Ibnu Athaillah As Sakandari dalam kitab Al Hikam mengatakan:
“Bila engkau sakit hati karena orang-orang tidak menerimamu, ataupun mencelamu, maka kembalikanlah kepada ilmu Allah tentang dirimu. Jika engkau belum puas dengan ilmu-Nya, maka musibah yang menimpamu karena tidak puas dengan ilmu-Nya, lebih besar dari musibah yang menimpamu karena celaan orang-orang.”
Hubungan seorang mukmin dengan Allah menjadi pangkal ketenangan maupun ketegangan dirinya, suka maupun dukanya. Sedangkan hubungannya dengan sesama manusia menempati urutan berikutnya dan tergantung kepada dorongan-dorongan hubungan yang pertama.
Pendapat manusia tentang suatu perkara tidak memastikan salah atau benarnya perkara itu. Pendapat mereka tentang seseorang juga tidak menentukan tinggi rendahnya orang itu. Opini publik kerap kali memunculkan desas-desus yang perlu diklarifikasi dan dicek kebenarannya. Sedikit sekali isu yang diliputi kejujuran dan kebenaran. Dalam situasi kritis yang memerlukan keberanian dan kepahlawanan, sangat sulit mencari orang-orang yang bisa jujur dan benar.
Ketika dijauhi dan dicela orang-orang, kaum saleh langsung mengingat ayat:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguh¬nya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih tahu tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu tentang orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. al-An‘âm [6]: 116-117).
Motif gerak seorang mukmin berasal dari hati nurani, dan tujuannya mencapai rida Allah semata. Ia tak am¬bil pusing apakah orang-orang menjauhi dan mencelanya, atau mendekati dan memujinya.
Walaupun kita sangat terikat dengan masyarakat di mana kita tinggal, mau tidak mau, suka tidak suka, kita mesti tetap tegar dalam pendirian di tengah pujian atau celaan yang diarah¬kan kepada kita.
Adalah hak seseorang untuk tidak membiarkan keutamaannya berubah menjadi kehinaannya, ketika dia tidak memperoleh peng¬hargaan semestinya. Adalah hak seseorang untuk membela diri dari komentar jelek yang diarahkan kepadanya, dari tuduhan orang-orang yang ingin meruntuhkan harga dirinya. Adalah haknya juga, ketika dia menjadi sumber isu, untuk menjaga pamor dirinya agar tidak redup, dan untuk menjadikan dirinya sebagai teladan yang baik.
Oleh karena itu, hubungan seseorang dengan sesamanya harus dijelaskan dengan agak detail. Sesungguhnya menampakkan kebaikan di tengah manusia, dan terang-terangan menjalankan kewajiban dan syiar agama, adalah tidak mengapa.
Jika kamu menampakkan sedekah-(mu), maka itu adalah baik se¬kali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan ke¬pada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu (Q.S. al-Baqarah [2]: 271).
Usaha seseorang untuk menjaga nama baiknya agar tidak tercemar adalah sesuatu yang wajar. Nabi saw. sendiri pernah menyuruh berhenti beberapa orang yang melihat beliau berjalan bersama seorang perempuan. Lalu, beliau menerang¬kan kepada mereka bahwa beliau sedang berjalan bersama salah seorang istrinya. Ini beliau lakukan agar mereka tidak menuduhnya telah berbuat macam-macam, walaupun beliau seorang yang tidak pantas dituduh.
Jika seorang mukmin merasa bahagia karena terkenal seba¬gai pelaku kebaikan, itu wajar. Asal, perbuatan-per¬buatan baik itu dia lakukan dengan niat ikhlas dan hati yang tulus. Para sahabat pernah bercerita kepada Rasulullah saw. ten¬tang perasaan bahagia yang merasuki diri mereka ketika orang-orang memuji mereka atas amal baik yang mereka kerjakan karena Allah. Rasulullah bersabda, “Itu kabar gembira bagi orang mukmin di dunia” (H.R. Muslim). Kemudian be¬liau membaca ayat:
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (Q.S. Yûnus [10]: 63-64).
Memperoleh kemuliaan dan kedudukan di dunia adalah bagian dari rahmat Allah. Oleh sebab itu, Allah memberi¬kannya kepada nabi-Nya, Muhammad saw., sehingga berfirman, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu” (Q.S. al-Insyirah [94]: 4). Nabi Ibrâhîm pun memohon kepada Tuhan agar mengabadi¬kan pujian baginya sepanjang zaman. Kata Ibrâhîm:
(Ibrâhîm berdoa), ‘Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang da¬tang) kemudian (Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 83-84).
Yang penting, seseorang dalam beramal harus didasari ke¬ikhlasan karena Allah semata, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi atau popularitas. Ke¬cintaannya kepada Allah haruslah mengalahkan dorongan-dorongan lainnya. Jika orang-orang memusuhinya, dia bisa tetap tegar berjalan me¬nuju Tuhan tanpa rasa takut dan tak akan menyerah. Jika dia senang berhubungan dengan sesama, hendaknya itu dalam kerangka kerjasama dalam kebenaran, bukan untuk meraih maksud-maksud duniawi, mengumbar hawa nafsu, atau mengejar kepuasan-kepuasan sesaat.
Jika seseorang merasa orang-orang di sekitarnya ber¬paling darinya atau menjauhinya, maka perhatikanlah bagaimana hubungannya dengan Allah? Jika dirinya puas dengan hubungan itu, bahagia dengan ikatannya, tentulah dia tidak hiraukan ketidakpedulian orang-orang. Apalah arti¬nya kebencian hamba dibanding dengan kerelaan Tuhan! Re¬nungkan ucapan Hûd kepada kaumnya:
Hûd menjawab, “Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah ka¬mu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya sepenuhnya)” (Q.S. Hûd [11]: 54-56).
Sebaliknya, jika hubungannya dengan Allah rapuh, tentu musibah sejati yang dia rasakan adalah karena keretakan hubungannya dengan Allah itu, bukan karena keretakan hubungannya dengan sesama.
Syaikh DR Muhammad Al Ghazali