Sebelum Islam datang, masyarakat Arab hidup dengan penuh kesederhanaan. Warga Mekkah dimuliakan dengan keberadaan Baitullah yang telah dimuliakan oleh bangsa-bangsa Arab sejak jamannya Nabi Ibrahim as dan Nabi Isma’il as. Orang-orang dari berbagai penjuru jazirah Arab setiap tahunnya datang berziarah ke tempat yang dimuliakan itu.
Ramai dikunjungi orang, Mekkah pun berubah menjadi sebuah pusat perdagangan. Keberadaan mata air Zamzam memastikan siklus hidup di kota itu bisa berjalan dengan lancar.
Akan tetapi, meski Mekkah menjadi tempat yang penting dalam jalur perdagangan internasional, ia tetaplah hanya sebuah kota di tengah lautan pasir yang seolah tak berujung. Tanpa Baitullah dan Sumur Zamzam, ia tidak menarik perhatian siapa pun.
Jangan bandingkan dengan Indonesia yang hijau dan kekayaan buminya melimpah, sehingga Belanda terpikat dan bernafsu sekali untuk menjajah. Jazirah Arab secara umum tidaklah subur. Tidak ada sumber daya alam melimpah yang menarik hati negara-negara adikuasa (minyak bumi baru menjadi komoditi penting setelah revolusi industri di Eropa).
Abrahah dan Pasukan Gajahnya yang terkenal itu memang pernah melakukan serangan terbuka ke Mekkah, terutama ke Ka’bah. Akan tetapi, motifnya bukan ekonomi, melainkan ‘harga diri’. Abrahah adalah penguasa di Yaman yang telah membangun sebuah rumah ibadah besar di Shan’a. Proyek raksasa itu ia prakarsai karena dengki melihat masyarakat Arab yang perhatiannya begitu penuh tertumpah pada Baitullah. Oleh karena itu, ia pun bertekad untuk menghancurkan Ka’bah, sehinga orang-orang Arab mau beribadah di negerinya itu. Bangsa Romawi dan Persia, dua kerajaan yang adidaya pada masa itu, tidak pernah tertarik untuk menandingi popularitas Ka’bah, dan karenanya, keduanya juga tidak tertarik untuk menginvasi Mekkah dan Arab secara umum.
Mungkin karena tidak ada ‘tantangan’ dari luar, maka masyarakat Arab pun tak merasa perlu untuk membangun pemerintahnya sendiri. Tidak ada koordinasi yang mengikat kecuali perjanjian-perjanjian temporal antarkabilah. Secara umum, masing-masing kabilah saling bersaing untuk mendominasi, bahkan tidak jarang saling memerangi. Jika di sekitar Baitullah mereka senantiasa menahan diri, maka tidak demikian halnya di luar kota Mekkah. Di sana, mereka bebas untuk saling berperang dan menghabisi satu sama lainnya. Tidak ada yang menyatukan mereka, bahkan mereka tak merasa perlu untuk bersatu.
Dengan pola kehidupan sederhana yang hanya berkutat di antara bertani, beternak, mengurus keperluan rumah tangga dan berdagang, masyarakat Arab pun tidak akrab dengan kemampuan baca-tulis. Tidak banyak orang yang memiliki keterampilan ini, meskipun mereka yang bisa baca-tulis senantiasa dianggap terhormat di lingkungannya. Hanya saja, penggunaannya memang sangat terbatas. Kebanyakan hanya digunakan untuk keperluan membaca dan menulis syair-syair atau cerita-cerita kepahlawanan. Sedikit sekali yang menggunakannya untuk keperluan administrasi dan dokumentasi.
Karakter lainnya yang menonjol dari masyarakat Arab pada era Jahiliyah ini adalah rendah diri yang sudah terlanjur kronis. Mereka mengaku sebagai pewaris risalah Nabi Isma’il as, namun kelurusan ‘aqidah tauhid tersebut tidak disertai dengan kepercayaan diri. Di Mekkah, ‘Amr ibn Luhayy memulai tradisi penyembahan berhala. Dalam sebuah perjalanannya ke Syam, ia melihat para penduduk Syam menyembah berhala, kemudian menganggapnya sebagai hal yang baik. Ia lalu membawa berhala ke kampung halamannya, dan tidak lama kemudian warga Mekkah lainnya mengikuti. Akhirnya semua kabilah punya berhala, setiap rumah punya berhala, dan Ka’bah dikelilingi oleh ratusan berhala, sedangkan berhala-berhala yang besar diletakkan di dalamnya. Tidak ada sebab lain yang mendasari tindakan peniruan semacam ini kecuali perasaan rendah diri. Tidak jauh beda dengan kebiasaan merokok.
Di Yatsrib, masyarakat Arab hidup bersama-sama kaum Yahudi. Meskipun kaum Yahudi ini minoritas, namun mereka sangat dominan, karena merekalah yang menjadi ‘juragan-juragan’ perekonomian di kota itu. Selain karena masalah ekonomi, orang-orang Arab juga merasa rendah diri karena alasan agama. Pada saat itu, kaum Yahudi seringkali membangga-banggakan agamanya, karena mereka memiliki Kitab Suci Taurat, dan terutama sekali karena mereka mengklaim bahwa Tuhan akan menurunkan seorang pemimpin besar – seorang Nabi Akhir Jaman – untuk memimpin mereka, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Taurat. Tentu beda dengan masyarakat Arab yang tidak punya Kitab Suci sebagai pegangan, dan tidak menemukan keterangan-keterangan tentang Nabi Akhir Jaman sebagaimana yang didapatkan oleh para Ahli Kitab di dalam Kitab-kitab Sucinya. Ketika Rasulullah saw diutus, beliau pernah membai’at sekelompok warga Yatsrib yang berkunjung ke Mekkah. Mereka mengetahui kenabian beliau berdasarkan ciri-ciri yang sudah dijelaskan oleh kaum Yahudi di kampung halamannya. Pada kenyataannya, justru kaum Yahudilah yang kebanyakan tidak merespon dakwah beliau, hanya karena sentiment rasis yang tidak mau mengakui kepempimpinan dari selain Bani Israil.
Tanpa tantangan, tanpa persatuan, tanpa aturan baku, tanpa pemerintahan, tanpa kemampuan baca-tulis, tanpa tradisi administrasi dan dokumentasi, tanpa pemahaman yang baik akan warisan ajaran para Nabi, dan tanpa harga diri. Maka tenggelamlah masyarakat Arab dalam kejahilan. Mereka berkomat-kamit di depan berhala agar permohonannya terkabul, datang ke ahli nujum untuk mengetahui masa depan, mengundi nasib dengan anak panah, mengkhususkan berbagai jenis makanan dan minuman untuk sesaji dan seterusnya. Perempuan dianggap sebagai komoditas, pernikahan diperlakukan bagai ‘transaksi’, seorang suami menyuruh istrinya untuk datang kepada lelaki lain yang lebih terhormat agar digauli sehingga bisa mendapatkan keturunan yang baik, seorang perempuan menikahi banyak lelaki, seorang lelaki menikahi perempuan-perempuan dalam jumlah tak terbatas, dan tentu saja, pelacuran merajalela. Khamr? Jangan ditanya!
Di tengah-tengah kaum yang jahil ini, datanglah Sang Nabi Akhir Jaman yang telah dijanjikan di dalam Taurat dan Injil itu. Pendeta Bahira dapat mengenalinya dengan mudah, sedangkan orang-orang Yahudi mengenalinya bagaikan mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Masyarakat Arab mengenalnya sebagai Sang al-Amin; orang yang bisa dipercaya dalam segala urusan.
Nabi Muhammad saw memang ‘ummiy (tak bisa baca tulis), namun beliau pula yang telah mencanangkan ‘gerakan hapus buta huruf’ di tengah-tengah masyarakat Arab. Sahabat-sahabat kepercayaannya seperti Abu Bakar ra adalah tokoh-tokoh yang dikenal mampu membaca dan menulis. Beliau menugaskan sahabat-sahabat lainnya menjadi sekretaris-sekretaris pribadinya, hingga sejarah mencatat jumlah sekretaris pribadinya itu mencapai lima puluh orang lebih. Masing-masing sekretaris memiliki tugasnya yang spesifik. Ada yang bertugas mencatat ayat-ayat al-Qur’an yang baru diturunkan, ada yang mencatat pembagian harta ghanimah (rampasan perang), ada yang mencatat pembagian zakat, ada yang menulis surat-surat diplomasi, dan sebagainya. Baca-tulis menjadi kemampuan dasar, sementara tradisi administrasi dan dokumentasi mulai dikembangkan.
Rasulullah saw tidak hanya menyeru manusia agar shalat, shaum, zakat dan berhaji. Lebih dari itu, beliau pun mengajarkan cara hidup yang cerdas. Makan dan minum sesuai kadarnya, tidur sesuai kebutuhannya, berolahraga sesuai keperluannya, dan berumah tangga sebagaimana mestinya. Bukan hanya mengajarkan perbuatan-perbuatan baik, beliau pun menyuruh manusia agar meninggalkan perbuatan yang sia-sia. Nabi saw tidak suka melihat pemuda yang hanya bisa nongkrong di pasar-pasar, mengobrol tanpa tujuan, atau menghabiskan hari dengan bersantai-santai. Beliau memerintahkan manusia untuk berdiri dan duduk dalam keadaan mengingat Allah dan memikirkan ciptaan-Nya, hingga akhirnya semua pemikiran bermuara pada ucapan: “Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilan, subhaanaka, faqinaa ‘adzaaban-naar…” (Ya Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka).
Lahirlah masyarakat Muslim yang haus akan ilmu dan memeras akalnya untuk mencari sebanyak-banyaknya manfaat dari segala hal yang ada di sekitarnya (karena tak ada sesuatu pun yang sia-sia), sedangkan setiap ilmu yang bertambah membuat imannya semakin tebal dan semakin takut akan siksa neraka. Maka dimulailah era intelektual baru dalam sejarah bangsa-bangsa Arab.