Di negeri-negeri Timur, pembicaraan tentang kultur budaya memang sangat sensitif. Stereotipe yang sudah terbangun selama puluhan, bahkan ratusan tahun, menyatakan bahwa bangsa-bangsa Timur begitu menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Jika tidak mempertahankan budaya nenek moyang, maka bukan Timur namanya.
Begitulah Barat memandang Timur. Bagi mereka, Timur adalah wilayah yang penuh dengan eksotisme. Dari Timur Tengah ke Afrika, dari Jepang hingga ke Zamrud Khatulistiwa, Timur adalah tanah membentang yang kaya akan keindahan, baik alam maupun budayanya. Oleh karena itu, Timur selalu menjadi tujuan wisata dan peristirahatan yang ideal bagi orang Barat. Di Indonesia, misalnya, Pemerintah Kolonial Belanda tidak pernah lupa membangun kota-kota yang khusus digunakan untuk tempat peristirahatan. Jika Batavia (Jakarta) dibangun sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, maka mereka pun tidak lupa membangun Buitenzorg (Bogor) sebagai kota peristirahatan tempat mereka melepas penat dari kesibukan di Batavia. “Buitenzorg” sendiri konon bermakna “tanpa kecemasan” atau “aman tenteram”.
Jika orang Barat singgah ke negeri-negeri Timur, umumnya mereka tidak berminat dengan kecanggihan teknologinya. Jika pergi ke India, mereka ingin melihat kekayaan kultur melalui budaya tari-tariannya atau singgah di kuil-kuilnya. Di Cina, mereka ingin menyaksikan Kota Terlarang yang begitu megah atau menyaksikan gelaran pertunjukan Kung Fu Shaolin. Di Bali, mereka tertarik dengan pantai-pantainya yang bersih, tari-tariannya, dan jika beruntung, mereka bisa menyaksikan upacara-upacara kolosal semisal Ngaben. Bahkan ketika singgah di negara yang sangat maju seperti Jepang sekalipun, orang-orang Barat tidak tertarik dengan kereta supercepatnya, melainkan dengan upacara minum teh, singgah di kuil-kuil Shinto dan semacamnya. Bagi orang Barat, Timur identik dengan budaya leluhur.
Selain terikat dengan eksotisme, sejarah relasi Barat-Timur juga penuh dengan corak kolonialisme. Setelah Barat mencapai puncak kedigjayaan teknologi selepas Abad Pencerahan, Darwinisme seolah memberikan legitimasi kepada bangsa-bangsa Barat untuk menganeksasi wilayah negeri-negeri Timur. Bagi mereka, hanya ras kulit putih Eropa sajalah yang berada di puncak pohon evolusi. Selebihnya, yaitu mereka yang berkulit merah, kuning, coklat dan hitam, berada pada posisi inferior. Maka mereka pun menjelajahi dunia dan saling ‘berbagi kapling’. Spanyol sempat berkuasa di Amerika Selatan, sedangkan Portugal menguasai Brazil. Amerika Utara pada akhirnya diperebutkan oleh Inggris dan Perancis. Filipina diambil oleh Spanyol, sedangkan Indonesia Timur dicaplok oleh Portugal. Sisa wilayah Indonesia diperebutkan oleh banyak negara, mulai dari Belanda, Portugal, Inggris, dan saat Perang Pasifik Raya berkecamuk, Jepang pun turut menjajah Indonesia. Tentu saja, pola pikir ala Darwin pada akhirnya memakan korban juga di Eropa, sebab semua diktator mengaku-ngaku sebagai pengikut ajaran Darwin, atau minimal cara berpikirnya sejalan dengan Darwin. Hitler ingin menguasai Eropa hanya karena merasa bangsa Jerman adalah ras paling unggul, Mussolini menghancurkan negeri-negeri di Afrika karena paham rasis-fasisnya, dan Stalin pun memiliki cara berpikir yang tidak lebih baik.
Karena negeri-negeri Timur telah menderita sekian lama akibat penjajahan Barat, maka cara berpikirnya pun seringkali ambigu. Dengan cara yang unik dan khas, dalam nurani masyarakat Timur telah tumbuh perasaan lain terhadap Barat, sehingga yang tadinya benci dan dendam (karena dijajah) lambat laun berubah menjadi rendah diri, kagum, bahkan kemudian merasa tergantung padanya. Meskipun bangsa-bangsa Timur pada akhirnya meraih kemerdekaan, namun cara berpikirnya telah terbaratkan. Mereka terus mengobarkan semangat mengusir penjajah, namun pada saat yang bersamaan juga mengadopsi ideologi mereka. Indonesia, misalnya, meski dikenal sebagai bangsa yang agamis, namun toh dari masa ke masa tetap saja dipimpin oleh para penguasa yang sekuler.
Hingga detik ini, Indonesia masih mengalami dualisme dalam mengidentifikasi jati dirinya sendiri. Selain masalah corak agamis dan sekuler, Indonesia pun senantiasa mengalami kebingungan ketika mendudukkan antara gaya hidup yang modernis dengan tradisionalis. Sebagaimana bangsa-bangsa Timur lainnya, Indonesia pun mengidentifikasi dirinya sebagai bangsa yang menjunjung tinggi tradisi bangsa. Di lain pihak, karena masyarakatnya yang senantiasa merasa inferior di hadapan Barat, maka mereka pun selalu mengekor Barat, mulai dari teknologi hingga gaya hidup.
Terjadilah kesenjangan sosial yang cukup tajam antara masyarakat kota dan pedesaan. Di desa-desa, masyarakat teguh menjunjung tradisi budayanya, sedangkan yang di perkotaan memiliki gaya hidup yang sangat kebarat-baratan. Masyarakat di desa masih sibuk dengan berbagai upacara adatnya, masyarakat perkotaan sudah sibuk dengan kafe, dugem dan BlackBerry (BB). Situasi semakin rumit ketika pengaruh masyarakat perkotaan meluas hingga ke desa-desa, sehingga masyarakat desa yang tadinya hidup sederhana pun kini mati-matian mengikuti gaya hidup orang kota, tidak beda dengan masyarakat kota yang habis-habisan mengikuti gaya orang Barat yang disaksikannya di layar televisi. Maka di kampung-kampung pun orang berlomba-lomba membeli DVD Player dan masing-masing punya dua ponsel. Bahkan ada yang rumahnya masih berlantai tanah tapi layar televisinya sudah flat dan ukurannya besar bukan main. Supaya puas saat nonton sepakbola, katanya.
Kelatahan masyarakat ‘tradisional’ mengikuti gaya hidup orang kota tidak hanya dari sisi teknologi, tapi juga moralitasnya. Karena semua rumah (yang penghuninya ngotot hendak ikuti jaman) punya DVD Player, maka penyebaran film porno pun meluas hingga ke desa-desa. Anak remaja yang tadinya dididik untuk senantiasa santun dan memperhatikan batas-batas pergaulan dengan lawan jenis kini ‘diserbu’ dengan film-film Hollywood yang selalu menyajikan adegan seks – baik adegan itu penting atau tidak, relevan dengan cerita atau tidak – sebelum akhirnya coba-coba menonton film yang murni porno. Anak-anak yang dulunya dibiasakan mengaji di surau selepas Maghrib kini bahkan tidak pulang untuk makan malam dan tidak ketahuan rimbanya hingga adzan Subuh, sebab semalaman sibuk bermain game online. Di tengah dusun di kaki gunung sekalipun bisa kita temukan tempat permainan semacam ini yang buka 24 jam. Pemerintah, untuk alasan yang belum diketahui, tidak bertindak sama sekali.
Masyarakat perkotaan bukannya tidak mengalami permasalahan serupa, melainkan justru merekalah yang sudah lebih dahulu mengalaminya. Berbagai permasalahan moral mengemuka dan tak ada satu pun teknologi yang bisa membantu mereka keluar dari kubangan. Meskipun mereka kelihatan lebih maju dalam hal penguasaan teknologi (dibandingkan masyarakat pedesaan), namun sebenarnya mereka tetaplah sekedar ‘pengikut’, bukan pengguna sejati yang kritis, apalagi produsen yang mampu bersaing. Ketika orang rajin berkirim surat, muncullah surat kaleng yang menebar mitos. Ketika jaman berganti dan surat digantikan dengan e-mail, ternyata cara berpikirnya belum banyak berubah, sehingga ada saja yang percaya pada berita yang menyebutkan bahwa pada tanggal tertentu Mars akan terlihat sebesar Bulan. Beralih ke jaman Friendster, merebak isu bahwa Friendster sedang mengevaluasi semua penggunanya dan semua akun yang tidak menyebarluaskan pesan itu akan dihapus. Isu yang sama kemudian merebak di kalangan pemilik akun dari Yahoo!Mail, Gmail, dan akhirnya Facebook. Ketika BlackBerry sudah ada di tangan segenap kaum muda bangsa Indonesia, ternyata broadcast message yang tidak lebih dari sekedar isu pun masih saja berseliweran. Teknologi berganti, tapi watak bangsa tidak banyak berubah. Sebab mereka hanya pengikut.
Masyarakat di perkotaan, biarpun penampilannya elit, masih banyak yang berpikir ‘tradisionalis’. Meski sehari-hari berpakaian serba trendi, kadang-kadang adat istiadat masih mereka jaga pula. Lihatlah betapa kalangan elit bangsa ini hidup dengan mewahnya dengan segenap peralatan dan gadget terkini, namun ketika menikah ternyata masih memelihara kepercayaan nenek moyangnya. Anak gadisnya dipertontonkan ke khalayak umum dengan pakaian yang memperlihatkan sebagian auratnya, kemudian dimandikan sebagai perlambang kesucian. Ada juga yang masih berpikiran bahwa air bekas siraman itu membawa tuah sehingga dibagi-bagikan; herannya, banyak yang antusias menerimanya! Ada juga yang punya tradisi menghormati orang tuanya dengan cara mencuci kakinya di dalam baskom, kemudian air bekas cucian itu diminumnya dengan penuh kekhidmatan.
Para bangsawan pun tidak ingin ketinggalan, hingga kini masih menghidupkan berbagai tradisi leluhur. Ada yang menumpuk bahan makanan di suatu tempat untuk kemudian diperebutkan oleh rakyat jelata. Kata kakek-nenek mereka, siapa yang bisa mendapatkan bahan makanan itu akan mendapat berkah. Makin banyak yang didapat, makin banyak berkahnya. Padahal kakek-neneknya sepanjang hidup tidak pernah absen mengikuti upacara itu, sepanjang hidup selalu kebagian, dan sepanjang hidup pula selalu kesusahan. Ada juga yang melempar-lempar makanan dari teras istana sehingga rakyat jelata memperebutkannya. Yang dicari sama saja, yaitu keberkahan. Tapi rakyat jelata dari tahun ke tahun sama saja, tetap saja hidup susah. Hanya sedikit yang nasibnya berubah. Sebagian budayawan berkilah mengatakan bahwa tradisi itu adalah perlambang dari kerja keras mencari keberkahan, dan sudah lazim dimaklumi bahwa yang kerjanya lebih keras pasti akan lebih beruntung hidupnya. Tapi itu hanya teori, dan rakyat jelata tidak terlalu paham dengan teori. Terbukti, mereka lebih suka disibukkan hidupnya dengan ‘simbol kerja keras’ daripada kerja keras itu sendiri.
Di pelosok-pelosok negeri, masyarakat petani menyambut musim penghujan dengan berbagai cara, mulai dari upacara adat hingga pagelaran seni. Ada tari-tarian tertentu yang membawa para penarinya pada kondisi trance, bahkan sampai kesurupan. Ada juga yang mengadakan pawai arak-arakan dengan membawa seorang perempuan yang didandani khusus sebagai simbol Dewi Sri, yaitu Dewi Kesuburan, meskipun mayoritas bahkan seluruh peserta arak-arakan itu adalah Muslim tulen.
Masyarakat nelayan juga punya tradisi yang kaya. Di wilayah Pantai Selatan, berbagai upacara diadakan untuk menghormati Nyi Roro Kidul, tokoh mitologi yang dianggap sebagai penguasa lautan di wilayah itu. Sebagian lagi rajin melarung bahan makanan ke lautan. Mereka tata bahan-bahan makanan dengan rapi, kemudian mereka hanyutkan saja ke tengah lautan. Kata para budayawan, tradisi ini dibuat sebagai bentuk kesyukuran masyarakat terhadap hasil laut yang melimpah. Jadi, rasa syukur diwujudkan dalam perilaku boros; sebuah sikap ambigu yang tidak berbeda dengan keambiguan wajah negeri setelah jati diri dan kepribadiannya direnggut oleh sekularisme.
Sekularisme di mana-mana senantiasa mengakibatkan sikap ambigu. Di Barat, orang-orang sudah lama minggat meninggalkan agama, tapi toh akhirnya banyak yang terjerat dengan pesona mistisisme Timur. Sebaliknya, di Timur, orang masih bersikeras ingin disebut santun, berbudaya dan agamis, padahal gaya hidupnya sepenuhnya mengikuti Barat yang sekuler. Di Indonesia, masyarakatnya mengaku agamis, tapi agama itu sendiri yang tidak pernah diperbolehkan tampil mengemuka. Setiap kali agama dibawa ke dalam urusan sosial-politik, muncullah isu radikalisme, fundamentalisme dan seterusnya.
Ambiguitas ini selamanya akan menghantui Indonesia selama bangsa ini belum menyadari bahwa ada opsi lain di luar sekularisme, yaitu Islam. Islam tidak memandang modernisme dan tradisionalisme secara ambigu, karena Islam tidak kehilangan pegangan dalam menentukan pandangannya terhadap jaman. Ajaran agama yang benar mampu membebaskan manusia dari mitos-mitos dan takhayul tak bermanfaat, menanamkan sikap hidup yang benar, namun sekaligus juga menjaga manusia agar tidak terjebak dalam perilaku tak bermoral dan tak bertuhan ala masyarakat sekuler. Dengan kepribadian Islam, masyarakat tidak perlu ikut-ikutan latah mengikuti orang di negeri lain, namun juga tidak perlu keras kepala mempertahankan mitologi-mitologi yang membutakannya dari realita kehidupan.
Jika Indonesia benar-benar berkeinginan untuk maju, maka yakinlah bahwa kemajuan itu tidak diukur dari besarnya layar televisi, jumlah ponsel yang dimiliki orang, atau koneksi internet yang sampai ke pelosok desa. Sekularisme telah gagal. Kini saatnya kita melihat opsi yang lain.