Hadirkah hati dan pikiran Anda dalam perbincangan hangat seorang ayah bersama putranya? Sang ayah ialah seorang hamba Allah yang lurus, lembut hati, lagi penyantun. Seorang Nabi dengan teladan kepemimpinan yang mencerahkan, Ibrahim as. Dan sang anak, siapakah dia? Dialah jawaban menggembirakan atas doa sang ayah kepada Rabbnya. Seorang anak istimewa yang amat sabar, bahkan ketika ia masih kanak-kanak, Ismail.
Alihkan pandangan kita sejenak, karena saat ini, Ibrahim sudah tua. Dia telah lama mengidamkan seorang putra, dan saat ia mendapatkannya, ia rasakan kesenangan dan ketenangan bersama sang buah hati. Ia sudah melihat anaknya menikmati masa kanak-kanaknya dan menemani kehidupannya. Kemudian, ia bermimpi dalam tidurnya. Dia menyembelih anak satu-satunya itu. Ibrahim pun menyadari bahwa itulah pertanda dari Rabbnya.
Lantas, apa sikapnya?
Ibrahim tidak ragu-ragu, yang ada padanya hanyalah ketaatan, keberserahan diri. Tanpa penolakan, tanpa beban, tanpa kekacauan pikiran, dan tanpa bertanya pada Rabbnya. Misal: ”Kenapa ya Rabb, harus saya sembelih anak tunggal saya ini?”
Tidak, bukan begitu. Bahkan yang tampak adalah penerimaan total, keridhoan, ketenangan, dan kedamaian. Perhatikanlah betapa menakjubkannya kematangan emosional Ibrahim saat ia sampaikan masalah besar itu kepada sang anak,
(Ibrahim) berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” (QS. Ash Shoffat, 37: 102)
Lalu, apa tanggapan sang anak?
Tanpa terkejut atau takut, atau kehilangan kewarasan, Ismail dengan penuh kasih sayang merasakan apa yang dirasakan sang Ayah. Ia turut merasakan bahwa mimpi itu adalah tanda. Pertanda sebuah perintah. Dan itu sudah cukup sebagai bukti untuk dituruti dan dijalani, tanpa banyak bicara, tanpa keraguan, atau penundaan. Dengan sepenuh cinta dan kedekatan pada sang Ayah,
Ia (Ismail) menjawab: “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash Shoffat, 37: 102)
Keduanya telah berserah diri. Dan inilah Islam. Keyakinan, ketaatan, ketenangan, keridhoan, dan keberserahan diri, serta pelaksanaan. Kedua hamba Allah itu mendapati semua sifat baik ini sebagai dampak keimanan lurus yang memenuhi jiwa dan raga. Itu bukanlah keberanian dan kenekatan semata. Bukan pula kesembronoan yang tergesa-gesa dan semangat yang berlebihan. Tidak. Yang ada bahkan bersyukur merasakan nikmat ketaatan, keridhoan yang tenang dan menggembirakan.
Di sini, Ibrahim dan Ismail sudah menunaikan tugas dan perintahnya, menyerahkan diri. Selanjutnya tinggallah menyembelih Ismail, mengalirkan darahnya, dan mencabut ruhnya. Dalam timbangan Allah, ini adalah perkara yang tidak ada apa-apanya, setelah Ibrahim dan Ismail meletakkan ruh, semangat, dan perasaan keduanya dalam kehendak Allah.
Wahai Ibrahim,
Engkau sudah membenarkan mimpi itu dan sudah benar-benar menegakkannya. Allah hanya menghendaki ketundukan dan penyerahan dirimu. Sehingga, tiada lagi tersisa dalam dirimu yang kausimpan bukan untuk Allah, atau kauanggap lebih berharga dari perintah Allah, atau kau pelihara melebihi perintah-Nya, meskipun itu adalah anak kandung yang teramat kau kasihi.
Engkau sudah mengorbankan segalanya, termasuk yang paling berharga. Putra pertama. Engkau sudah korbankan itu dalam keridhoan, ketenangan, kedamaian, dan keyakinan. Kemudian, Allah pun menebus putramu –Ismail– dengan seekor sembelihan yang besar.
Dengan peristiwa inilah, dimulailah sunnah berqurban pada ‘Idul Adha. Sebagai pengingat kita atas kejadian besar yang menyibak tabiat keimanan yang kita genggam. Supaya kita lebih pahami mengenai penyerahan diri seutuhnya kepada takdir Allah, dalam ketaatan yang penuh keridhoan. Agar kita makin mengerti, bahwa Allah tidak hendak menghinakan manusia dengan cobaan, pun tidak ingin menganiaya dengan ujian. Melainkan, Allah menghendaki agar kita bersegera memenuhi panggilan tugas dan kewajiban secara total. Tanpa keraguan, tanpa penundaan.
Balasan bagi Ibrahim, Allah abadikan namanya lewat penyebutan yang mulya sepanjang masa. Dan Allah limpahi negeri, lokasi sekitar Ibrahim dan Ismail meninggikan Baitullah, dengan keamanan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.
”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhoan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Hajj, 22: 37)
Sayup-sayup terdengar kalimat talbiyah. Mengiringi keberangkatan yang terkasih, para undangan, menikmati jamuan Yang Maha Kasih Sayang.
“Ya Allah, kami penuhi panggilan-Mu.
Sesungguhnya setiap getaran pujian adalah bagi-Mu.
Sejatinya setiap tetes kenikmatan berasal dari-Mu.
Sebenar-benarnya Engkaulah Raja dan Penguasa kami, tiada sekutu bagi-Mu.”
Semoga menjadi Haji Mabrur, dan semoga bagi kita yang belum berangkat ke Tanah Suci, Allah mudahkan kehadiran kita di sana.
Oleh: Rio Purboyo, Sidoarjo.
Seorang trainer dan motivator.
Blog – Facebook