Inilah Biografi Imam Mazhab Syafi’i yang Belum di Ketahui Banyak Orang !

Imam Syafi’i dikenal sebagai salah satu dari empat imam mazhab. Ia bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 hijriah (767 – 820 M).

Imam Syafi’i berasal dari keturunan bangsawan dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari sang ayah yang mana garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga Rasulullah SAW) dan ibunya masih merupakan cicit dari Ali bin Abi Thalib R.A.

Semenjak usia 7 tahun, beliau sudah dapat menghafal Al-Qur’an 30 juz. Setahun kemudian beliau menghafal 1.720 hadist karangan Imam Malik dalam kitab Al Muwatha’.

Imam Syafi’i mempunyai kecerdasan yang sangat tinggi bahkan ketika beliau masih berumur 15 tahun beliau sudah dipercaya untuk bisa memberikan fatwa di Kota Mekkah.

Semakin banyak ilmu yang dimiliki oleh Imam Syafi’i, tidak membuat ia merasa sombong. Namun sebaliknya, dia semakin merendah, semakin tawadhu, dan semakin kuat imannya karena dari ilmu yang ia dapat ia semakin dekat dengan Allah SWT.

Perkataan-perkataan Imam Syafi’i tidak pernah mengandung kata-kata kebatilan. Melainkan sebaliknya, kata-kata yang keluar dari lisan Imam Syafi’i banyak mengandung makna, kebijaksanaan, dan kebaikan untuk seluruh umat Muslim.

Nasab, Kelahiran, dan Keluarga

Syafi’i merupakan salah satu dari sekian banyak raksasa ulama islam dan iman yang sangat istimewa yang pernah dilahirkan di muka bumi. Sejumlah prestasi yang menjadikannya pantas menyandang gelar imam Mazhab.

Beberapa prestasi yang dimilikinya menghafal seluruh isi Al-Qur’an pada usia 7 tahun, mengahfal seluruh kandungan kitab al-muwatha’ karangan imam Malik yang berisi kurang lebih 1.180 hadist dan dipercaya menjadi Mufti Mekkah pada usia 15 tahun.

Menginjak usia 54 tahun dimana Syafi’i menutup mata untuk selama-lamanya, sang Imam telah menghasilkan karya tulis kurang lebih 113 buah kitab yang merambah banyak disiplin ilmu, diantaranya mengenai fiqih, tafsir, sastra, sejarah, dan ushul fiqih.

Imam Syafi’i lebih dikenal dan disapa dengan nama kakeknya yang ketiga yaitu Syafi’i ini memiliki titik pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW.

Dalam diri imam Syafi’i mengalir darah yang serupa dengan darah yang mengalir pada diri Rasulullah SAW. ‘Abdu Manaflah sosok persentuhan jalur keturunan sang Imam dengan Nabi terakhir tersebut.

Imam Syafi’i mengisahkan ketika remaja pernah mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, kisah yang kian memperteguh hubungan yang ada antara dirinya dengan Nabi Muhammad SAW.

Dalam mimpinya, Sang Nabi menyapanya hangat, “Siapakah engakau ?” Syafi’i menjawab,” Aku salah satu keturunanmu, wahai Rasulullah.” Sang Nabi menjawab, “Mendekatlah …” Selanjutnya Rasulullah SAW menyentuh wajah Syafi’i, lalu mulut, dan berhenti dengan mengusap bibir Syafi’i. Sejenak kemudian, Sang Rasul bersabda, “Cukup, semoga Allah merahmatimu …”

Dengan demikian, menelusuri rekam silsilah yang menurunkan bapak dan ibunya, Muhammad bin Idris Syafi’i adalah warga dari suku Quraisy, satu klan Arab mulia yang juga melahirkan Nabi Muhammad SAW.

Mutiara Hikmah Syafi’i

Secara harafiah, hikmah bermakna tuturan yang selaras dengan kebenaran, falsafah, perkara yang benar dan lurus, pengetahuan, kearifan, serta lapang dada. Pada intinya hikmah adalah pemahaman tertinggi yang menghubungkan manusia dengan pada ranah hakikat.

Maka yang dimaksud dari hikmah Syafi’i adalah ucapan-ucapan sastrawi yang digubah oleh Imam Syafi’i yang mengandung kearifan mendalam.

Pengetahuan

“Raihlah ilmu sebelum engakau memimpin. Jika telah berbalut kekuasaan, tertutup sudah jalanmu menuju perolehan ilmu.”

“Pengetahuan lebih utama daru pada sholat sunnah.”

“Siapa yang menginginkan dunia hendaknya ia memiliki ilmunya dan siapa yang mendambakan akhirat hendaknya ia memiliki ilmunya.”

“Suksesnya mendulang pengetahuan bergantung pada keadaan yang serba kurang.”

“Hiasan para ulama adalah taufik, perhiasannya adalah akhlak luhur, dan keindahannya adalah jiwa yang mulia.”

“Seorang alim bukanlah yang ketika dihadapkan pada kebaikan dan keburukan lalu ia memilih kebaikan, akan tetapi yang ketika diperhadapkan pada dua buah keburukan ia sanggup memilih yang paling kecil resikonya.”

“Cukup seorang yang dikatakan pandai jika kepandaiannya membuatnya terampil memindai seluruh keburukannya.”