“Mata keridhaan, buta terhadap segala aib, tetapi mata kebencian, menampakkan segala keburukan” (Sa’id Hawwa, Al Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus)
Rasanya tak kan ada yang menyangkal bahwa persahabatan itu sangat indah. Betapa tidak, sungguh menyenangkan sekali mempunyai seseorang untuk melewatkan hari-hari, berbagi cerita, serta merasakan suka dan duka bersama-sama. Begitu hebatnya persahabatan ini, hingga seseorang bisa menganggap sahabatnya seperti saudara kandung sendiri, bahkan juga dapat melebihi. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan sebagian orang bahwa keindahan hidup ini belumlah lengkap tanpa kehadiran sahabat.
Tetapi kadangkala…
Persahabatan bisa saja tidak sesuai dengan apa yang diharapkan karena sang sahabat melakukan hal-hal yang tidak kita suka. Kadang kita merasa, sang soulmate mulai menjauh dan lebih memilih berteman akrab dengan orang lain entah karena alasan apa. Kecewa, marah, dan perasaan merasa diabaikan bercampur aduk menjadi satu. Pepatah “habis manis sepah dibuang” tiba-tiba saja dirasa sesuai dengan keadaan kita.
Kenangan lama tentang sang sahabat tak jarang datang kembali ke benak ini. Akan tetapi yang muncul hanyalah ingatan tentang sisi buruknya saja. Kebencian lalu menuntun kita untuk meneliti kekurangannya satu persatu. Kesalahannya di masa lampau mulai menari-nari di panggung pikiran. Berbagai prasangka yang tak beralasan pun perlahan-lahan menyeruak dan membelenggu akal sehat.
Begitulah. Sahabat yang pada awalnya kita sayangi berubah menjadi orang yang paling ingin kita hindari. Kita menjadi malas berbicara dengannya. Tak ada lagi keinginan untuk menelponnya barang beberapa menit saja. Kita pun tak berkehendak menyapanya lewat sms atau e-mail. Ya, dengan ungkapan lain, kita menjadi alergi dengan keberadaannya, dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya.
Astaghfirullahal ‘azhim…
Jangan biarkan kebencian kita bertahta, wahai kawan!
Memang, kita hanyalah manusia biasa. Adalah hal yang wajar jika kebencian terbit ketika kita mendapat perlakuan yang tidak sesuai kehendak hati. Tapi ingatlah, tak sedikitpun kita diperintahkan untuk memelihara kebencian. Tidak oleh Allah, tidak oleh para nabi dan rasul-Nya, tidak juga oleh para pecinta-Nya yang sejati. Tak ada satupun. Kebencian adalah bagian dari amarah. Dan bukankah Rasulullah telah berulangkali mewasiatkan supaya ummatnya tidak marah?
Berpikir jernihlah, wahai saudara!
Manusia diciptakan tak hanya dengan kelebihan, tapi juga kekurangan dan kelemahan. Sangatlah tidak mungkin kita menemukan orang yang segala perilakunya sesuai dengan harapan dan keinginan kita. Maka janganlah membencinya apalagi memutuskan hubungan silaturahim dengannya.
Untuk mengusir rasa benci, mengapa kita tidak mengingat sisi yang baik saja darinya? Mungkin saja, di antara sahabat-sahabatmu yang lain, hanya dia yang amanah. Mungkin saja, di antara sahabat-sahabatmu yang lain, hanya dia yang selalu menepati janji. Mungkin saja, di antara sahabat-sahabatmu yang lain, hanya dia yang selalu berkata jujur. Mungkin saja, di antara sahabat-sahabatmu yang lain, hanya dialah pendengar yang baik. Mungkin saja, dia mempunyai kebaikan yang tidak ditemukan pada sahabat kita yang lain… Sekarang, kita hanya perlu membimbing pikiran kita untuk mencari kebaikan-kebaikannya itu.
Masih ada noktah hitam yang menodai hati?
Janganlah biarkan pikiran buruk yang berkuasa. Ingat saja kenangan indah yang lain. Ketika kita merenda hari-hari bersamanya. Ketika kita melakukan banyak hal yang menggembirakan dengannya. Sungguh tiada guna mengingat kenangan yang kurang menyenangkan karena bisa saja timbul prasangka dan pikiran buruk terhadapnya. Dikarenakan itu, Rasulullah SAW bersabda,
“Hati-hatilah dengan prasangka karena prasangka adalah yang terburuk dari kabar palsu, jangan mencari-cari dan mematai-matai kesalahan orang lain, jangan saling mencemburui (iri) satu sama lain, dan jangan memutuskan hubungan satu sama lain, dan jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara” (HR Bukhari, diriwayatkan oleh Abu Hurairah)
Masih ada berkas-berkas kebencian yang menyusup di relung hati?
Ayolah, coba ingat yang baik-baik dari dirinya. Tentu ada! Jikalau dia memang bersalah, serahkan saja pada yang Maha Adil. Apa keuntungan yang kita peroleh dengan membencinya? Bukankah kebencian hanya akan menyuburkan amarah dan perlahan-lahan akan mengotori jiwa? Maka dengarkanlah firman Allah,
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy Syams [91] : 9 – 10)
Dan mengapa kita mesti terpaku dengan “karena nilai setitik, rusaklah susu sebelanga”? Bukankah kita bisa memindahkannya ke belanga yang lebih besar lalu menambahkan lebih banyak susu untuk memperkecil kadar nila dalam campuran itu?
Kemudian, tak ada ruginya untuk menengok sejenak apa yang ada dalam hati kita sekarang. Apa yang menjadi pendorong sewaktu kita menjalin persahabatan dengan orang lain? Adakah kita yakin bahwa kita mengharapkan pujian, penghormatan, ataupun semacam bentuk balasan dari sahabat itu? Sekali lagi, astaghfirullahal ‘azhim…
Jangan. Buanglah jauh-jauh niat-niat seperti itu. Percayalah, kekecewaan itu muncul karena kita menghadirkan tujuan-tujuan selain-Nya. Sejatinya, tidak ada balasan yang lebih baik selain yang diberikan-Nya. Dan betapa rendahnya kita jika mengharap balasan selain dari-Nya. Maka bersahabatlah karena Allah. Jalinlah hubungan persahabatan jika itu membuat kita makin dekat dengan-Nya. Seandainya kelakuan sang sahabat tidak sesuai dengan harapan, kita akan bisa mengerti bahwa dia hanya seorang ciptaan Allah yang pasti jauh dari kesempurnaan.
Teman, masih ada kebencian yang seadang bersemai?
Tidak usah merusak kebahagiaan kita dengan hal-hal yang buruk. Pikirkan saja sesuatu yang membuat iman kita tidak luntur dan suasana hati menjadi lebih tenang. Dengan begitu, insyaAllah kita akan tetap berada dalam kondisi emosi yang stabil. Maka Alfred Adler, seorang psikiater pun berkata, “Di antara keistimewaan yang paling indah pada manusia adalah kemampuannya mengubah negatif menjadi positif.”
Lalu, mengapa kita tidak mencoba?
Allahu a’lam bish-showab,