Ihram

Makna Ihram

Ihram artinya berniat untuk memulai melakukan ibadah haji atau umrah. Hal itu bisa  terwujud dengan melakukan niat dalam hati untuk memulai ibadah haji dan disempurnakan dengan mengucapkan : labbaika umratan au hajjan atau labbaika hajjan wa umratan. Dan mengucapkan niat dengan lisan hukumnya sunnah.

Sarung ( pakaian bawah ) dan rida’ (pakaian atas) adalah pakaian ihram. Seseorang tidak dikatakan sudah masuk dalam ihram hanya sekedar memakai pakaian tersebut, sampai dia berniat untuk memulai ibadah haji.

Yang Dianjurkan Bagi Yang Ingin Melaksakan Ibadah Haji

1. Bagi yang ingin melakukan ihram, dianjurkan untuk mandi

Hal ini sesuai dengan hadits Zaid bin Tsabit :

أَنَّه النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَجَرَّدَ لِإِهْلَالِهِ وَاغْتَسَلَ

Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ihram dengan melepas pakaian beliau yang dijahit lalu mandi.” (HR. Tirmidzi dan beliau mengatakan hadits ini hasan )

Dan hal itu bisa terwujud dengan mandi di miqat atau tempat yang dekat dengannya. Adapun yang mau ihram di peShalallahu ‘Alaihi wa Sallamat, maka dianjurkan mandi sebelum naik peShalallahu ‘Alaihi wa Sallamat, karena waktu yang tersedia di peShalallahu ‘Alaihi wa Sallamat sangat singkat, yang penting terwujudnya kebersihan yang sempurna di dalam melaksanakan ibadah ini, dan ini sudah terwujud dengan mandi sebelum naik peShalallahu ‘Alaihi wa Sallamat.

Mandi hukumnya sunnah bagi yang mau melaksanakan umrah, termasuk di dalamnya perempuan yang sedang haid dan nifas, sebagaimana perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Asma’ binti ‘Umais untuk mandi sedang dia dalam keadaan nifas.

Jika seseorang melakukan ihram tanpa mandi dan wudhu, maka hal itu dibolehkan  dan ihramnya sah.

Adapun bersih-bersih bisa terwujud dengan mencukur rambut, menghilangkan bau-bauan, mencabut bulu ketiak, mencukur kumis, memotong kuku, karena semua itu merupakan kesempurnaan kebersihan, agar hal-hal tersebut tidak mengganggunya  ketika berihram.

2. Memakai minyak wangi pada anggota badannya.

Dianjurkan untuk menggunakan minyak wangi pada anggota badannya saja, tidak pada pakaian ihramnya. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ

“Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ihramnya saat Beliau berihram dan untuk tahallulnya sebelum thawaf mengelilingi Ka’bah di Baitullah.” (HR Bukhari dan Muslim )

Adapun cara menggunakan minyak wangi bagi perempuan seperti pada laki-laki, sebagaimana dalam hadits Aisyah :

عن عائشة قالت كُنَّا نَخْرُجُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَكَّةَ فَنُضَمِّدُ جِبَاهَنَا بِالسُّكِّ الْمُطَيَّبِ عِنْدَ الْإِحْرَامِ فَإِذَا عَرِقَتْ إِحْدَانَا سَالَ عَلَى وَجْهِهَا فَيَرَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا يَنْهَاهَا

“Dari Aisyah, beliau berkata : Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ke Mekkah, dan Kami membalut kening Kami dengan minyak wangi ketika berihram, apabila salah seorang diantara Kami berkeringat maka mengalir ke wajahnya, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya dan beliau tidak melarang Kami.” (HR. Abu Daud)

Kecuali dikhawatirkan dia akan bercampur baur dengan laki-laki di dalam rombongan travel, peShalallahu ‘Alaihi wa Sallamat atau ketika thowaf, maka sebaiknya wangi-wangian tersebut ditinggalkan.

Jika  seseorang sudah memakai  wangi-wangian pada pakaiannya sebelum melakukan ihram, maka dibolehkan baginya untuk membiarkan seperti itu, selama dia tidak melepaskan pakaian tersebut. Tetapi jika melepaskan baju tersebut, maka tidak boleh memakainya kembali sampai dia mencucinya terlebih dahulu.

3. Pakaian ihram laki-laki dengan menggunakan sarung (pakaian bawah) dan rida’ ( kain bagian atas ) yang keduanya berwarna putih.

Hal ini karena sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berihram dengan menggunakan sarung, rida’ dan sandal, dan keduanya berwarna putih. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

خَيْر ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضُ، فَلْيَلْبَسوهَا أَحْيَاؤُكُمْ

“Sebaik-baiknya baju kalian adalah yang berwarna putih, maka pakailah pakaian tersebut.” (HR. Hakim dari hadits Ibnu Abbas dan dishahihkan Ibnu Qaththan)

Dan kedua-duanya harus bersih, karena pakaian tersebut akan menempel di badan, oleh karenanya dianjurkan agar kebersihannya  lebih  sempurna.

4. Hendaknya melepas pakaian yang berjahit sebelum melakukan ihram

Dan ini berlaku khusus bagi laki-laki, karena ada larangan memakai pakaian yang berjahit pada saat melakukan ihram, maka dianjurkan untuk melepasnya sebelum melakukan ihram, supaya tidak terlambat dan tidak terkena denda dengan membayar fidyah.

5. Ihram sesudah shalat.

Disunnahkan untuk melakukan ihram setelah pelaksanaan sholat, baik sholat fardhu, maupun sholat sunah. Karena nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan ihram sesudah sholat Dhuhur (HR Muslim).

Begitu juga Ibnu Umar ketika berada di Dzul Halifah, beliau melaksanakan sholat dua reka’at, kemudian setelah beliau di atas kendaraannya, beliau memulai ihramnya dan berkata: “Beginilah saya melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya”

Ihram dilakukan di tempat sholatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair, dia berkata : Saya ceritakan kepada Ibnu Abbas ihramnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau mengatakan: “ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Ihram setelah selesai dari sholat.”  ( HR Abu Daud )

Adapun jika melakukan ihram ketika di atas kendaran atau ketika mulai melakukan perjalanan maka hal itu baik juga, karena semua itu telah diriwayatkan dari nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

6. Melafadhkan niat beribadah haji dengan lisan.

Dianjurkan baginya untuk meninggikan suaranya dengan menyebutkan jenis dari ibadah haji yang diniatkan. Maka jika dia berniat umrah, hendaknya mengatakan : “labbaika umratan“ ( Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk melakukan umrah) . Jika berniat ibadah haji tamattu’, hendaknya dia mengatakan : “labbaika umratan mutamatti’an bihaa ila al-hajj ”( Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk melakukan umrah yang diteruskan dengan haji ) , jika berniat haji qiran maka mengatakan : “labbaika umratan wa hajjan” (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk melakukan umrah dan haji ) , jika berhaji ifrad, hendaknya dia mengatakan : “labbaika hajjan” (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk melaksanakan haji )

Hal demikian telah diperintahkan nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam dua hadits yang shahih:

صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِي حَجَّةٍ

“Shalatlah di lembah yang penuh barakah ini dan katakanlah: “Aku berniat melaksanakan umrah dalam ibadah haji ini.”

Begitu juga hadits yang diriwayatkan Anas :

عن أَنَسٌ قال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍّ

“Dari Anas berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca: “Labbaika bi umratin wa hajjin (Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu untuk Umrah dan Haji).” (HR Bukhari dan Muslim)

Berkata Anas: “Saya mendengar mereka mengeraskan suara dengan lafadh itu.”

7. Mensyaratkan di dalam ibadah haji.

Barang siapa yang perlu untuk mensyaratkan di dalam niat ibadah haji atau ibadah umrah, seperti sakit atau orang yang takut terjadi halangan, maka dianjurkan untuk mensyaratkan ketika melakukan ihram. Jika terjadi halangan, maka dia boleh bertahalul dan tidak ada denda sama sekali baginya. Ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Aisyah  :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ النَّبِي  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ الْحَجَّ وَأَنَا شَاكِيَةٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجِّي وَاشْتَرِطِي أَنَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke rumah Dhuba’ah binti Zubair bin Abdul Muthalib. Lalu Dhuba’ah pun berkata, “Ya Rasulullah, aku bermaksud hendak menunaikan ibadah haji, tetapi aku sakit, bagaimana itu?” maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Hajilah dan syaratkan dalam niatmu: “Bahwa tempat tahallul-ku di mana saya tertahan (karena sakit).”

Di dalam riwayat Muslim disebutkan:

قُولِي لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ وَمَحِلِّي مِنْ الْأَرْضِ حَيْثُ تَحْبِسُنِي فَإِنَّ لَكِ عَلَى رَبِّكِ مَا اسْتَثْنَيْتِ

Beliau bersabda: “Ucapkan: Labbaika allahumma labbaik, wa mahallii haitsu tahbisuni. ( Ya Allah saya datang memenuhi panggilan-Mu, dan bahwa tempat tahallul-ku di mana saya tertahan( karena sakit ). Maka – jika   mengucapkan hal tersebut- engkau akan mendapatkan dari Tuhan-mu apa yang engkau syaratkan.”

Oleh karenanya, hendaknya dia mengucapkan seperti apa yang terdapat dalam riwayat muslim atau mengucapkan:

لَبَّيْكَ عُمرَةً  فَإِن حَبَسَنِي حَابِسُ فَمَحِلِّي حَيْثُ حَبَسَتنِي

“ Ya Allah saya menjawab panggilan-Mu dengan melakukan ihram untuk umrah, jika saya terhalang sesuatu di tengah jalan, maka tahalulku di tempat saya tertahan tersebut.”