Bertemu dengan mereka adalah sebuah rahmat, ibu-ibu yang sederhana yang mengimani Allah dengan cara yang “sederhana”, tapi memiliki semangat yang luar biasa. Mereka adalah ibu-ibu minoritas yang tinggal di kampung, yang mayoritas warganya non-muslim, di kampung Bola Dangko, Kulawi, Palu-Sulawesi Tengah. Untuk bisa mengakses daerah ini perlu waktu 4 sampai 5 jam naik motor dengan medan jalan melingkar-lingkar, naik turun gunung. Daerah ini adalah satu kawasan dengan hutan Lore Lindu yang masih lebat dan sering terjadi longsor. Saya datang Kulawi dalam rangka menemani suami yang sedang penelitian.
Suatu pagi datang seorang akhwat ke rumah pak haji Ahmad, tempat kami dan rombongan menginap. Setelah berkenalan dan mengobrol beberapa saat, beliau pun mengajak saya untuk datang pada pengajian ibu-ibu sore harinya. Karena sore nanti saya juga tidak ada agenda, saya pun mengiyakannya. Dan sorenya saya diajak kak Zaenab, nama akhwat tersebut ke sebuah rumah yang disitu sudah berkumpul ibu-ibu berpakaian muslimah lengkap dengan kerudungnya. Kesan pertama yang membuat saya terharu. Di lingkungan yang minoritas dan jauh dari toko busana muslimah apalagi mall, mereka mampu berkerudung rapi. Saya langsung disambut hangat oleh ibu-ibu dan tergambar kesenangan mereka akan kedatangan saya, saya jadi merasa seperti orang “penting”, padahal saya bukan siapa-siapa, bukan istri camat atau gubernur.
Beberapa menit kemudian pengajian pun dimulai dengan membaca surat Yasin bersama. Setelah itu ternyata saya diminta untuk memberikan materi pengajian. Saya yang niat awal datang untuk mendengarkan tausyiah malah diminta menyampaikan tausyiah. Jujur saja saya tidak siap, karena memang tidak ada rencana menyiapkan diri untuk mengisi pengajian sore itu. Tapi melihat kondisi ibu-ibu yang semuanya meminta saya untuk memulai kajian, akhirnya dengan agak canggung saya pun menyampaikan beberapa ayat Al Quran yang saya fahami tafsirnya. Semua mata tertuju pada saya, semua memperhatikan ucapan saya, dan tidak ada satu pun ibu-ibu yang mengobrol atau beraktifitas sendiri. Padahal menurut saya, materi yang saya sampaikan kurang menarik, karena saya pun tidak ada persiapan. Saya menoleh ke kak Zaenab yang dari tadi tadi duduk di sebelah saya, saya lihat beliau sedang memegangi hp yang di taruh dibalik kerudungnya dan mendekat ke pundak saya. Setelah selesai pengajian saya baru tahu kalau sejak tadi beliau sedang merekam materi saya dengan hp itu. Saya jadi membatin lagi, apalah menariknya materi yang saya sampaikan sehingga direkam?
Kajian sore itu berlangsung 30 menit dan 60 menit, selebihnya adalah tanya-jawab. Mereka sangat antusias bertanya. Dari mulai masalah ibadah mahdoh, kewajiban istri, pakaian muslimah, muamalah sampai curhat masalah pribadi. Betapa kritisnya mereka dengan agama Islam, padahal mereka tinggal jauh di tengah hutan dan puncak gunung. Jauh dari pusat syiar-syiar dakwah Islam. Betapa semangatnya mereka mencari tahu kebenaran, walaupun yang datang pada saat itu adalah saya, bukan siapa-siapa dan tidak mereka kenal sebelumnya. Betapa ikhlasnya mereka beribadah, sampai-sampai takut kalau salah mengamalkannya. Kemudian tercetus pertanyaan saya, siapa ustadzah sebenarnya yang biasa mengisi mereka? Saya jadi ingin ngobrol dan mendengar cerita pengalaman beliau memanajemen ibu-ibu pengajian yang sangat luar biasa ini. Jawaban mereka membuat saya terkejut, karena selama ini pengajian rutin mingguan itu selain membaca surat Yasin, “hanya” diisi dengan mendengarkan kaset-kaset ceramah alm. ust. Zainuddin MZ, ceramah kaset lama tahun 90-an! Ternyata di kampung ini tidak ada ustazhah. Kalau pun ada taklim yang diisi haji Ahmad itu sangat jarang sekali. Belum tentu sebulan sekali. Karena beliau satu-satunya ustadz di kampung itu. Pernah juga ada ustadzah dari Pesantren al Khaerat Palu, tapi sudah berbulan-bulan tidak datang ke sana. Disisi lain ibu-ibu ingin selalu setiap minggu tetap ada pengajian. Ada atau pun tidak ada ustad. Mereka tetap datang! MasyaAllah…
Introspeksi. Berbeda sekali dengan kondisi saya. Banyak akses ilmu, pusat-pusat kajian Islam dan syiar-syiar dakwah disekitar saya. Banyak alternatif pilihan ustadz atau kajian mana yang ingin saya datangi. Akses itu sangat-sangat mudah dan tidak sebanding dengan kondisi ibu-ibu di Bola Dangko yang serba kekurangan fasilitas ilmu, sampai-sampai untuk memenuhi kebutuhan rohani mereka hanya bisa mengakses rekaman kaset jaman dahulu. Tidak terbandingkan dengan kondisi di Bogor. Walaupun pengisi pengajian adalah hafidz Quran atau Doktor ilmu syariah lulusan Timur Tengah, tidak jarang pengajian-pengajian itu sepi jama’ah. Saya jadi berandai-andai, betapa senangnya ibu-ibu di majelis pengajian Kulawi itu jika tinggal di Bogor. Semoga Rahmat Allah selalu diberikan pada mereka dan keluarga orang-orang pencari ilmu dan kebenaran itu.
Oleh: Herlin Rahma, Bogor