Suatu saat muncul pertanyaan pada saat proses pemilihan Pemimpin di suatu kampus, “Ideologi anda apa?” Maka para calon pemimpin menjawab “Islam”, ada juga yang “nasionalis”. Mungkin itu dialog imajiner, mungkin juga nyata yang terjadi di tengah-tengah kita. Tapi tidak ada yang bertanya balik. “Menurut anda ideologi sendiri itu apa?”. Ideologi, katanya dibentuk dari pemikiran yang berada dalam kepala ini. Edios dan Logos, atau Konsep dan pengetahuan. Yang kata Tracy , dengan konsep tentang pengetahuan (sciences of ideas) ini yang diyakini, sebagai dasar dan pedoman yang dijunjung tinggi. Senada dengan itu, Descartes mengatakan Inti dari pemikiran manusia. Mirip dengan F Bacon, Sintesa pemikiran mendasar, namun ia menambahkan tentang konsep hidup. Lalu dari mana munculnya apa yang disebut pemikiran ini?
“ Weltanschauung” (Jerman) kata Immanuel Kant (1724 – 1804). Yang artinya persepsi inderawi terhadap dunia (sense perception of the world). Munculnya ideologi yang seseorang anut, dari apa yang ada dalam pikirannya memandang sekitarnya. Lalu dipopulerkan istilah weltanschauung oleh murid-muridnya, J. G Fichte, F W Joseph von Schelling. Merealisasikan diri memahami alam sekitar yang akhirnya mempengaruhi ideologi yang di’imani’nya.
Kalangan intelektual pun mulai menggunakan istilahnya. Ada Schleirmacher, Novalis, para filsuf seperti J. Paul Sarte, sampai Hegel , dari Gorres sampai Wolfgang. Mulailah istilah ini diserap oleh berbagai disiplin ilmu. Ada Feurbach dalam Teologi, Wilhem yang ahli bahasa itu, sampai dua abad kemudian Istilah ini di pinjam Barat. Dalam bahasa inggris Weltanschauung ini menjadi Worldview. (The Worldview of Islam, Adnin Armas, MA mengutip David K Naugle, Worldview : The History of a Concept ). Ternyata, yang memengaruhi ideologi memang worldview seseorang. Ya! Cara memandang orang tersebut terhadap dunia –atau pandangan hidup seseorang.
Makanya, ketika ditanya, “Ideologi anda apa?”, jawabnya bermacam-macam, karena konsep –konsep memandang sesuatupun bermacam-macam. Dr. Hamid Fahmy Zakarsy menulis :
“Cara pandang yang bersumber pada kebudayaan memiliki spektrum yang terbatas pada bidang-bidang tertentu dalam kebudayaan itu. Cara pandang yang berasal dari agama dan kepercayaan akan mencakup bidang-bidang yang menjadi bagian konsep kepercayaan agama itu. Ada yang hanya terbatas pada kesini-kinian, ada yang terbatas pada dunia fisik, ada pula yang menjangkau dunia metafisika atau alam diluar kehidupan dunia. Terma yang dipakai secara umum untuk cara pandang ini dalam bahasa Inggeris adalah pandangan hidup (worldview) atau filsafat hidup (weltanschauung) atau weltansicht (pandangan dunia).” (Makalah Diskusi Sabtuan INSIST, Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam) .
The Oxford English Dictionary mendefinisikan welthanschauung sebagai sebuah filsafat khusus atau “pandangan tentang kehidupan”. Jadi, yang mempengaruhi ideologi seseorang adalah worldviewnya. Konsepsi sebuah individu atau kelompok (a particular philosophy or view of life; concept of the world held by an individual or a group).
Kalau ada calon pemimpin yang menjawab Islam. Artinya, secara logis, pemikirannya di pengaruhi oleh Islam. Beda dengan Barat, Timur, Kiri, dll. Ketika menjawab Ideologi Islam, artinya framework (kerangka berpikir) tentang Islam terkonsrtuksi dan dimulai dari worldview Islam yang berasal dari sumber-sumber kalangan Islam. Sayyid Qutb menyebutnya Tathawur Islami. Ada juga istilah Mabda, bagi Alif Zain. Prof. Al Attas, mengistilahkan Ru’yatul Islam lil wujud (Islamic Worldview). Begitupun jika ada yang menjawab sosialis, misalnya. Pandagan dunia (worldview) Marx – Lenin sangat berpengaruh. David K Naugle menulis:
“Its origin coincided with the appearance of the workers’ revolutionary movement. Marxist – Leninist worldview is a power full tool for the revolutionary transformation of the world. It’s one of the desicive forces that organizes people in the struggle for socialism and communism. In the contemporary world there is an acute struggle between two opposing world views. – the communist and the bourgeois. The influence of Marxism-Leninism, which triumphs through the strength of truth and the validity of its consistently scientific premises, is growing during this struggle” (Worldview: History of the Concept)
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan agama kini telah banyak yang menggunakan worldview sebagai matrik atau framework (kerangka kerja) . Dari worldview inilah lahir konsep-konsep sebagai framework yang digunakannya. Kata Ninian Smart, seorang pakar perbandingan agama, worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral”. Mirip dengan ideologi itu sendiri. Thomas F Wall, dalam bukunya “Thinking”, mengatakan worldview sendiri sebagai sistem asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan makna eksistensi “ Adanya penambahan beberapa poin. Prof. Alparslan Acikgence, menegaskan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia. Semuanya dapat dilacak dalam pandangan hidupnya. Worldview memang tidak dapat dipisahkan dengan Ideologi seseorang.
Lalu dari mana dibentuknya worldview ini. Ini bagaikan lingkaran setan. Ideologi-worldview– proses pembentukan – ideologi. Banyak lapisan makna didalam worldview. Membahas worldview bagaikan berlayar kelautan tak bertepi (journey into landless-sea) kata Nietsche. Makanya untuk memutusnya, Para ahli sepakat nampaknya, kata worldview ini selalu di tambahkan predikat kultural. Jadilah istilah Western Worldview, Islamic worldview, Christian Worldview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern worldview, seculer worldview, dll semuanya memiliki cara pandang yang berbeda-beda dan ekslusif. (Dr. Hamid Fahmy Zakarsy, worldview, Jurnal ISLAMIA thn 2 no 5 April hal 118)
Mulai dari situlah muncul ideologi. Menurut Ahli Filsafat ini, Thomas F Wall, suatu pandangan hidup ditentukan oleh pemahaman individu terhadap enam bidang pembahasan yaitu Tuhan, Ilmu, realitas, Diri, etika, masyarakat. Sikap individu terhadap enam masalah pokok inilah yang menentukan worldview seseorang. Ia mengatakan
It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, If we are consistent, we will also believe that the source of moral value is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that there is a higher reality – the supernatural world. ..if on the other hand, we believe that there is no God and that there is just this one world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on (Thomas F Wall, Thinking About Philosophical Problem p. 60)
Thomas F Wall, mengistilahkan percaya pada Tuhan adalah sangat penting dan mungkin elemen terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama, jika kita percaya bahwa Tuhan itu ada, maka kita akan mengetahui dari Tuhan tentang arti dan tujuan hidup kita. Kemudian, kita akan tahu bahwa sumber moralitas adalah dari Tuhan, bukan sekedar kesepakatan manusia. Tuhan adalah suatu eksistensi dengan nilai mutlak tertinggi. Dan kita mempercayai bahwa ada eksistensi yang lebih tinggi yaitu alam metafisik. Sebaliknya, jika kita tidak percaya pada Tuhan dan alam itu hanya satu, apakah kita akan memercayai hakikat kehidupan? Arti hidup, hakekat diri kita, sumber standar moralitas , kebebasan, tanggung jawab, dan lain-lain, Kata Thomas F Wall dalam bukunya yang sangat fenomenal , yang di gelari Profesor Filsafat abad ini.
Kutipan diatas menjelaskan adanya kaitan antara worldview dengan realitas, ilmu dan moralitas. Secara konseptual hubungan pandangan hidup dengan epistemologis (konsep keilmuan) melibatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip ontologi (hakikat sesuatu) , kosmologi (struktur) dan aksiologi (perbuatan)
Jadi, ideologi kaum atheis. Berbeda dengan ideologi kaum agamis. Ideologi sosialis, dengan kapitalis tentunya bebeda. Humanis dengan Agamis tentunya berbeda. Liberal dengan Nasionalis tentunya berbeda, Jadi jangan heran, mereka seolah-olah nggak bisa akur secara pemikiran. Sebab worldview-nya saja sudah beda. Kata Prof. Alparslan, setidaknya konsep-konsep yang berseliweran dalam pikirannya, membentuk framework, seperti konsep ilmu, konsep kehidupan, manusia, dunia, dan nilai. Inilah worldview seseorang, memandang konsepsi tentang hal-hal tersebut. Inilah yang membentuk Ideologi.
Maka, aneh jika ada ungkapan, “kalau anda mau objektif anda harus keluar dari (cara pandang) Islam” . Katanya, “ Menilai sesuatu harus objektif, jangan membawa-bawa Ideologi”. Tapi hal ini aneh karena kita ketahui ”If you get out of Islamic framework I will be epistemologically no longer Muslim”. Cacat epistemologi!. Setiap Ideologi, memilik framework sendiri. Memahami Islam, nggak bisa dengan framework Barat. Jika memahami Islam dengan alam pikiran sekuler, bisa jadi Qur’an manifesto sekulerisasi ala mereka. Makanya, kata Sayyed Hossein Nasr, setiap ideologi tidak bisa saling memakai framework ideologi lainnya. Begitulah, jika realitas realitas objek dipisahkan dari alam pikiran subjek, jika realitas data dan fakta tidak diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (worldview), maka akan menjadi sesuatu yang hampa, bahkan tidak bermakna.
Maka, tidak perlu aneh, jika ada pertanyaan “Menurut ANDA, agama lain salah atau tidak? “ Jika dia ber-ideologi, maka ia akan menjawab tegas, antar alam pikiran dan yang ia ucapkan sama, “Menurut saya, agama lain salah, dan agama saya yang benar.” Tapi, bagi yang memisahkan objek dan worldview, akan Kontradiktif, plinplan, kurang PD, mungkin ia menjawab, “Menurut agamanya sih benar, atau mungkin menurut dia benar” . Subjek dan objek dipisahkan secara paksa, agar bisa objektif, maka saya (subjek) harus memisahkan diri dari objek. Akhirnya terjadi relativisme, ini yang kata Derida, inilah era post wordview. Tapi untuk orang seperti ini, mungkin ia lupa, yang ditanya adalah dirinya, bukan objek tersebut. Karenanya, Ideologi tidak terpisahkan dalam diri seseorang.
Oleh: Muhammad Rizki Utama, Bandung
Mahasiswa ITB, aktif di kajian PIMPIN (Institut Pemikiran dan Pembinaan Insan) Bandung
Facebook – Blog