Di antara sepak terjang yang paling mengagumkan bagi mayoritas kaum Muslimin, khususnya beberapa tahun belakangan ini adalah sepak terjang Hizbullah dan pemimpinnya: Hasan Nasrallah. Hasan Nasrallah bahkan dijuluki oleh majalah Newsweek Amerika Serikat sebagai tokoh yang paling kharismatik di dunia Islam, plus yang paling berpengaruh bagi mayoritas kaum Muslimin.
Pun demikian, ulama dan cendekiawan Muslim memiliki pendapat yang bermacam-macam dan bertolak belakang dalam menilai Hizbullah dan Hasan Nasrallah sebagai pemimpinnya. Di antara mereka ada yang membelanya mati-matian hingga menjuluki Nasrallah sebagai Khalifah kaum Muslimin. Tapi ada pula yang menyerangnya habis-habisan hingga mengeluarkan Hizbullah dari Islam secara keseluruhan, dan masih puluhan pendapat lagi yang berkisar di antara dua penilaian tadi.
Lantas di manakah kebenaran yang sesungguhnya dalam masalah ini? Bolehkah kita berbangga dengan sepak terjang Hizbullah selama ini? Pantaskah kita menganggapnya sebagai lambang kebanggaan, ataukah kita harus peringatkan orang-orang akan bahayanya? Dan bolehkan kita mengikuti gerakan ‘bungkam mulut’ yang dianjurkan oleh banyak kaum Muslimin, dengan mengatakan: “Apa perlunya mengungkit-ungkit masalah ini sekarang?”, ataukah ‘bungkam mulut’ tadi ada artinya, mengingat peristiwa yang terus berlanjut dan masalah-masalah yang makin ruwet… dan Anda tahu bahwa orang yang mengacuhkan kebenaran seperti syaithan yang tuli?!
Sebagaimana yang biasa kami lakukan dalam tulisan-tulisan kami sebelumnya, untuk memahami sesuatu, kita harus menelusuri asal-usulnya. Kita harus menyimak kisah ini dari awalnya, dan harus tahu bagaimana Hizbullah tiba-tiba berdiri? Dalam kondisi apa ia muncul? Dan kita harus tahu kisah pendirinya, akidahnya, cara berfikir mereka, impian mereka, target mereka dan sarana yang mereka pergunakan untuk mewujudkannya. Ketika itulah kita akan tahu banyak hal yang selama ini tersembunyi. Kita akan menggunakan akal untuk mengarahkan perasaan dan sikap kita, sebab bisikan akal akan berbeda sama sekali dengan bisikan perasaan.
Bagaimana Berdirinya Hizbullah?
Hizbullah berdiri di negara Lebanon. Negara ini memiliki karakter spesial yang berbeda dengan seluruh negara di dunia. Ia merupakan negara multi golongan yang aneh bentuknya, sebab dataran Lebanon dihuni oleh sekitar 18 sekte agama yang semuanya diakui. Barangkali faktor geografis Lebanon yang bergunung-gunung itulah yang menjadikannya sarang bagi berbagai aliran yang saling bertentangan. Dari sanalah terdapat kaum Nasrani dengan berbagai sektenya, demikian pula Syiah, Druz, dan lain sebagainya.
Orang-orang Lebanon mengakui bahwa tiga golongan terbesar di Lebanon adalah: Golongan Muslimin Ahlussunnah, Golongan Syiah Itsna Asyariah, dan Golongan Nasrani Maronit. Jauh setelah mereka barulah diikuti oleh Sekte Druz yang masih dianggap sebagai Muslimin meskipun mereka tidak demikian.
Penjajah Perancis yang menginvasi Lebanon pada tahun 1920, bertekad untuk memantapkan fenomena multi golongan ini. Bahkan mereka sengaja menyerahkan sebagian besar pusat pemerintahan kepada sekutu-sekutu mereka dari kalangan Nasrani Maronit. Akan tetapi pasca kemerdekaan Lebanon tahun 1943, ditetapkanlah Undang-undang Lebanon yang memberikan jabatan presiden kepada Nasrani Maronit, lalu jabatan kepala pemerintahan (Perdana Menteri) kepada Ahlussunnah, dan jabatan ketua DPR kepada Syi’ah. Undang-undang ini belum bisa diterapkan secara praktis hingga tahun 1959, yaitu setelah semua pusat pemerintahan menerima ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak Nasrani Maronit tersebut.
Berangkat dari sensitivitas multi golongan tadi, maka orang-orang Lebanon mengacuhkan sama sekali masalah sensus penduduk yang dapat memberi gambaran lebih rinci akan persentase masing-masing golongan. Pun demikian, penelitian yang paling mendekati kebenaran ialah yang mengatakan bahwa nisbah Ahlussunnah adalah 26%, demikian pula Syia’h 26%, sedangkan Maronit 22% dan Druz 5,6%.
Wajarlah, jika setiap golongan akan berusaha untuk bermarkas di daerah tertentu sebagai basis kekuatan yang mempengaruhi daerah sekitarnya. Syiah misalnya, bermarkas di daerah selatan Lebanon dan lembah Bikaa, sedangkan Ahlussunnah bermarkas di daerah Utara dan Tengah Lebanon, serta kota-kota pesisir seperti Beirut Tripoli, dan Saida. Sedangkan Maronit bermarkas di Gunung Lebanon dan Beirut Timur.
Barangkali, posisi markas Syi’ah yang ada di selatan inilah yang menjadi alasan terjadinya bentrokan dengan pihak Yahudi dalam dekade-dekade terakhir. Jadi, konflik Hizbullah-Israel yang terjadi –sebagaimana yang akan kami ulas nantinya- bukanlah perseteruan karena akidah, bukan pula karena Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan BUKAN demi membebaskan tanah palestina. Konflik ini terjadi karena mereka merasa bahwa daerah-daerah strategis yang mereka kuasai terancam hilang, dan mau tidak mau mereka harus mempertahankannya. Sebab jika tidak, kisah mereka akan segera tamat!! Andai saja agresi militer Yahudi ditujukan kepada daerah-daerah kekuasaan Ahlussunnah, dapat dipastikan Syi’ah tidak akan bergerak sejengkal pun untuk melawan.
Musa Ash Shadr dan kaitannya dengan kronologi kisah ini
Kembali ke awal cerita…
Baik Ahlussunnah maupun Syi’ah, pernah hidup secara sangat terpinggirkan dibandingkan kaum Maronit yang mendukung penjajah Perancis dan masyarakat dunia. Akan tetapi, golongan Ahlussunnah dan Syi’ah mulai berusaha mencari jatidiri dan pengakuan akan eksistensi mereka, terutama di akhir era lima puluhan.
Di saat Ahlussunnah kehilangan pihak yang memperjuangkan nasibnya, lebih-lebih seiring dengan munculnya gerakan nasionalis-komunis yang melanda dunia Arab waktu itu; saat itulah Syi’ah mendapat nafas segar untuk tumbuh dan berkembang. Tepatnya ketika mendarat di tanah Lebanon seorang tokoh Syi’ah berpengaruh yang meninggalkan bekas-bekas nyata di peta Lebanon; dialah Musa Ash Shadr, yang tiba di Lebanon tahun 1959.
Musa Ash Shadr lahir di kota Qumm, Iran, tahun 1928, dan mendalami madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariah di kota tersebut. Ia kemudian menjadi dosen di Univ. Qumm yang mengajarkan mata kuliah fiqih dan mantiqq. Ia kemudian pindah ke kota Najaf, Irak, pada tahun 1954 untuk melanjutkan studinya tentang Syi’ah di tangan sejumlah rujukan Syi’ah top, seperti Muhsin Al Hakiem dan Abul Qasim Al Khu’iy. Setelah itu ia pindah ke Lebanon pada tahun 1959 dan menetap di sana hingga akhir hayatnya.
Musa Ash Shadr tiba di Lebanon mengemban dua misi penting:
Misi pertama ialah misi religius Syi’ah untuk mendirikan Negara Syi’ah di Lebanon. Ia hendak mendirikan negara tersebut dengan bertolak dari madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dengan segala akidah dan kepercayaannya yang menyimpang, plus seluruh bid’ah-bid’ahnya yang mungkar.
Hal ini dapat Anda pelajari secara lebih rinci dalam tulisan-tulisan yang membahas tentang pokok-pokok keyakinan kaum Syi’ah.
Perlu diketahui, bahwa Syi’ah di Lebanon kala itu bukanlah syi’ah yang agamis, artinya mereka hanya membawa nama ‘syi’ah’ tanpa mengetahui tabiat dan prinsip dari madzhab mereka.
Sedangkan misi keduanya ialah dana yang sangat besar jumlahnya untuk memudahkannya dalam mewujudkan megaproyeknya tadi. Bukan suatu rahasia bahwa para rujukan Syi’ah di dunia adalah orang-orang yang sangat kaya, sebab kaum Syi’ah menyumbangkan seperlima (20 %) dari penghasilan mereka kepada para rujukan tadi, dengan anggapan bahwa mereka berasal dari Ahlul Bait. Harta tersebut adalah khusus bagi mereka secara pribadi dan mereka bebas mempergunakan semau mereka. Dengan harta inilah mereka mampu mengendalikan berbagai hal karena mereka telah membentuk kekuatan ekonomi raksasa.
Kaum Syi’ah dan perlawanan terhadap pemerintahan Sunni
Azas madzhab syi’ah sebenarnya hanyalah pemberontakan terhadap sistem pemerintahan yang bertujuan untuk menguasai dan mencapai kekuasaan, dengan cara menentang dan memerangi ajaran-ajaran Sunni. Syi’ah telah berhasil menguasai daerah yang cukup luas di dunia Islam dalam kurun sejarah yang berbeda. Anda bisa membaca kembali tulisan tentang “Hegemoni Syi’ah”, yang menampakkan dengan jelas berbagai dampak negatif yang tercela yang mereka timbulkan setelah mereka berhasil memegang tampuk kekuasaan di suatu tempat. Akan tetapi seiring dengan tumbangnya Daulah Ash Shafawiyyah (Savafid Empire) di pertengahan abad 18 M, Syi’ah kehilangan kendalinya di seluruh dunia, dan megaproyek mereka pun menyurut selama beberapa waktu.
Akan tetapi, jiwa suka menguasai tadi mulai muncul di era lima puluhan. Ambisi besar mereka untuk mendirikan sebuah daulah yang menyebarkan ajaran Itsna ‘Asyariyah yang sesat tadi dengan tangan kekuasaan dan senjata. Konon tempat yang dianggap strategis untuk mendirikan daulah tersebut tidak keluar dari tiga tempat: Iran, Irak, dan Lebanon. Sebab di ketiga tempat tadi Syi’ah memiliki massa yang mendukung berdirinya negara yang dimaksud.
Lobi-lobi Syi’ah sejak semula merencanakan pendirian daulah tersebut di salah satu dari ketiga negara tadi, atau di ketiga-tiganya. Kader-kader pun telah disebar di berbagai daerah. Ada yang khusus bekerja untuk menggulingkan pemerintahan di Iran, yang dipimpin oleh Khomeini. Ada juga yang bekerja untuk hal serupa di Irak, dan insya Allah akan kita ulas dalam tulisan mendatang. Dan ada juga yang dikirim untuk beroperasi di Lebanon, yaitu Musa Ash Shadr.
Megaproyek ini merupakan jaringan operasi yang rumit dan bergerak perlahan-lahan. Bagi mereka tidak masalah bila targetnya baru dicapai puluhan tahun mendatang, yang penting target itu bisa tercapai. Cara seperti inilah yang dahulu dipakai untuk mendirikan daulah-daulah Syi’ah tempo dulu, seperti Daulah Buwaihiyyah, dan Daulah Ubeidiyyah yang menamakan dirinya secara dusta sebagai Daulah Fathimiyyah; dan lain-lain. Lihat kembali tulisan kami tentang “Hegemoni Syi’ah”.
Biasanya, organisasi-organisasi tersebut bekerja sama dengan masyarakat papan bawah dan kaum fakir miskin di suatu negara. Kepada merekalah angin pemberontakan dihembuskan agar menggulingkan golongan kaya dan para penghuni istana. Organisasi-organisasi tersebut senantiasa mengungkit-ungkit masalah revolusi yang telah mengakar dalam jiwa kaum syi’ah, lalu dari sanalah terjadinya kudeta dan berdirinya negara Syi’ah.
Peristiwa ini telah kita saksikan dalam sejarah, dan kita saksikan pula di Iran. Mungkin bila tersisa cukup waktu, kita akan menjelaskan kronologi Revolusi Syi’ah di Iran. Akan tetapi sekarang kita sedang menyaksikan langkah-langkah nyata di Lebanon dan Irak yang mengarah ke sana. Jika megaproyek mereka berhasil di kedua negara ini, maka ekspansi mereka berikutnya akan meliputi Suriah, Kuwait, Bahrain, dan wilayah timur Saudi. Oleh karena itu, penjelasan ini wajib ditulis, dan kaum Muslimin harus faham akan apa yang terjadi di sekitar mereka.
Rencana pendirian Negara Syi’ah
Kembali ke kisah Lebanon…
Musa Ash Shadr berhasil di kirim ke Lebanon untuk merencanakan pendirian negara syi’ah. Ialah yang dipilih, sebab ia memiliki asal usul Lebanon, dan dia pandai berbahasa Arab selain menguasai bahasa Parsi. Ia senantiasa melakukan kontak dengan Khomeini, bahkan ada hubungan lain antara keduanya yang lebih kuat dari sekedar relasi politik; sebab putera Khomeini yang bernama Ahmad Al Khomeini, menikahi puteri saudari kandung Musa Ash Shadr. Sedangkan Musa Ash Shadr menikahi cucu Khomeini, di samping itu, Musthafa Al Khomeini juga merupakan salah satu sahabat terdekat Ash Shadr.
Musa Ash Shadr segera menuju Lebanon selatan yang merupakan kantong Syi’ah. Di sana ia memulai misinya atas nama sosial, tanpa menonjolkan masalah agama dengan jelas. Ia mendirian yayasan-yayasan sosial untuk membantu kaum fuqara’, demikian pula sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan. Kemudian ia mulai menampakkan perspektif syi’ah-nya sedikit demi sedikit. Ia lalu mendirikan lembaga-lembaga peradilan Ja’fari, yang mengadili kaum syi’ah berdasarkan madzhab Itsna ‘Asyariah mereka. Karakter multi golongan yang ada di Lebanon memang mendukungnya untuk beroperasi secara luas, lebih-lebih mengingat sangat lemahnya pengaruh pemerintah dan militer Lebanon…
Musa Ash Shadr adalah tipe laki-laki yang menempuh segala cara. Ia siap menggandeng tangan siapa saja demi mewujudkan keinginannya. Sejak semula ia tahu bahwa golongan Nasrani Maronit adalah golongan terkuat di Lebanon kala itu, dan pesaingnya adalah golongan Sunni. Padahal perlu kita ketahui bahwa Ahlussunnah kala itu bukanlah kaum fundamentalis yang berpegang teguh dengan sunnah atau agama Islam. Mereka tak lain adalah orang-orang berfaham Nasionalis-Sosialis-sekuler, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat Allah.
Musa Ash Shadr pun mulai mendekati golongan Nasrani, sebab Syi’ah sebagaimana yang kita ketahui sejak dulu, tak lain adalah pemberontakan atas ajaran Islam Sunni.
Syi’ah hanyalah penentang sejarah Islam sejak Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhuma, lalu demikian seterusnya di setiap negara Islam yang menaungi umat ini. Intinya, pemikiran syi’ah sejak semula ialah konfrontasi dengan Ahlussunnah. Nah sebab itulah Musa Ash Shadr berusaha merangkul Sharel Al Halew, Presiden Lebanon yang Maronit kala itu. Ia tidak merangkul pemimpin-pemimpin Sunni untuk mengumpulkan kekuatan kaum Muslimin. Ia justeru menganggap bahwa Sharel Al Halew sebagai sekutu yang pantas untuk menentang penguasa Sunni. Ia mulai mendekatinya dan memprovokasinya. Hingga akhirnya pada tahun 1967 terjadilah kesepakatan untuk mendirikan Majelis Tinggi Syi’ah yang bertindak sebagai wakil Syi’ah di Lebanon. Sharel Al Halew bahkan sepakat untuk menetapkan undang-undang nomor 72/76 yang memutuskan: bolehnya menjadikan rujukan-rujukan Syi’ah dunia (di Iran, Irak dan lainnya) sebagai rujukan Majelis Syi’ah dalam menetapkan fatwa, hukum dan undang-undangnya. Mereka tidak harus mengikuti hukum yang berlaku di Lebanon!
Majelis ini benar-benar berhasil didirikan tahun 1969 dan ketuanya yang pertama kali tentulah Musa Ash Shadr sendiri. Pemerintah Lebanon mengakui keberadaan majelis tersebut pada tahun 1970, bahkan pemerintah menetapkan dana sebanyak 10 juta Dollar sebagai bantuan untuk wilayah selatan yang Syi’ah.
Musa Ash Shadr juga tak lupa menjual dirinya kepada Amerika. Dalam pertemuannya dengan Dubes AS, Ash Shadr menyebutkan bahwa ia akan menghadapi gerakan Nashiri yang Komunis bersama pemuda-pemuda Syi’ah di Lebanon. Kedekatan hubungannya dengan orang-orang Amerika telah demikian terkenal, hingga ia dituduh oleh orang-orang dekatnya Khomeini. Sebab Khomeini ketika itu menganggap AS sebagai bahaya besar, sebab AS mendukung kuat pemerintahan Shah Iran.
Akan tetapi terjadilah perkembangan di luar keinginan Musa Ash Shadr pada tahun 1970. Yaitu dengan terjadinya pembantaian para pengungsi Palestina di Yordania, yang terkenal dengan pembantaian “September Hitam”. Dari sanalah orang-orang Palestina di bawah komando Fatah diungsikan ke Lebanon. Tanpa diinginkan oleh Syi’ah, pengungsian tersebut menempati wilayah selatan Lebanon yang berbatasan dengan Palestina. Masalahnya orang-orang Palestina tadi adalah Ahlussunnah, dan hal ini berarti akan menghambat megaproyek pendirian negara Syi’ah tadi. Padahal gerakan Fatah ketika itu menganut faham Sosialis-sekuler yang sangat jauh dari ajaran Islam.
Pun demikian, Musa Ash Shadr sempat memanfaatkan gerakan Fatah dalam periode ini. Ia menjalin hubungan solidaritas dengan Fatah, dengan harapan bahwa Fatah kelak akan memberikan training militer terhadap Syi’ah. Ini merupakan persiapan pembentukan milisi-milisi bersenjata yang dapat mempengaruhi masa depan Lebanon. Kebetulan Fatah saat itu juga sedang mencari sekutu untuk menghadapi kaum Komunis, hingga terjadilah simbiosis mutualisme antara Fatah dan Ash Shadr.
Pada tahun 1971, Hafizh Asad menduduki kursi kepresidenan di Suriah. Ia termasuk kelompok Nushairiyyah ‘Alawiyyin, yang berada di luar Islam meskipun secara politik dihitung sebagai ‘Muslim’. Mereka –kaum Nushairiyyah ‘Alawiyyin tadi- menuhankan Ali bin Abi Thalib. Namun, segera saja Musa Ash Shadr mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kaum ‘Alawiyyin tersebut adalah Syi’ah, yang konsekuensinya ia menganggap Hafiz Asad sebagai Muslim! Ini menyebabkan makin eratnya hubungan Ash Shadr dengan Suriah dan pemerintahan yang berkuasa di sana. Musa Ash Shadr menjadi mata rantai penghubung antara Hafiz Asad dan pemimpin-pemimpin Revolusi Iran, hingga Hafiz Asad pun mendukung penggulingan Shah Iran, bahkan mendukung Iran pasca Revolusi saat berperang melawan Irak, sebab ia sangat memusuhi Saddam Husein.
Demikianlah Musa Ash Shadr menanamkan benih-benih negara Syi’ah-nya yang baru. Ia bekerja sama sangat kuat dengan para tokoh agama di seluruh dunia, khususnya Khomeini, demikian pula dengan kaum Nasrani Lebanon, Amerika Serikat, Suriah, bahkan dengan Fatah yang dianggap bagian dari Ahlussunnah.
Pada tahun 1974, Musa Ash Shadr mendirikan Harakah al Mahrumin yang menyerukan agar kaum fuqara mendapat hak-hak yang lebih banyak. Mulanya, banyak kaum Nasrani di selatan yang bergabung dalam gerakan tersebut. Mereka menyangka bahwa gerakan tersebut bersifat nasionalis yang bertujuan mengentaskan fakir miskin di Lebanon dari krisis ekonomi. Akan tetapi mereka akhirnya keluar setelah mencium aroma Syi’ah yang kuat dari Harakah tersebut.
Tak lama kemudian, Ash Shadr membuat kesepakatan dengan Yasir Arafat sebagai pemimpin Fatah untuk melatih Harakah al Mahrumin secara militer, dan hal itu atas sepengetahuan pemerintah Lebanon yang lemah.
Pada bulan Juli 1975, Ash Shadr mengumumkan pembentukan sayap militer Harakah al Mahrumin yang dinamakan ‘Gelomban Perlawanan Lebanon (Afwaaj Al Muqaawamah Al Lubnaaniyyah’), yang disingkat Harakah AMAL, dan tentulah dia sendiri yang mengepalainya.
Tiba-tiba Musa Ash Shadr berbalik menentang orang-orang Palestina, dan menuntut dengan sangat agar warga Palestina yang berfaham Sunni diusir dari daerah selatan yang notabene syi’ah. Kita akan menyaksikan selanjutnya, bagaimana anggota Harakah AMAL membantai orang-orang Palestina tersebut dalam Serangan atas Kamp pengungsian, yang terkenal sejak tahun 1985 hingga 1988.
Pada tahun 1975, Lebanon mulai memasuki silsilah perang saudara yang membingungkan. Perang ini demikian rumit karena terkait dengan berbagai faktor internal dan eksternal. Kita mungkin membutuhkan berbagai analisa khusus untuk dapat memahaminya dengan jelas.
Musa Ash Shadr dan berbagai permusuhan
Setelah terbentuknya Majelis Perwakilan Tinngi Syi’ah dan Harakah AMAL, Musa Ash Shadr menjadi sebuah kekuatan yang tak bisa disepelekan. Hal ini mulai menggugah kesadaran banyak orang, sebab Musa Ash Shadr tidak lagi menutupi kekuatan tersebut atau menyembunyikannya. Ia bahkan sering kali mengancam terang-terangan dalam berbagai liputan persnya untuk mengerahkan massanya ke rumah-rumah orang kaya di Lebanon jika mereka tidak memenuhi tuntutannya. Bahkan ia berani mengritik sebagian tindakan Khomeini, dan menjalin hubungan dengan pihak-pihak internasional tanpa merujuk ke tokoh-tokoh agama yang semula mengirimnya ke Lebanon. Masalah semakin meruncing saat ia mengunjungi Iran dan bertemu Shah secara langsung. Ia meminta agar Shah memberikan amnesti kepada 12 tokoh agama yang telah divonis mati olehnya, dan hal ini dianggap oleh Khomeini sebagai tindakan keluar dari kesepakatan internasional Syi’ah, dan kerjasama dengan Shah yang notabene adalah musuhnya kaum revolusioner.
Konflik semakin memuncak pada tahun 1978, ketika terjadi krisis hubungan antara Suriah dan Ash Shadr secara tiba-tiba. Hal ini dikarenakan Suriah mengalami banyak tekanan dari Negara-negara sekitar dan AS, setelah Anwar Sadat melakukan kunjungan ke Zionis Israel tahun 1977. Suriah berharap agar Lebanon menjadi pembela utamanya, sebab Suriah memiliki pasukan di Lebanon saat itu. Suriah juga berharap agar Ash Shadr tidak bersekutu dengan selain Suriah. Akan tetapi Ash Shadr telah merasakan bahwa dirinya kuat dan posisi Suriah lemah, karenanya ia sengaja mempererat hubungannya dengan negara-negara Arab dan sengaja melanggar peringatan Suriah. Ia mulai mengunjungi Kuwait, kemudian Al Jazair, dan terakhir berangkat ke Libya pada bulan Agustus 1978, yang diiringi sebuah kejutan besar… karena Libya mengumumkan bahwa Ash Shadr telah angkat kaki dari wilayahnya pada tanggal 25 Agustus 1978, akan tetapi ia tak pernah muncul lagi di tempat mana pun di muka bumi!!
Ini merupakan kejadian yang sungguh ajaib. Sebab Musa Ash Shadr bukanlah anak kecil yang gampang tersesat di airport, dan bukan pula orang biasa yang disikapi masa bodoh oleh Libya kemana perginya… akan tetapi yang jelas ia telah diculik atau dibunuh.
Saat itu memang banyak musuh yang mengintai Musa Ash Shadr, dan banyak di antara mereka yang dituding berada di balik pembunuhannya. Yang paling utama ialah tokoh-tokoh Revolusi yang setahun kemudian muncul di Iran. Dan tentu mereka tidak menginginkan keberadaan tokoh-tokoh kharismatik yang memiliki multi relasi sebagai saingan Khomeini yang berada di garda depan Negara Syi’ah yang baru.
Apalagi membikin berang pemerintah Suriah saat itu, berarti memberi lampu hijau bagi rencana pembunuhan, sebab pemerintah Suriah memang terkenal berdarah dingin dalam menghadapi para penentangnya. Libya sendiri ketika itu berhubungan erat dengan tokoh-tokoh revolusi Iran, dan siap mendukung mereka pasca revolusi untuk melawan Irak. Adapun kekuatan internal Lebanon yang mendapat manfaat dari tersingkirnya Musa Ash Shadr juga cukup banyak, sebab perang saudara di Lebanon saat itu memang sedang klimaksnya.
Lenyapnya Musa Ash Shadr memang teka-teki yang membingungkan, yang para politikus berlomba-lomba memecahkannya, akan tetapi tak satu pun dari mereka yang dapat memberikan jawaban pasti. Yang jelas, Musa Ash Shadr telah meninggalkan medan pertempuran yang menyala di belakangnya, dan meninggalkan Harakah AMAL yang melanjutkan cita-citanya, dan meninggalkan jabatan kosong di Majelis Perwakilan Tinggi Syi’ah… lalu tepat setahun kemudian terjadilah revolusi Iran untuk menggulingkan Shah, dan empat tahun berikutnya militer Zionis mencaplok Lebanon selatan, lalu dari ‘rahim’ pergolakan yang rumit tadi lahirlah Hizbullah yang Syi’ah, untuk melanjutkan megaproyek Ash Shadr, akan tetapi yang jelas dengan pengarahan dari Iran.
Bagaimana ini semua terjadi? Bagaimana pula nasib Harakah AMAL? Dan Bagaimana sikap Syi’ah terhadap orang-orang Palestina di Lebanon selatan? Bagaimana pamor Hizbullah tiba-tiba mencuat? Siapakah sebenarnya Hasan Nasrallah, dan bagaimana akidah serta pemikirannya?
Kisahnya masih panjang, dan isya Allah akan kita sambung dalam artikel berikutnya. Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum Muslimin.