Setelah datangnya Islam, wajah masyarakat Arab telah berubah total. Masyarakat yang tadinya sebagian besar ummiy (bahkan Nabi-nya pun ummiy) kini menjelma umat yang gila baca dan hobi menulis.
Masyarakat Arab yang tadinya hidup hanya untuk hari ini ditantang akalnya oleh sebuah kitab yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya, yaitu al-Qur’an. Al-Qur’an itulah yang kemudian terus-menerus mengisi relung hati dan pikirannya. Segala daya dan upaya, pikiran dan tenaga dikuras sedemikian rupa demi menyibak sebanyak mungkin rahasia di balik ayat-ayat suci.
Khalifah Abu Bakar ra telah memulai sebuah proyek besar untuk membukukan al-Qur’an ke dalam satu mushhaf yang standar, dan pekerjaan ini digenapkan oleh Khalifah ‘Utsman ra. Sistem penulisan distandardisasi, supaya generasi mendatang tak ada yang memperdebatkan cara membacanya.
Setelah mushhaf ‘Utsmani disusun, bisnis perbukuan pun laris manis seperti kacang goreng. Para penyalin kitab dikerahkan untuk menulis sebanyak mungkin al-Qur’an untuk disebarluaskan ke seluruh penjuru Kekhalifahan Islam. Kertas menjadi komoditas yang begitu penting, bahkan konon rumah Khalifah ‘Utsman ra pun tepat bersebelahan dengan sebuah gudang kertas. Menjelang akhir abad pertama Hijriah, pemerintah pusat telah membagi-bagikan kertas secara merata ke seluruh provinsi.
Tersebarlah al-Qur’an ke seluruh tempat yang terjangkau oleh Kekhalifahan Islam. Al-Qur’an ada di mana-mana; ia dibaca di rumah, disimpan di perpustakaan pribadi dan umum, dibaca di Masjid, didiskusikan di majelis-majelis ilmu dan halaqah-halaqah. Setelah berabad-abad lamanya intelektualitas masyarakat Arab ‘stagnan’, maka kini akal mereka mendapat ‘lawan tanding’ yang sangat menantang, yaitu al-Qur’an.
Tak ada habisnya al-Qur’an dijadikan bahan pemikiran. Semasa Rasulullah saw hidup, al-Qur’an telah disampaikan, dicatat, dijelaskan dan dihapalkan. Sepeninggal beliau, rupa-rupanya masih begitu banyak misteri yang bisa diungkap dari al-Qur’an; ia tidaklah mau ‘dikurung’ dalam konteks jamannya ketika diturunkan. Dari hari ke hari, makin banyak saja yang bisa digali dari kitab yang satu ini.
Dari masyarakat yang sudah gila baca-tulis ini kemudian tampil alim-ulama yang merasa berkewajiban membimbing umat dengan karya-karyanya sendiri. Dengan menjadikan al-Qur’an sebagai cermin, mereka susunlah karya-karya tulis mereka dengan sistematika tertentu. ‘Ali ibn al-Madini, guru Imam Bukhari, misalnya, telah menyusun sebuah kitab yang menjelaskan tentang asbabun nuzul, yaitu peristiwa-peristiwa yang menjadi latar belakang diturunkannya suatu ayat. Sudah barang tentu sumber penjelasannya digali dari al-Hadits. Maka pada saat yang bersamaan, penelaahan terhadap al-Qur’an juga memicu lahirnya ilmu-ilmu lain, misalnya ‘uluumul hadiits.
Setelah itu, al-Qur’an pun ‘dibedah’ dengan berbagai ‘pisau analisis’. Para mulai membedakan surah-surah di dalam al-Qur’an ke dalam dua kelompok: Makki dan Madani. Pengelompokan ini dibuat karena adanya perbedaan sifat yang cukup mendasar di antara dua kelompok tersebut. Sebagai contoh, Surah-surah Makki umumnya berbicara tentang masalah-masalah ‘aqidah, sedangkan Surah-surah Madani sudah menyentuh masalah-masalah yang lebih luas, misalnya muamalah. Kategorisasi semacam ini pada akhirnya akan membantu orang untuk memahami maksud dari ayat yang sedang ditelitinya.
Ketika al-Qur’an diturunkan, Rasulullah saw akan menjelaskan pada para sahabatnya mengenai posisi ayat yang baru saja diturunkan itu; akan diletakkan di surah yang mana dan di ayat keberapa. Akan tetapi, proses turunnya ayat-ayat al-Qur’an tidaklah mengikuti urutan sebagaimana yang kita jumpai dalam mushhaf. Oleh karena itu, urutan turunnya ayat-ayat dalam al-Qur’an juga menjadi bahasan yang tersendiri dalam ‘ulumul Qur’an. Sebagai contoh, perintah qiyamullail diturunkan sebelum perintah hijrah, kemudian disusul dengan kewajiban untuk shaum, dan kemudian jihad. Urutan yang semacam ini memberikan ‘kesan’ tersendiri yang kemudian menjadi bahan analisis para ulama, terutama mereka yang mendalami ilmu dakwah.
Lebih jauh, para ulama membedakan antara ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih, yaitu ayat-ayat yang mudah dipahami maknanya dan ayat-ayat yang mengundang perdebatan karena terbuka kemungkinan adanya dua atau lebih penafsiran yang berbeda. Muncul pula berbagai bidang bahasan lanjutan, yaitu yang ‘amm dan khash, nasikh dan mansukh, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum dan sebagainya. Semua pembahasan ini bukan sekedar untuk membagi-bagi ayat ke dalam berbagai kelompok, melainkan untuk meletakkan sistematika dasar yang bisa membantu kita untuk menyikapi masing-masing ayat.
Masih banyak lagi pembahasan yang berkembang dari al-Qur’an. Ada yang membahas secara khusus kemukjizatannya, misalnya kemukjizatan dari segi bahasanya dan kebenaran ilmiahnya. Ada yang membahas amsalul qur’aan, yaitu berbagai permisalan yang disebutkan di dalam al-Qur’an. Ada yang membahas kisah-kisah tertentu dari dalam al-Qur’an (misalnya serba-serbi kisah dakwah Nabi Musa as dalam al-Qur’an), topik-topik tertentu yang diinspirasi oleh al-Qur’an (misalnya metode berdebat sesuai tuntunan al-Qur’an), atau membahas bidang-bidang ilmu tertentu (misalnya menguraikan psikologi dari ayat-ayat al-Qur’an) dan sebagainya.
Sejak diturunkannya al-Qur’an, tamatlah riwayat ke-ummiy-an masyarakat Arab. Al-Qur’an bukan hanya telah menjadi bahan bacaan mereka, melainkan juga telah menjadi bahan pemikiran yang tak ada habis-habisnya untuk mereka analisis. Berbagai bahasan yang telah disebutkan di atas pada akhirnya bermuara pada penafsiran al-Qur’an, karena semua diskusi dilakukan dalam rangka memahami makna ayat-ayat al-Qur’an. Maka peradaban Islam pun diramaikan dengan lahirnya berbagai kitab tafsir al-Qur’an. Tersebutlah sekian banyak nama yang dicatat dalam sejarah Islam dengan tinta emas seperti Ibn ‘Abbas ra, Ath-Thabari, Ibn Katsir, ar-Razi dan seterusnya. Di jaman modern ini, kita pun masih mengenal begitu banyak kitab tafsir yang lahir dari tangan-tangan para ulama kontemporer, misalnya Tafsir al-Manar karya Syaikh Rasyid Ridha dan Fii Zhilaalil Qur’aan karya Sayyid Quthb. Di Indonesia pun kita mengenal beberapa kitab tafsir karya para ulama besar asli Indonesia, antara lain Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka.
Al-Qur’an adalah lautan ilmu; siapa yang mengkaji, merekalah yang mendapatkan berkahnya.