Dalam Musnad Ahmad -radhiyallaahu anh-, terdapat sebuah riwayat dari Anas bin Malik -radhiyallaahu anh- yang bercerita: Abdullah bin Rawahah -radhiyallahu anh- jika bertemu dengan laki-laki sahabatnya, ia akan berkata:
[arabtext] تَعَالَ نُؤْمِنْ بِرَبِّنَا سَاعَةً [/arabtext]
“Yuk mari, kita ‘beriman’ kepada Rabb kita sejam (yakni: sesaat).”
Suatu hari, beliau berkata seperti itu ke seseorang. Maka marahlah orang itu. Ia pun mendatangi Nabi kita -shallallahu alayhi wa sallam- seraya berkata: “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah dilakukan Ibnu Rawahah? Dia mengajak mengutamaan beriman sesaat daripada iman terhadapmu!”
Nabi pun mengklarifikasi: “Semoga Allah merahmati Ibnu Rawahah. Dia menyukai majelis-majelis yang para malaikat merasa bangga terhadapnya.”
Well, hadits di atas di dalam Musnad bernomor: 13796. Dalam sanadnya ada 2 orang bernama Umarah bin Zadzan dan Ziyad bin Abdillah an-Numayry, yang keduanya dipermasalahkan oleh para ulama hadits. Terlebih, mereka berdua ber-tafarrud dalam sanad hadits di atas, tanpa ada penguat dari perawi lainnya. Maka jadilah para ulama men-dha’ifkan hadits tersebut; dengan adanya fawaid yang bisa dipetik darinya.
Sementara itu, dalam Mushannaf Ibnu Aby Syaybah, disebutkan sebuah riwayat yang beliau menerimanya dari Abu Usmah, dari Musa bin Muslim, dari Ibnu Sabith, yang bercerita bahwa Abdullah bin Rawahah mengajak para sahabatnya: “Mari yuk kita beriman barang sesaat. Mari yuk kita mengingat Allah dan menambah iman kita. Mari yuk kita mengingat-Nya dengan mentaatinya, semoga ia menyebut kita dengan pengampunan dari-Nya.”
Rijal sanad hadits di atas tsiqah semua, melainkan ada satu kecacatan yang mencederai penilaian sehat terhadapnya, yaitu: bahwasanya Ibnu Sabith tidak pernah bertemu dengan Abdullah bin Rawahah, sehingga sanadnya munqathi’ dan ia dha’if (secara sanad).
Dan masih ada pula sanad lain terhadap hadits di atas, yang diriwayatkan oleh al-Baihaqy, namun sanad milik al-Baihaqy terhadap hadits mauquf-nya Abdullah bin Rawahah ini tidak lebih baik dari sanad milik Ibnu Aby Syaibah. Maka, dha’iflah semuanya.
Tetapi ada hadits mauquf secara mu’allaq yang terdapat di Shahih al-Bukhary, tepatnya di awal Kitab al-Iman, bahwa Mu’adz bin Jabal berkata:
[arabtext] اجْلِسْ بِنَا نُؤْمِنْ سَاعَةً [/arabtext]
“Mari yuk, duduk sama kami, (menambah) iman barang sejenak.”
Dalam Taghliiq at-Ta’liiq, Ibnu Hajar menyebutkan ketersambungan sanad hadits mauquf di atas kepada Mu’adz bin Jabal. Sebagaimana juga Ibnu Aby Syaibah dan al-Baihaqy telah menyambungkan sanad hadits Mu’adz bin Jabal tersebut. Dan finally, hadits di atas adalah hadits mauquf yang muttashil ke Mu’adz, bukan ke Abdullah bin Rawahah.
Di antara fawaid hadits tersebut adalah:
- Majelis ilmu adalah majelis keimanan, di mana di sana disebutkan apa-apa tentang Allah Ta’ala, atau Rasul-Nya, atau syariat-Nya.
- Jika sahabat Nabi saja memerlukan recharging keimanan dengan bermajelis ilmu, bertadzakkur dan bertafakkur, maka janganlah seorang di antara kita merasa sudah kaya sehingga tidak perlu bermajelis; terutama merasa lebih senior dan lebih tua sehingga jika ada junior atau pemuda yang mau memberi keutamaan yang Allah berikan pada dirinya, ia mengutamakan arogansi dibanding recharging keimanan.
- Sa’ah di atas dimaksudkan ‘sejenak’, yang tidak harus diartikan ‘sejam’.
Maka, ijlis bina nu’min sa’ah di Nyantrend Weekend Sabtu dan Ahad, atau jika ada lainnya yang menarik bagimu dan bisa menambah iman dan ilmumu, berangkatlah. Jihad kita di sana.
Ustadz Hasan Al Jaizy, Lc.