Sebelumnya kita sudah membahas bagaimana kaum Syi’ah berdebat sepanjang masa mengenai pewarisan imaamah. Kunci permasalahannya terletak pada pendapat mereka sendiri yang memasukkan masalah kepemimpinan ini bukan ke dalam kategori ikhtilaf yang bisa diselesaikan dengan syura, melainkan pada kategori ‘aqidah yang sifatnya ‘take it or leave it’; kalau tidak sependapat, maka kafirlah.
Atas dasar itu, maka Abu Bakar ra, ‘Umar ibn al-Khattab ra, ‘Utsman ibn al-Affan dan semua sahabat yang mendukungnya (atau membiarkan mereka terpilih) mereka kafirkan pula. Betapa besar kebencian kaum Syi’ah kepada mereka, sehingga kepada nama-namanya pun mereka benci. Teramat jarang sekali kita jumpai nama Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Aisyah pada anak-anak yang lahir dari orang tua yang beragama Syi’ah. Ini adalah fakta yang cukup ironis, mengingat para sahabat Rasulullah saw dahulu saling menikahkan keturunannya dan saling mengambil nama sebagai bukti kecintaannya. Itulah sebabnya di antara anak-anak ‘Ali ra ada yang bernama Abu Bakar, ‘Utsman dan ‘Abbas (ketiganya syahid dalam peristiwa Karbala). Hasan ra pun memiliki anak bernama Abu Bakar (syahid di Karbala), ‘Umar dan Zaid (selamat dari pembunuhan di Karbala). Ja’far ash-Shadiq, yang digadang-gadang sebagai salah satu pewaris kepemimpinan, merupakan keturunan Abu Bakar ra dari pihak ibunya.
Pada awalnya, mereka berpendapat bahwa kepemimpinan seharusnya berada di tangan ‘Ali ra. Akan tetapi, ternyata umur kepemimpinan ‘Ali ra tidaklah panjang. Oleh karena itu, ‘berdasarkan wahyu’, mereka tetapkan bahwa kepemimpinan diwariskan melalui garis keturunan ahlul bait, yaitu keluarga Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, ketetapan ini pun langsung terlihat inkonsisten ketika kaum Syi’ah mengabaikan ‘Aisyah ra dan istri-istri Nabi saw lainnya, demikian juga keluarga Nabi saw yang lain, misalnya dari jalur ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib ra.
Dengan demikian, dukungan kepada ahlul bait lebih tepat untuk disebut sebagai dukungan terhadap ‘anak-cucu keturunan ‘Ali ra’. Sampai di sini pun teori imaamah ala Syi’ah masih saja menemukan batu sandungan. Sebab, anak ‘Ali ra bukan hanya satu. Bagaimana memilih satu di antara mereka untuk menjadi pemimpin? Apakah satu atau sebagian dilebihkan dari sebagian yang lain? Andaikan Hasan ra dan Husein ra diutamakan dari yang lain (karena Nabi saw pernah memuji mereka), bagaimana menentukan siapa yang lebih berhak? Dan sepeninggal Hasan ra dan Husein ra, apakah kepemimpinan berlanjut ke saudara mereka yang lain, atau langsung ke keturunannya? Keturunan Hasan ra atau Husein ra? Ini adalah masalah-masalah pelik yang dihadapi oleh Syi’ah, yang seharusnya tak perlu mereka hadapi, jika saja masalah kepemimpinan tidak dikategorikan ke dalam masalah ‘aqidah.
Masalah dalam hal imaamah masih terus berlanjut. Sebab, orang-orang yang mereka anggap sebagai pewaris kepemimpinan justru tidak merasa mewarisinya. Hasan ra, misalnya, setelah terlanjur dianggap sebagai pewaris ‘Ali ra, kemudian justru berbai’at pada Mu’awwiyah ra. Akibatnya – lagi-lagi karena masalah imaamah ini dianggap masalah ‘aqidah – sebagian dari pendukungnya malah berbalik mengkafirkannya. Hal yang demikian terlihat pula pada sikap ‘Ali Zainal ‘Abidin yang menolak provokasi kaum Syi’ah untuk mencela (apalagi mengkafirkan) para sahabat Nabi saw (lihat artikel sebelumnya). Bagaimana pun, hingga detik ini Syi’ah masih saja memasukkan nama Hasan ra dan ‘Ali Zainal ‘Abidin dalam nama imam mereka.
Di antara sekte-sekte lainnya, Sekte Syi’ah Istna Asyariyah atau Syi’ah Dua Belas adalah yang terbesar kini. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad saw telah menetapkan dua belas orang Imam sebagai penerus risalahnya. Dimulai dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, kemudian berlanjut ke Hasan bin ‘Ali ra (putra ‘Ali ra) dan Husein bin ‘Ali ra (saudara kandung Hasan ra). Dari sini, kepemimpinan berlanjut ke ‘Ali Zainal ‘Abidin (putra Husein ra), Muhammad al-Baqir (putra ‘Ali Zainal ‘Abidin), Ja’far ash-Shadiq (putra Muhammad al-Baqir), Musa al-Kazhim (putra Ja’far ash-Shadiq), ‘Ali ar-Ridha (putra Musa al-Kazhim), Muhammad al-Jawwad (putra ‘Ali ar-Ridha), ‘Ali al-Hadi (putra Muhammad al-Jawwad), Hasan al-Askari (putra ‘Ali al-Hadi), dan terakhir kepada Muhammad al-Muntazhar.
Nama yang terakhir, yaitu Muhammad al-Muntazhar, diyakini sebagai Imam Mahdi yang diyakini belum wafat hingga detik ini. Sesudahnya, tak ada imam-imam lagi. Akan tetapi, justru Imam Mahdi yang satu inilah yang menimbulkan sebuah masalah besar bagi Syi’ah. Sebab, pada hakikatnya ia tidak ada.
Muhammad al-Muntazhar adalah sosok yang seratus persen hanya spekulasi. Semua catatan yang diyakini kebenarannya menunjukkan bahwa Hasan al-Askari wafat tanpa meninggalkan anak lelaki seorang pun. Padahal, kelompok Syi’ah Itsna Asyariyah sudah terlanjur membuat doktrin bahwa dunia tidak boleh absen dari kelahiran seorang Imam. Oleh karena itu, mereka pun mengeluarkan pernyataan bahwa kelahiran Imam Mahdi (yaitu Muhammad al-Muntazhar tadi) memang dirahasiakan oleh Allah SWT.
Dari sini, muncullah tiga golongan yang bersikeras bahwa Hasan al-Askari telah meninggalkan keturunan pewaris imaamah. Golongan pertama berpendapat bahwa Hasan al-Askari telah dikaruniai seorang putra dua tahun sebelum wafatnya. Golongan kedua berpendapat bahwa putra Hasan al-Askari dilahirkan delapan bulan setelah Hasan al-Askari wafat. Adapun golongan ketiga berpendapat bahwa al-Askari telah meninggalkan pengganti, tapi siapa pun tak boleh membahasnya, tak boleh menanyakan tempat dan namanya. Golongan ketiga inilah yang ternyata paling banyak pendukungnya.
Sesuai keyakinan kaum Syi’ah, Imam yang kedua belas – yang tak lain adalah Imam Mahdi tersebut – hingga kini masih hidup namun ia tak dapat dijangkau oleh umum. Pada akhir zaman kelak, ia akan muncul kembali. Dengan kata lain, Imam Mahdi al-Muntazhar kini diyakini ‘sedang gaib’. Selama masa kegaibannya itu, umat dipimpin oleh seorang fuqaha atau mujtahid yang bergelar na’ib al-imam (wakil imam). Ayatullah Khomeini, misalnya, adalah salah seorang na’ib al-imam tersebut. Pada perkembangannya, pelantikan wakil-wakil imam ini pun melahirkan pengkultusan berikutnya.