Inovasi Atau Mati!

Inovasi atau mati. Kata-kata ini sering sekali kita dengar setiap kali kita membaca artikel tentang bisnis atau industri. Ya, sebuah kata yang seolah-olah bisa menjadi “obat mujarab” bagi segala permasalahan. Banyak ahli bisnis dan seputarnya mengamini teori ini, bahwa inovasi adalah sebuah nama yang niscaya dipahami dan dimiliki secara baik oleh setiap pelaku bisnis. Lantas, bagaimana dengan UMKM? Apakah mereka ini juga harus berinovasi? Padahal dipercaya oleh lembaga sekelas World Bank bahwa UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) telah menjadi penyumbang GDP bangsa ini sebesar lebih dari 50% dan menyumbangkan pula bagi Eksport Nasional kita sebesar sekitar 10%.

Senada dengan penjelasan dari pakar Marketing Indonesia, Dr.F.Rangkuti : “Karakterisik perilaku konsumen di Indonesia, sangat cepat berubah dan pembosan. Contohnya banyak produk/program/jasa yang booming sebentar tetapi cepat mati. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan riset promosi untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi secara terus menerus. loyalitas konsumen. Program/Produk/jasa yang didukung oleh konsumen yang loyal akan menciptakan gelombang besar menjadi trendsetter.” (Rangkuti. Freddy, 2011, Strategi Promosi yang Kreatif [Online], [1] , diakses 13-08-2011) . UMKM yang juga merupakan sebuah badan komersial yang meng-generate profit tentu sama memiliki tabiat dengan industri besar. Inovasi dan istilah bisnis lain memang harus menjadi bagian darinya.

 

Kebutuhan Inovasi UMKM

UMKM membutuhkan inovasi dalam rangka mendapatkan posisi di market yang tepat. Persaingan yang ketat telah mendorong UMKM untuk menciptakan differensiasi sebagai sebuah ciri khas pembeda produk atau jasa mereka dibandingkan dengan milik pesaing mereka. Inovasi dilakukan tentu dengan maksud sejenis yaitu menciptakan pembeda-pembeda lain bagi kerasnya dan ketatnya persaingan usaha. Lantas, kapankah UMKM itu membutuhkan inovasi?

Masih teringat dengan jelas sejarah kegemilangan umat Islam pada jaman Rasulullahsaw, yaitu strategi umat Islam pasca hijrah ke Madinah. Siapa yang tak kenal dengan Abdurrahman bin Auf? Beliau adalah shahabat yang paling kaya. Beliau tercatat sebagai orang ke-8 yang masuk Islam dan termasuk dalam kategori assabiqunal awwalun (generasi awal yang masuk Islam) yang artinya, beliau sejak awal sudah membela perjuangan Rasulullah dengan segala macam kepedihan dan penderitaan. Ia dua kali ikut hijrah ke Habasyah (Ethopia) karena umat Islam diancam oleh kafir Quraisy pada saat itu. Kemampuannya meng-generate kapital sangatlah hebat dan kebarakahannya pun tiada diragukan. Lihatlah bagaimana ungkapan beliau ketika tiba di Madinah dalam rangka Hijrah:

”Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah.”  ( Siyar A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi, 3:48 )

Di hari pertama ia telah berada di existing market yang ada di Madinah yang dikelola oleh orang-orang Yahudi. Sambil bekerja, beliau mengamati kondisi pasar mulai dari komoditas barang yang diperdagangkan, kondisi persaingan antar pedagang, perilaku konsumen, sistem distribusi barang (supply chain) dan peluang pasar yang masih terbuka.

Hari kedua, beliau sudah menjelma menjadi seorang broker/vermittler yang mengambil peran sebagai supplier bagi pasar Madinah. Beliau sudah menampilkan differensiasi-nya dalam menyediakan jasa pemasok dan produknya. Anti-riba dan kejujuran adalah 2 dari beberapa banyak prinsip dalam Islam lainnya yang beliau miliki. Tak heran jika sebulan kemudian ia dapat meminang seorang gadis dengan membawa emas sebesar biji kurma. Lalu setahun kemudian, beliau sudah mampu mengeluarkan infaq yang jumlahnya sangat fantastis, yang apabila dikurskan dalam rupiah nilai nominalnya sebesar 42,5 triliun rupiah.

Lantas, setelah beliau mengalami peak alias puncak dalam bisnisnya, apa yang beliau lakukan? Inovasi! Dengan dukungan Rasulullah saw, manusia terbaik sepanjang zaman, beliau melakukan inovasi di skala makro yaitu membuka pasar baru di dekat existing market. Dengan inovasi di sistem dan jasa yang disediakannya, pasar baru milik umat Islam yang menerapkan sistem anti-riba, anti-monopoli, administrasi yang baik dan harga sewa yang murah; telah berhasil meraih share market dari ekonomi di Madinah sehingga pasar milik orang Yahudi pun kalah dalam bersaing. Jadi, inovasi sudah dikenal sejak jaman kelahiran peradaban Islam.

 

Cara mengukur inovasi

Kapan sebaiknya UMKM mulai mempertimbangkan untuk melakukan Inovasi? Salah satu cara sederhana adalah dengan menggunakan tool : Product Life Cycle. Dengan tool (instrument) keilmuan ini, UMKM akan dapat melihat secara sederhana kapan inovasi dilakukan. Dari Gambar yang tersaji dibawah ini, pelaku UMKM dapat mengidentifikasikan dimanakah posisi perusahaan atau produknya berada. Inovasi dapat dilakukan ketika perusahaan atau produk dari UMKM tersebut berada pada stage/tahap “Growth”. Ciri termudah untuk mengidentifikasi kapankah saat Growth ini terjadi adalah dengan ciri-ciri atau indikator yaitu mulai meningkatnya Revenue atau nilai penjualan yang berhasil dilakukan oleh UMKM sehari-harinya. Tentu naiknya Revenue ini sama artinya dengan meningkatnya pula Profit dari UMKM.

Selain itu juga dapat dilihat dari keadaan faktor: Competition, Product, Price, Promotion dan Place (Distribution) yang terjadi di UMKM masing-masing. Indikator yang diberikan di gambar di Grafik di atas  tersebut, apakah sudah terjadi atau belum.

Tahap Growth ini memang tahap yang terkesan “menipu”. Disaat UMKM sedang menikmati indahnya masa-masa “Bulan Madu” dengan produk atau jasa nya yang sedang meningkat, ternyata inovasi harus mulai dilakukan. Karena sulit sekali untuk bisa mengetahui secara pasti kapankan UMKM akan mencapai tahap Maturity. Dan berapa lama lagi mereka akan masuk ke tahap Decline (menurun).

 

Kerjasama dengan lembaga Riset

Salah satu kelemahan UMKM dalam urusan inovasi adalah miskin atau minimnya resource yang dibutuhkan untuk inovasi. Mulai dari faktor semacam: Finance Resource (Modal Kapital), Knowledge (Pengetahuan) hingga Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni untuk melakukan Riset dan Pengembangan. Untuk menuju inovasi tentu dibutuhkan resource-resource tersebut. UMKM belum tentu mampu untuk memiliki akses kepada faktor-faktor tersebut.

Salah satu cara terbaik bagi UMKM untuk meraih inovasi yang sukses adalah dengan melibatkan (bermitra) dengan Lembaga Riset seperti: LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Universitas dan Lembaga Konsultan. Walau demikian pada umumnya faktor penghambat terbesar dan paling umum ditemui adalah minimnya Financial Resource milik UMKM untuk mengakses kemitraan ini. Universitas sendiri adalah mitra yang potensial. Dengan fasilitas fisik dan non-fisik yang ia miliki, ditambah dengan kebutuhan para mahasiswa untuk melakukan penelitian bagi studinya. Ini adalah sebuah potensi luar biasa kerjasama antara industry-akademisi untuk bersama-sama membangun perekonomian daerah. Di Jerman, hal ini sudah dipayungi di sebuah system / Tool yang bernama : Transferagentuer.

Di Jerman sendiri, Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki anggaran tahunan yang cukup besar untuk proyek-proyek inovasi bagi UMKM yang memiliki potensi market dan atau ide yang layak jual. Tak cukup hanya itu, bahkan Pemerintah Negara Bagian (Lander) dan Pemerintah Pusat (Bundesland) memiliki anggaran serupa yang tak kalah besar.

 

Sukses story : Gudeg Kaleng Bu Tjitro

Salah satu Best Practice (Praktik Terbaik) ada di kota Jogja. Seorang Business Woman di Industri Kuliner lokal Jogja telah memberikan sebuah contoh baik. Bisnis Gudeg (makanan khas Jogja), bermerk Gudeg Bu Tjitro, yang ia geluti ini memiliki Product Life Cycle yang cenderung panjang, karena kekuatan differensiasi produknya. Peluang dari banyaknya konsumen yang membutuhkan gudeg untuk di bawa pergi sebagai oleh-oleh hingga memakan waktu berhari-hari, sedangkan Gudeg yang ia miliki hanyalah merupakan produk yang saat itu hanya dapat dikemas melalui Kendil (semacam gentong dari tanah liat), maka ia memiliki ide untuk melakukan inovasi produk Gudeg for take away -nya.

Setelah melakukan penyelidikan lembaga riset yang mumpuni, jatuhlah pilihannya pada LIPI. Beruntunglah ia karena dari faktor Financial Resource tak memiliki masalah. Sayang sekali belum ada dana insentif dari Pemerintah untuk membantu usahanya ini melakukan inovasi. Setelah melalui beberapa bulan masa riset bersama LIPI dengan segala jerih payahnya, akhirnya jadilah produk baru miliknya.

Beberapa kendala ditemuinya selama masa ide sampai dengan produk siap dilempar ke pasar adalah:

  1. Racikan. Menentukan racikan bumbu dan ingredients/inhalt supaya Gudeg Kaleng miliknya ini tetap bisa menjaga cita rasa yang menjadi differensiasi-nya.
  2. Bahan Baku dan Material. Pencarian Bahan Baku untuk produk barunya, yaitu kaleng dengan model tertentu, yang cukup sulit. Waktu yang lama dan perjalanan yang tak sedikit ia tempuh menjelajahi pabrik-pabrik pembuat kaleng dan juga pabrik makanan lain untuk mendapatkan bahan baku kaleng pembungkus produk barunya. Dan tentu semua orang bisa menebak, darimana diimpornya bahan baku kaleng jadi ini? Tak nyana, tak lain adalah: dari China!
  3. Prosedur Perijinan. Proses perijinan yang cukup lama, rata-rata membutuhkan waktu 6 sampai 12 bulan. Ia harus melewati perijinan BPPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)  dengan mencantumkan hasil pengujian Laboratorium dari: LIPI, Lab. Depkes, Lab. Swasta dan Lab. khusus di Bogor. Tak lupa, sertifikasi dari MUI (halal) juga ia tempuh. Perijinan ini menjadi perkara yang cukup menyedihkan di tanah air, proses yang sangat lama dan kadang costly atau biaya tinggi
  4. Sumber Daya Finansial. Walaupun Financial Resource-nya tidak kekurangan, tetapi dana yang minim tersebut telah cukup memberikan kesibukan dan kesulitan tersendiri bagi Ibu satu anak ini untuk menuju ke inovasi yang ia impikan.

 

Kini, produk tersebut telah siap dilempar ke Pasar. Dan kita semua bisa menanti cerita berikutnya, bagaimana strategi Inovasi ini bisa sesuai harapan beliau. Tetapi, bagaimanapun juga bagi pelaku UMKM di tanah air, satu kata penutup adalah : Inovasi atau Mati!