Ketika lahir, sang Ayah yang juga ahli hadits memberinya nama Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath thabari. Dalam perjalanan sejarahnya, beliau lebih dikenal dengan Imam Ibnu Jarir Ath Thabari. Ath Thabari merupakan sebuah penisbatan atas negara dimana beliau dilahirkan yaitu Tabarstan, tepatnya di kota Amul pada akhir tahun 224 H. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan di awal tahun 225 H, bukan di akhir tahun 224 H.
Allah telah memilih beliau untuk menjadi orang-orang yang langka. Pada masanya, beliau merupakan bintang yang paling cemerlang. Dan kecemerlangannya itu terus berlanjut, hingga sekarang.
Pada usia 7 tahun beliau sudah hafal Al Qur’an. Usia 9 tahun beliau sudah mulai menulis hadits. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang mencintai ilmu dan dakwah.
Sosoknya sangat sederhana. Tidak berharta semisal Imam Malik bin Anas maupun Imam Ibnu Hajar Al Atsqolani. Dalam sejarah perjalanan beliau dalam menimba ilmu, beliau pernah menjual bajunya untuk biaya pendidikan.
Setelah kapasitasnya keilmuannya mumpuni, beliau banyak ditawari jabatan. Baik Menteri, Qadhi ataupun pengajar anak-anak menteri dengan bayaran yang berlimpah. Namun, semuanya beliau tolak. Beliau lebih memilih berdakwah tanpa gelimang harta. Ketika beliau menjadi guru anak-anak menteri, beliau hanya mengambil sedikit bayaran untuk keperluan kehidupannya.
Pernah salah satu menteri pada zaman itu meminta beliau untuk menuliskan sebuah kitab fiqih yang menyeluruh. Beliaupun menuliskannya. Setelah khatam, sang menteri memberi beliau 1000 dinar. Namun sang imam menolak karena beliau menulis kitab itu karena Allah dan tidak mau terkotori niatnya dengan menerima imbalan dari menteri yang jumlahnya sangat besar. Jika dikurskan ke dalam rupiah, 1000 dinar setara dengan 2,196 milyar rupiah. Jumlah yang sangat fantastis.
Imam Ath Thabari tidak hanya piawai dalam satu bidang keilmuan. Selain tafsir, beliau juga pakar di bidang fiqih, sejarah, mantiq, dan juga kedokteran. Kapasitas yang beliau miliki sangat jarang ditemukan bandingnya, dari dulu hingga akhir zaman kelak.
Beliau merupakan sosok guru yang santun, suka memanfaatkan waktu untuk berdiskusi dengan murid-muridnya, dimana beliau menganggap murid layaknya seorang sahabat. Beliau juga piawai dalam ilmu Qiro’at. Suaranya merdu dan penguasaannya terhadap ilmu tersebut sangat membanggakan.
Beliau mengoptimalkan waktu untuk limu dan dakwah. Menulis sejak pagi hingga waktu ashar. Hanya berhenti untuk sholat dan sedikit makan. Setelah ashar, beliau mengajar sampai isya’. Selepas isya’ beliau melanjutkan menulis sampai larut malam. Ajaibnya, dalam sehari beliau masih sempat membaca Al Qur’an sebanyak seperempat Al Qur’an (sekitar 7.5 juz) bahkan lebih banyak lagi.
Suatu ketika, dalam salah satu sekuel diskusi dengan murid-murid, beliau menuturkan, “Bagaimana kalau kita menulis kitab tafsir?” Jawab murid-muridnya, “Berapa halaman wahai sang Imam?” Sang Imam menjawab, “30.000 halaman.” Dengan terkejut, mereka menjawab, “Sesungguhnya kita akan menghabiskan seluruh umur kita jika menulis sebanyak itu.” Sang Imam melanjutkan, “Bagaimana jika kita menulis kitab sejarah?” mereka mengajukan pertanyaan serupa, “Berapa halaman?” jawab sang Imam, “30.000 halaman.” Para murid menjawab serupa pula, “Sesungguhnya kita akan menghabiskan seluruh umur kita jika menulis sebanyak itu.” Sang Imam memungkasi dengan jawaban, “Innalillah.. sesunguhnya azam kalian telah mati.”
Berapa jumlah halaman tulisan kita? Bandingkan dengan beliau? Bagai langit dan bumi tentunya.
Karena kebijakannya, kitab tafsir dan sejarah itu diringkas masing-masing setebal 3.000 halaman. Dengan pertimbangan agar kitab tersebut tetap bisa dinikmati oleh murid-muridnya dan generasi setelahnya. Termasuk generasi kita.
Maka lahirlah kitab Tafsir yang paling monumental dengan Judul Kitab Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an atau lebih dikenal dengan Tafsir Ath Thabari. Dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Pustaka Azam – Jakarta, kitab tersebut terbagi dalam 26 jilid. Jilid 1 setebal 786 halaman. Jika rata-rata perjilid 700 halaman, maka 26 jilid sama dengan 18.200 halaman. Subhallah, itu baru versi tafsirnya. Sedangkan kitab sejarahnya, oleh penerbit yang sama dicetak dalam 5 jilid tebal.
Kitab tafsir beliau ini merupakan kitab tafsir yang paling menyeluruh isinya dan merupakan rujukan bagi kitab-kitab tafsir setelahnya. Sebuah karya monumental yang susah dicari bandingannya.
Terkait dengan kitab tafsir yang paling monumental ini, ternyata beliau sudah mempersiapkan penulisannya sejak 3 tahun sebelum beliau mulai menulis. Beliau sudah merencanakannya dengan matang, membuat outline, mengumpulkan referensi, meneliti dan membandaingkan referensi-referensi tersebut dan kemudian mengambil riwayat yang paling shohih. Beliau juga melakukan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah sejak 3 tahun tersebut agar dimudahkan dalam menulis kitabnya itu.
Sebagaimana penulis sampaikan di muka, beliau tidak hanya piawai menulis tafsir dan juga sejarah. Beliau merupakan imam yang meguasai aneka macam ilmu keislaman dan ilmu arab lainnya.
Kitab beliau yang berjudul Lathiful Qaul Fi Ahkam Syara’i Al Islam ditulis dalam 83 buku. Ikhtilafu Ulama Al Amshar fi Ahkam Syara’i Al islam berjumalah 3.000 lembar atau 6.000 halaman. Bashitul Qaul Fi Ahkam Syara’i Al Islam yang isinya tentang pendapat para Fuqoha’ terkait persoalan-persoalan umat disertai dalil-dalil dan kemudian dijelaskan oleh beliau mana dalil yang paling mendekati kebenaran ditulis sebanyak 2.000 lembar.
Sedangkan Adz Dzahabi, mengomentari kitab beliau yang berjudul Tahdzib Al Atsar dengan mengatakan : “Kalau saja pekerjaan ini diselesaikan dengan sempurna, maka akan terdiri dari 100 jilid.” Lanjut Adz Dzahabi, “ia adalah salah satu kitab yang paling menakjubkan, dimana ia memulainya dari sanad Abu Bakar yang menurutnya dianggap shahih, lalu menjelaskan kedudukan setiap hadits, permasalahan fiqih dan perselisihan pendapat para ulama’ serta alasan mereka, juga makna dan penolakan atas orang-orang yang mengingkari. Lalu iapun dapat menyelesaikan musnad yang sepuluh, musnad ahlul bait, mawali, sebagian musnad Ibnu Abbas, namun ia wafat sebelum sempat menyempurnakannya.”
Masih banyak kitab-kitab lain gubahan beliau. Sayangnya, kebanyakannya hilang bersama musnahnya kejayaan islam di tangan musuh-musuh islam.
Beliau juga piawai di bidang kedokteran. Bahkan, ketika sakit beliau mengobati dirinya sendiri. Pernah suatu ketika beliau meminta seorang dokter untuk mendiagnosa sakitnya. Sang dokter yang diminta malah menjawab, “Sesungguhnya aku tidak lebih pandai dalam ilmu kedokteran dari pada dirimu wahai Imam Besar.” Al Washaya adalah salah satu kitab kedokteran yang beliau tulis.
Imam Ath Thabari lahir dan dibesarkan pada keluarga yang menganut madzhab syafi’i. setelah besar dan faham berbagai ilmu syar’i, beliau tidak pernah menisbahkan diri kepada syafi’iyah. Beliau merupakan imam yang bermadzhab kepada kebenaran sejati yang dibawa oleh Rasulullah. Beliau menguasai semua ilmu dari semua madzhab.
Jalan dakwah memang tidak pernah sepi. Pasti ada aral menghadang, rintangan yang menerjang. Ibarat perjalanan, dakwah pastilah dipenuhi onak dan duri. Hal itu berlaku bagi siapapun selama predikatnya pengemban dakwah. Mulai para Nabi, Ulama’ hingga generasi kita sekalipun. Hal itu pulalah yang dialami oleh Sang Imam. Beliau pernah dituduh sebagai penganut syi’ah, rafidhiyah bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau salah satu ahli bid’ah. Meski semua tuduhan itu, tidak beralasan. Semuanya hanya berlandaskna hawa nafsu. Karena ternyata yang menuduh adalah mereka-mereka yang memang tidak tahu tentang dakwah ini. Mereka adalah orang awam yang sok tahu.
Parahnya, ketidaksukaan kepada imam besar ini sering kali berujung pada penyiksaan fisik. Diriwayatkan bahwa ada sekelompok orang yang sengaja menyakiti beliau karena berbeda pendapat. Kita berlindung dari Allah dari jahatnya fitnah dan buruknya menyakiti para Ulama’.
Episode kehidupan fisik Sang Imam ditutup pada akhir syawal 310 H, Allah memanggil beliau. Usianya lebih dari 85 tahun. Beliau wafat sebelum sempat menikah. Masih bujangan. Beliau sangat sibuk menulis, berdakwah dan aktivitas ibadah lainnya. Sepeninggal beliau, makamnya senantiasa dikunjung oleh ulama’ dan umat islam dari berbagai penjuru dunia. Mereka datang bukan untuk mengkeramatkan makam, melainkan melakukan sholat jenazah untuk beliau sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Sang Imam. Diriwayatkan, orang-orang yang berdatangan ke makam beliau siang dan malam dalam kurun waktu berbulan-bulan. Allahu Akbar!
Sang Imam telah pergi (jasadnya). Namun ilmunya senantiasa harum dan dipelajari oleh seluruh umat Islam, sampai akhir zaman kelak. Beliau bukan hanya ‘alim, melainkan juga zuhud dan ‘abid. Ketika sakit menjelang wafat, beliau mengabiskan waktu dengan berdzikir, bersyahadat hingga Izrail datang bertamu.
Selamat menikmati jamuan dari sang Kekasih Sejati wahai Imam besar yang mulia. Semoga kami bisa meneladanimu dalam setiap jenak kemampuan kami.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki” ( Ali Imran (3) : 169 ).
Sejatinya, Imam Ath Thabari tidaklah mati karena karyanya Monumental. Bisa jadi, kitalah yang ‘mati’ meski fisik kita berkeliaran di dunia. Lantaran diri belum menghasilkan apapun untuk umat, kecuali hanya sedikit saja.