diatas adalah kisah nyata, kisah yang ada disekitar penulis. Penulis sendiri termasuk orang yang dikebiri oleh idealisme keluarga dekat, yang mengatakan bahwa menjadi pegawai negeri adalah semacam garis keturunan, dan wirausaha bukan menjadi pilihan yang baik. Yaa.. begitulah, walau sekarang penulis tetap pada pilihan untuk berwirausaha.
Dalam kehidupan, idealisme bisa menjadi kereta kuda yang membuat kita bergerak cepat sampai ke tujuan, tapi di sisi lain, jika idealisme itu kita anggap tuhan, dan selalu membenarkan walaupun sudah terasa tak cocok lagi untuk menjalani hidup, maka yang timbul adalah kekecewaan dan kesedihan yang berat.
Kita bisa menerka-nerka, andai saja Yorris Sebastian memilih untuk tetap melanjutkan kuliahnya, mungkin ia takkan menjadi sesukses sekarang, atau Bill Gates, atau bahkan Thomas Alfa Edison yang tak lagi menuntut ilmu di sekolah formal sejak tingkat dasar. Semua itu karena merekalah yang mengendalikan idealisme, bukan idealisme yang menendalikan mereka.
Idealisme bukanlah tuhan, yang selalu kita patuhi perintahnya dan kita jauhi larangannya. Idealisme hanya sekedar peta untuk penunjuk jalan, dimana untuk mencapai sebuah tujuan, kita bisa menggunakan ribuan bahkan jutaan jalan.
Oleh: Irshad Abdassah Noor, Bekasi