“Karena Mamas tak mau, istri dan anak-anakku kelak, kebingungan tak punya tempat berteduh. Resiko pekerjaan Mamas kan bisa berpindah-pindah, waktunya gak jelas pula”, jawab suamiku, saat kutanya mengapa nekat membeli rumah sebulan sebelum menikah.
Pertanyaan itu kuajukan setelah sepekan kami menikah, dan aku baru tahu kalau dia sudah membeli sebuah rumah mungil untuk tempat tinggal kami nanti. Kaget, karena untuk acara pernikahan sendiri tentu dia juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Aku juga tentunya. Tapi dia berkata, itu sudah menjadi keputusannya. Sengaja berhemat-hemat saat bujang dengan harapan bisa membeli rumah menjelang nikah.
Terlebih karena dia memikirkan resiko di tempat kerjanya, sebuah instansi pemerintah yang kerap melakukan mutasi pegawai secara rutin ke seluruh wilayah tanah air. Mutasi bisa terjadi dua atau empat tahun sekali. Kemana? Ya tergantung nasib. Bisa di Jawa saja, bisa juga di ujung pulau berbatasan dengan negara tetangga.
“Mamas berharap, kalau Mas pindah-pindah, rumah ini bisa jadi base camp kita di Jakarta, setidaknya sementara ini. Kan Ajeng masih kuliah. Kalau tiba-tiba mutasi, Mamas pusing membayangkan tiap tahun nanti Ajeng harus mikir kontrakan rumah”, jelasnya.
Ya, waktu itu kuliah pasca sarjanaku memang belum selesai. Andai saja tiba-tiba dia mutasi, aku tentu tak bisa mengikuti dia pindah. Bukan aku tak ingin menjadi istri sholihah yang selalu mendampingi suami. Tapi ini salah satu poin yang sudah disepakati sejak kami ta’aruf. Bahwa dia tidak akan mempermasalahkan kuliahku kaitannya dengan lazimnya permutasian di kantornya. Dia tidak akan memintaku harus ikut pindah juga selama kuliahku belum selesai. Lain halnya jika aku bekerja, mungkin bisa dipertimbangkan pindah dan mencari jenis pekerjaan lain di kota tujuan.
Memang, tradisi mutasi di kantornya kurasa agak ajaib. Entah menggunakan landasan teori siapa, tapi hampir pasti ada rolling mutasi secara rutin. Ada temannya yang sejak 15 tahun lalu bekerja, sudah mengalami 10 kali mutasi, dengan jarak pindah yang ruwet, jauh-jauh. Bahkan ada juga temannya yang dalam setahun sudah dimutasi tiga kali, mana jauh-jauh dari ujung timur ke ujung barat, lalu ke tengah. Nah, kalau yang model begini anak istri harus selalu ikut mendampingi di mana suami berada, puyeng juga. Apalagi jika anak-anak sudah saatnya sekolah. Mereka membutuhkan waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan baik agar prestasi dan perkembangannya optimal. Jika sekolah dan teman-temannya berganti-ganti terus, apa gak kasihan? Lagi pula tidak di setiap kota terdapat sekolah yang cukup bagus.
Maka, kupikir, pemikiran tentang base camp itu menjadi sangat logis.
Memang akhirnya karena pertimbangan jarak, rumah itu tak pernah kami tempati. Aktivitas kuliahku dan juga kantornya di pusat kota Jakarta, tapi rumahnya di ujung Cibubur sana. Sangat makan waktu dan tenaga untuk tiap hari bolak-balik berkegiatan. Akhirnya kami mengontrak rumah di dekat kantornya (yang kebetulan juga dekat kampusku). Sedang rumah itu ditempati salah seorang ikhwan fil-Lah dan keluarganya, hingga sekarang. Menempati rumah dengan kondisi sangat seadanya itu secara cuma-cuma, sejak delapan tahun lalu. Mengapa cuma-cuma? Manalah tega meminta uang kontrakan, jika bapak beranak enam itu sehari-hari berprofesi sebagai tukang bubur ayam keliling komplek perumahan?
Namun, sebenarnya saat kami amati kemudain, Alhamdulillah taraf hidup mereka sekeluarga tampak makin membaik. Bisnisnya pun mulai beragam, menjual berbagai buku Islam dan obat-obat herba, hingga berdagang di kantin di sekolah tak jauh dari rumah. Kadang, kami tergoda juga untuk mulai menerapkan bisnis beneran: bayar uang kontrakan dong. Lumayan lah kalau setahun sekian juta, kan bisa buat nambah-nambah urusan dapur. Tapi, lalu kami berpikr ulang. Mungkin Allah begitu Maha sayang, melimpahkan banyak rezeki pada kami, justru karena melalui doa bapak ini sekeluarga, yang merasa sudah mendapatkan tempat berteduh yang nyaman. Karena, kalau kami berkunjung ke sana, Subhanallah sambutannya luar biasa. Meski seadanya, tapi tampak benar bahwa mereka merasa beruntung mendapatkan hunian cuma-cuma, meskipun hanya sebatas hak guna bangunan. Lalu, jika diterapkan prinsip bisnis beneran, akankah kami masih tetap didoakan?
Itu cerita 13 tahun lalu.
Tadi malam, aku diminta suami mencari bukti pembayaran PBB rumah yang sekarang kami tempati. Ya, rumah sederhana yang Alhamdulillah sudah milik sendiri di daerah yang masih cukup sejuk di Pamulang. Saat kutemukan struk PBB itu, tertegun aku menyadari, di struk itu tertulis namaku, bukan nama suamiku. Lalu aku buka SHM yang menyatu dalam folder yang sama. Ternyata memang rumah dan tanah ini, atas namaku. Subhanallah, hampir aku terlupa tentang fakta yang satu ini, sejak rumah ini dibeli lima tahun lalu. Ya, waktu itu suami memutuskan bahwa rumah ini lebih baik atas namaku saja.
“Kalau Mamas ada apa-apa, Mas berharap nanti Ajeng dan anak-anak tidak kesusahan”, ucapnya, waktu itu.
Ucapan yang justru membuatku merinding dan agak takut. Kenapa sampai sejauh itu memikirkan masa depan? Ucapan yang juga membuatku sangat terharu, menyadari bahwa dia berupaya optimal melakukan perannya sebagai qawwam, orang yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga ini.
“Kita kan tak tahu bagaimana nanti, Jeng, Ini untuk preventif saja”, katanya lagi sambil membelai bahuku, memahami risauku.
Bagaimana nanti? Apakah itu? Naluri perempuanku mengembara kemana-mana. Kemungkinan apa yang bisa terjadi di masa depan? Suami menikah lagi? Suami meninggal? Suami mengalami kecelakan lalu cacat tetap dan tak bekerja lagi? Astaghfirullah, bayangan buruk itu segera kutepiskan semua.
Suami menikah lagi, hingga agar aman, maka aku dan anak-anak sudah mendapatkan hak atas rumah ini sejak awal? Hmm, soal menikah (lagi) itu rasanya tidak ada dalam kamusnya, meski aku juga tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Aku tak pernah meminta dia berjanji agar tidak menikah lagi, karena toh syariat memang membolehkan hal itu. Buat apa meminta janji untuk sesuatu yang pada akhirnya ’batal demi hukum’? Lagi pula, soal ini sudah kami bahas tuntas sejak sepekan kami menikah, dan aku sudah memberikan jawaban yang tegas tapi syar’i pada waktu itu, Insya Allah. Jawaban yang sampai hari ini pun aku yakin dia masih ingat. Tidak perlu diperbincangkan terlalu jauh, karena yang banyak memperbincangkan juga nyatanya belum tentu berani melaksanakan.
Suami meninggal? Astaghfirullah, aku sering sekali berdoa, dan sering pula kuucapkan padanya, “Jarang ada suami istri meninggal dalam waktu yang bersamaan. Jika Mamas berkenan, ijinkan Ajeng berharap, nanti Ajeng yang meninggal lebih dulu ya? Rasanya Ajeng nggak sanggup hidup dan mengasuh anak-anak kalau gak ada Mamas”.
Permintaan yang egois, mungkin. Sementara dia juga kadang mengatakan hal yang kurang lebih sama, “Ajeng pergi sebentar saja rasanya dunia sepi. Gimana kalau gak ada beneran, Mamas seperti hidup dengan separuh nyawa”.
Lalu bagaimana? Ya sudah, kami hanya manusia yang berikhtiar sebisanya. Dikembalikan kepada kehendak-Nya saja. Yang penting, kami harus terus menyiapkan bekal jika sewaktu-waktu dipanggil-Nya. Bekal akhirat yang utama, juga bekal ilmu bagi anak-anak, dan bekal cara mencari penghidupan yang layak bagi mereka.
Dan rumah yang dulu dia beli menjelang nikah itu, juga rumah yang kini kepemilikannya atas namaku ini, kuyakini sebagai salah satu upaya menyiapkan bekal penghidupan bagi aku dan anak-anak, orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Upaya mengeja cinta, melalui bukti nyata, tak sekedar kata.