Bukan sekedar pakaian, makanan, minuman, atau obat-obatan yang kita hajatkan dalam kehidupan ini kaerena kesemuanya hanyalah memenuhi kebutuhan fisik belaka, sedang ia tidak mewakili diri kita seutuhnya. Meski ia paling dikenal sebab terlihat, yang disangkakan sebagai kebutuhan utama iman dan kemanusiaan, juga yang akan membawa kepada kejenuhan jika ia berulang dan berlebihan, bukan berarti tidak ada hajat akan selainnya.
Namun kita juga menghajatkan ilmu sebagai pemuas akal dan penentram jiwa, yang kebutuhannya terus digunakan sehinggat tetap bermanfaat agar kita tidak tersesat di jalan yang menggeliat, gelisah dalam raga yang indah nan menawan namun hampa dari petunjuk memaknai tujuan pencipta. Yang merasa jumawa dan tertawa ria namun nelangsa di kedalaman batinnya.
Tubuh yang luruh dalam perjalanan yang menua dan pulang ke haribaan-Nya dengan kecewa. Tapi ingatlah, tak semua ilmu memuliakan. Ia serupa jalan yang menunjukkan, dimana kemuliaan penempuhnya kembali kepada niat, tujuan dan keinginan. Sebab dosa dan maksiat, cita-cita rendah dan hina, juga aniaya dan kezaliman seringkali bejalan berdampingan dengan ilmu, yang perolehannya penuh liku dan waktu. Ia menelan banyak biaya dan pengorbanan jiwa dan raga, bahkan sebagian besar usia manusia.
Maka ilmu syariat secara mutlak menjadi yang termulia di antara yang ada. Bukan saja karena ia menunjukan jalan makrifat kepada Allah, menjelaskan pintu-pintu kebaikan, perbaikkan dan membaikkan ilmu lahir batin, namun juga karena ia adalah ilmu warisan para nabi yang kebaikan mereka terlegitimatis oleh Pencipta langit dan bumi. Sehingga pegambilan ilmu dari mereka dan peneladanannya diperhatikan. Dan inilah jalan kemuliaan agar manusia tak menjadi serupa dengan hewan.
Penampilan ilmu syariat membuka jalan ke surga dan berpahala. Pencapaiannya memuliakan dan menaikkan derajat pemiliknya, hingga pemahamannya menjadi pertanda kebaikan.