Ramadhan dan Al Quran, dua kata yang sangat akrab, hubungan antar keduanya merupakan hal yang tertanam secara aksiomatis dalam persepsi setiap manusia. Ekspresi keakraban persepsi manusia Muslim terhadap dua kata tersebut, tergambar dalam perilaku-perilaku positif Muslim ketika menyambut Ramadhan dan tatkala memasukinya, meskipun latar belakang kaum muslimin yang berbeda dalam kapasitas pemahaman dan kesadaran agama.
Ekspresi berupa perilaku positif tersebut bermacam warnanya, ada yang tak pernah menyentuh mushaf suci tersebut, tatkala masuki Ramadhan nuraninya mulai tergerak untuk membuka dan membacanya, ada yang membacanya kadang kala saja, namun ketika bertemu Ramadhan semangatnya mulai menanjak terpacu untuk menambah intensitas, ada pula yang sudah biasa membaca secara rutin harian, ketika bertemu dengan Ramadhan bagai bertemu dengan momen besar yang sangat dirindu, ia pun menetapkan target-target kuantitas interaksi dengan Al Quran sebagai ukuran capaian keberhasilan.
Ada baiknya kita membaca langsung bagaimana Al Quran menggambarkan hubungannya dengan momen besar ini; bulan Ramadhan. Jika kita teliti beberapa ayat yang menggambarkan hubungan ini, secara eksplisit ia terungkapkan dalam dua shighat (bentuk);
Shighat pertama; Al Quran disandarkan kepada Ramadhan sebagai satu bulan penuh. Ini terungkap dalam firman Allah;
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“Bulan Ramadhan, saat dimana diturunkannya Al Qur’an” (Al Baqarah:185).
Pada ayat ini Allah memberitahu kita bahwa Ramadhan adalah keterangan waktu bagi turunnya Al Qur’an.
Shighat kedua; Al Quran disandarkan kepada Ramadhan dengan sebagiannya saja; tidak seluruhnya. Yang dimaksud dengan sebagiannya adalah satu malam dari malam-malam Ramadhan, yakni Lailatul Qadr. Al Quran mengekspresikan momen ini dengan dua pilihan lafaz yang berbeda;
1. Lailatul Qadr, dalam ayat;
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam Lailatul Qadr” (Al Qadr:1)
2. Lailatul Mubarakah (malam yang diberkahi), dalam ayat;
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya, pada malam yang diberkahi (Ad Dukhan:3)
Ayat-ayat tersebut menggambarkan pada pembacanya tentang hubungan yang istimewa dan khas antara dua hal ini, Al Quran dan Ramadhan, antara Kitab Allah yang paling mulia dengan momentum yang paling istimewa. Hubungan ini tampak sangat istimewa, karena takkan kita temukan momentum-momentum lain meskipun istimewa – yang dihubungkan oleh Allah Ta’ala sedemikian rupa secara eksplisit dengan Al Quran. Ibnu Katsir berkata -mengomentari ayat dalam Al Baqarah- : “Allah Taala memuji Ramadhan, dengan cara memilihnya di antara bulan-bulan yang lain untuk diturunkan Al Quran”, atau dengan kata lain, hal terpenting yang membuat Ramadhan begitu istimewa, bukan saja semata karena puasa, namun karena ia diistimewakan dengan dijadikannya momentum diturunkannya Kalam Allah yang membawa petunjuk bagi kemanusiaan.
Hal yang lebih menarik yang menunjukkan keistimewaan hubungan ini, Allah tidak semata memilih Ramadhan menjadi momentum turunnya Al Quran, namun Allah Ta’ala juga memilihnya menjadi saat-saat khusus untuk muraja’ah (mengulang/review) Al Qur’an yang berlangsung antara Jibril dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagaimana digambarkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling dermawan, kedermawanannya bertambah kita bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengulang bacaan Al Quran. Saat ditemui Jibril, Rasulullah adalah lebih dermawan dari angin yang berhembus.” (HR Bukhari).
Pertemuan Jibril dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tiap malam pada bulan Ramadhan, memberikan satu gambaran tentang pertemuan istimewa; istimewa karena pertemuan antara Rasul yang paling agung, dengan Malaikat yang paling agung, mengulang lantunan lafaz-lafaz Kalam Allah, Dzat yang Maha Agung.
Pertemuan istimewa ini sangat membekas dalam diri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana terekam dalam cerita Ibnu Abbas di atas; adalah kedermawanan nabi yang meningkat setelah bertemu Jibril. Anda lihat dan garisbawahi, ada korelasi yang sangat kuat antara muraja’ah (mengulang Al Quran) dengan peningkatan kepedulian sesama berupa kedermawanan yang amat sangat, bahkan digambarkan lebih dari angin yang berhembus, menerpa siapapun tak terkecuali. Jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saja sangat terpengaruh dari interaksinya dengan Al Quran, bagaimana dengan hati-hati mukmin pengikutnya? Dari sini kebutuhan kita akan interaksi dengan Al Quran ternyata lebih besar daripada apa yang selama mungkin kita bayangkan.
Hal lain, yang dapat kita petik dari ayat-ayat dan hadits tersebut, adalah hubungan yang kuat antara bacaan Al Quran dengan waktu malam. Itulah hikmah disyariatkannya shalat tarawih atau qiyam Ramadhan; yang khas dilakukan pada malam-malam bulan Ramadhan, dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata; “Sesungguhnya maksud yang paling utama dari didirikannya shalat Tarawih adalah agar Al Quran dibaca sehingga kaum Muslimin mendengar lantunan Kalamullah di dalamnya”. Sempurnalah Ramadhan dengan dua hal istimewa; shiyam (puasa) di siang hari, dan qiyam (mendirikan shalat) di malam hari dengan menikmati bacaan Al Quran.
Tersisa pertanyaan sederhana saat Muslim memulai pengembaraan kenikmatannya bersama Al Quran pada momen Ramadhan ini; apakah ini momen untuk memperbanyak kuantitas bacaan? Dengan mengejar target sekian kali khatam? Bagaimana dengan usaha tadabbur (usaha merenungkan makna) yang menjadi tujuan utama dari tilawah Al Quran? Jawabannya juga sederhana, dua hal (memperbanyak tilawah dan tadabbur) tersebut adalah amal shalih yang utama, bukan hal yang mengharuskan memilih salah satu dan mengabaikan yang lain. Pada saat di luar Ramadhan, keseimbangan dua hal ini menjadi kemestian, sebagian ulama mengibaratkan orang yang memperbanyak bacaan bagaikan orang yang berinfak dengan banyak dirham, sedang yang membaca dengan tadabbur bagai orang yang menginfakkan emas dan permata, meski sedikit. Ibnu Rajab Al Hanbali, mengomentari hal ini jika sudah memasuki Ramadhan, pada waktu-waktu yang istimewa dan utama, seperti Ramadhan, khususnya malam Lailatul Qadr disunnahkan memperbanyak bacaan Al Quran, dalam rangka memanfaatkan momen keutamaan waktu.
Tentu saja ungkapan Ibnu Rajab tak menihilkan usaha tadabbur, tetap saja kita tak boleh menghilangkan kualitas bacaan dengan tajwid yang baik, diiringi waktu khusus untuk menggali makna satu dua ayat meski tak sebanyak biasanya.
Wallahu a’lam.
Depok, 040713
MA Candidate, Qur’an & Sunnah Studies, King Saud University, Riyadh Saudi Arabia