Kata orang, menjadi dokter adalah pekerjaan mulia. Kata orang, menjadi dokter itu harus menyediakan ekstra kesabaran dan empati untuk pasien. Kata orang, menjadi dokter itu berat, sekolahnya lama dan susah, profesi tak kenal jam kerja. Menurutku, menjadi dokter itu sekedar membentangkan batas kemampuan manusia, kemudian menunduk mengakui kehebatan Sang Pencipta.
Aku masih ingat jawaban naifku dulu bila orang bertanya mengapa aku memilih obstetri dan ginekologi ketika aku berkesempatan melanjutkan pendidikan spesialis. Jawaban yang tetap sama sejak aku duduk di sekolah menengah, mungkin juga jawaban banyak dokter perempuan yang berada di posisiku. Perempuan tentu lebih nyaman bila diperiksa oleh dokter kandungan perempuan, dan menolong persalinan bayi untuk lahir ke muka bumi adalah pekerjaan paling menakjubkan. Terdengar seperti satu profesi yang selalu penuh cerita bahagia bukan? Walaupun sekarang aku tahu bahwa jawaban itu hanya mendeskripsikan secuil kehidupan seorang dokter obstetri dan ginekologi, namun aku tak pernah menyesal memilih bidang ini. Walau tak semua kisah di sini berakhir bahagia (dalam ukuran manusia), setidaknya semua itu (kuharap) membuatku semakin dewasa. Dan yang lebih penting lagi, aku selalu diberi kesempatan untuk merasa bodoh dan tak berdaya dibanding kuasa Sang Pemilik jagat raya.
Beberapa dasawarsa terakhir ini, dunia ilmu pengetahuan, dalam hal ini dunia kedokteran dan cabang lain yang mendukungnya begitu dihebohkan dengan berbagai penemuan dan pemahaman baru yang diyakini akan banyak mengubah konsep dan doktrin kolot sebelumnya. Sebut saja seperti pemahaman tentang sel punca (stem cell) yang dulunya diyakini bahwa hanya sel-sel tertentu saja yang memiliki sifat pluripoten, namun belakangan dibantah dan dibuktikan bahwa sel-sel matur pun ternyata memiliki potensi untuk berdiferensiasi menuju sel lainnya.
Sebagai seorang klinisi (orang yang berusaha menerjemahkan berbagai jurnal ilmiah dengan rentetan terminologi statistik dan biologi njelimet untuk kemudian menerapkannya pada seorang pasien) maka aku lebih banyak menanti manfaat berbagai high tech research miliaran dollar itu agar pasienku bisa hidup, atau menikmati kualitas hidup yang layak. Kalau boleh meminta jalan pintas, aku sebagai klinisi lebih suka guidelines dan standar operating procedure (SOP) ketika menangani pasien dibanding disodori setumpuk jurnal ilmiah yang membahas detail patofisiologi biomelokular, karena begitu selesai membaca jurnal itu, hanya membuatku tambah pening dan tindakan apa yang harus kulakukan terhadap pasienku pun tak kudapatkan jawabannya.
Itulah manusia, terbatas sekali kemampuannya. Bahkan untuk urusan kondisi dan penyakit di dalam tubuhnya sendiri pun, mesti berbagi tugas dengan banyak orang. Ada yang bertugas mempelajari dan memahami semua proses di tingkat biomolekular dan selular, baik di laboratorium maupun in vitro. Ada yang bertugas menerjemahkan hasil riset mereka agar berguna bagi para klinisi (yang konon kabarnya sering tertidur saat kuliah subjek-subjek tersebut di masa pendidikannya). Dan tentu ada klinisi, ujung tombak yang ditemui para pasien yang menderita penyakit agar mendapatkan terapi sesuai dengan perkembangan ilmu terkini. Klinisi pun harus berbagi tugas karena ternyata tubuh manusia itu terlalu besar (mungkin terlalu kompleks tepatnya), ada spesialis mata, telinga hidung tenggorokan, penyakit dalam, kulit kelamin, obstetri dan ginekologi, dan seterusnya dan seterusnya.
Fakta menarik yang kucermati dari kaca mata klinisi sepertiku, walaupun umat manusia mengklaim bahwa sekarang ilmu kedokteran begitu maju (dan bahwa setiap tahunnya ada orang menerima hadiah Nobel untuk bidang kedokteran), kata idiopatik masih banyak ditemui di berbagai literatur kedokteran.
Menurut asalnya, kata idiopatik ini berasal dari bahasa Yunani yang kurang lebih terjemahan harfiahnya adalah kondisi atau penyakit yang tidak diketahui penyebabnya. Beberapa orang menjadikan kata ini sebagai pelesetan; idiotpatik, dengan maksud dokternyalah yang idiot sehingga tidak dapat menjelaskan kepada pasien mengenai penyebab kondisi atau penyakitnya. Well, idiot atau tidak, begitulah kenyataannya, tidak semua bisa dijelaskan.
Pagi itu ada sesuatu yang berbeda untukku dan tim stase IGD (Instalasi Gawat Darurat). Kami berkesempatan untuk menikmati sarapan bersama di meja makan karena loading pasien tidak begitu banyak dan semua nampak aman. Untuk kami yang memulai hari pukul 4 pagi, dan tidak keluar sebelum matahari tenggelam di malam harinya, maka menikmati kursi dan bubur ayam hangat adalah “sesuatu bangeeettt…”.
Walaupun suasana terkesan aman terkendali, namun level waspada dan alertness harus tetap tinggi karena ini adalah IGD, dan pasien-pasien yang datang kemari adalah mereka yang berisiko tinggi. Karenanya, setelah menandaskan bubur ayamku, segera aku memulai “patroli” dan mengawasi junior-juniorku menatalaksana pasien-pasien yang ada. “Mbak, ada pasien baru di depan..!” seru seorang juniorku yang bertugas menerima pasien-pasien baru.
Saat aku memasuki ruang periksa akut (tempat memeriksa pasien baru di IGD), ada pemandangan tak lazim yang sedang terjadi. Seorang perempuan paruh baya berseragam serba putih mendampingi seorang perempuan berusia sekitar 25 tahun dengan perut jelas membuncit yang menangis terisak-isak. Umumnya, bila perempuan hamil akan melahirkan merasakan nyeri mules, maka dia akan menangis menjerit-jerit atau melolong, bukan terisak-isak. Tanpa diminta, perempuan paruh baya yang ternyata seorang bidan dari Puskesmas setempat menjelaskan pemandangan itu, “Dok, kasus IUFD ini…” katanya dengan suara lirih sambil menyerahkan buku periksa hamil pasien itu. IUFD (intra uterine fetal death) atau kematian janin di dalam rahim cukup menjadi penjelasan buatku mengapa pasien itu menangis terisak-isak, apalagi ini adalah kehamilan pertamanya.
Setelah memastikan bahwa kondisi pasien stabil dan tidak ada keadaan yang mengancam nyawa, maka barulah aku mewawancarai Bidan dan pasien tersebut. Menurut mereka, perjalanan kehamilan selama ini lancar dan tidak ada penyulit. Hanya saja, si pasien tidak ingat tepatnya kapan dia mendapat haid terakhir sebelum hamil. Dia juga tidak melakukan pemeriksaan USG di masa-masa awal kehamilannya untuk menentukan secara akurat usia kehamilannya karena alasan biaya. Bidan tersebut menambahkan, “mestinya sih sekarang sudah cukup bulan Dok, taksiran klinis saya beratnya sekitar 3,5 kiloan..”
Hasil pemeriksaanku dengan USG membuktikan memang tidak ada aktivitas jantung janin yang terekam. Namun selain itu, semua terkesan normal. Plasenta baik, air ketubannya cukup, tak tampak ada kelainan struktur anatomi, dan taksiran beratnya sekitar 3700 gram dan memang sesuai untuk kehamilan cukup bulan (meskipun tidak dapat mengeksklusi apakah ini suatu kehamilan lewat bulan). Sayangnya, selain data tekanan darah yang normal dari 5x pemeriksaan kehamilan sebelumnya, pasien itu tak memiliki data-data lainnya untuk dieksplorasi sebagai penyebab kematian mendadak si janin yang menurut pasien malam sebelumnya masih terasa bergerak dan menendang.
Ketika si suami pasien datang, dengan berempati mendalam aku jelaskan kondisi kehamilan si istri, bahwa saat ini janinnya sudah meninggal di dalam rahim dan sebaiknya segera dilahirkan. Tangis dan isakan pasien itu semakin keras dan suaminya pun tak berdaya menenangkannya. Akhirnya, aku memberi isyarat untuk mengajak si suami keluar ruangan, dan meminta ibu pasien menemani dan menenangkannya di dalam (dari pengalamanku, umumnya cara itu lebih ampuh untuk menenangkan seorang perempuan).
Begitu menutup pintu, keluarlah pertanyaan yang dari tadi kunanti-nanti dari mulut si suami, “Kok bisa mendadak meninggal di dalam rahim, Dok? Istri saya sehat-sehat saja, juga rajin periksa hamil. Kata bu Bidan juga semua normal-normal saja. Kan aneh Dok, tiba-tiba gitu aja meninggal..?!”. Hati kecilku spontan menjawab, “Wah, sama Pak pertanyaannya sama saya, saya juga bingung…”. Namun untunglah otakku masih bisa mengendalikan mulutku untuk kemudian menjawab dan menjelaskan berbagai kondisi yang memungkinkan terjadinya sudden IUFD, seperti kehamilan lewat waktu, diabetes gestasional, kelainan imunologi, dan masih banyak lagi. Tapi semua sekedar kemungkinan, karena toh tidak ada data yang menunjang, dan untuk mengumpulkan semua data itu tentu memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Bila memungkinkan, maka autopsi pada jenasah bayinya setelah dilahirkan akan bisa juga memberi petunjuk penyebab kematiannya, namun tentu tidak ada orang tua di Indonesia yang mengijinkan jenazah bayinya diautopsi.
Di beberapa negara, pemeriksaan autopsi pada kasus seperti ini bisa dilakukan walaupun keluarga tidak menyetujui. Walaupun terkesan tidak manusiawi, namun pelajaran yang diambil bisa menambah pengetahuan dan pemahaman kemudian. Anyway, untunglah si suami tidak mengenal kata idiotpatik, karena toh akhirnya dia cukup puas dengan “kuliah”ku walaupun aku tidak menyimpulkan dan menjawab pertanyaannya secara eksplisit.
“Bisa kejadian lagi ga Dok, kalo misalnya nanti istri saya hamil lagi..?” terusnya. Sebenarnya hatiku ingin menjawab, “Kalo ditanya bisa ato enggak, ya jawabannya bisa-bisa aja… Lha sekarang penyebabnya pun tak diketahui. Lagian saya ini Dokter, bukan peramal atau Tuhan…”. Untunglah otak profesionalku sebagai dokter mengintruksikan mulutku menjawab dengan penuh empati, “Menurut kepustakaan sih Pak, kemungkinan kejadian seperti ini berulang sekitar 0,5 persen, kecil namun tetap ada kemungkinan. Nanti kalau ibu hamil lagi, sebaiknya kontrol dengan dokter kandungan di rumah sakit ya Pak. Supaya fasilitasnya lebih lengkap untuk memantau dan melakukan berbagai pemeriksaan dan kejadian ini bisa sedapat mungkin dihindari…”. Si suami manggut-manggut mendengar penjelasanku. Bahkan bila semua protokol screening pemeriksaan kehamilan dan manajemen kehamilan terpadu dikerjakan seperti di berbagai negara maju pun, kejadian unexplained IUFD ini tetap sebesar 1 persen. At least, aku bukan satu-satunya dokter bodoh di dunia.
Seni menjelaskan suatu kondisi kepada pasien dan keluarganya memang ilmu tersulit dalam dunia kedokteran. Bayangkan, berbagai pengetahuan dan ilmu yang oleh seorang dokter harus ditimba bertahun-tahun (kebanyakan dalam bahasa Latin pula), harus bisa disarikan dan dijelaskan kepada seorang pasien dan/keluarganya dalam 10 menit dengan bahasa awam yang mudah dimengerti.
Tak heran, banyak yang beranggapan bahwa parameter kesuksesan seorang dokter bukan terletak pada keahliannya menegakkan diagnosis, terapi sesuai, atau skill operasinya. Tapi justru terletak pada kemampuannya berkomunikasi dengan para pasiennya. Betapa tidak, berdasarkan kenyataan yang ada, rahasia ilmu kedokteran itu baru secuil yang bisa dibongkar. Artinya, kebanyakan jawaban dari pertanyaan manusia tentu adalah “belum diketahui sampai saat ini”, atau “masih sedang dalam penelitian”, atau ya “idiopatik” sebagai kalimat penghalus dari “saya tidak tahu”. Bayangkan, betapa merasa ruginya seorang pasien bila berobat pada seorang dokter yang bila ditanya kemudian menjawab dengan entengnya “saya tidak tahu”. Terutama di Indonesia, kurasa itu adalah jawaban yang unacceptable.
Seperti kasus yang kutemui kali ini di sebuah rumah sakit jejaring pendidikanku kategori rural hospital. Mungkin ini satu-satunya rumah sakit negeri di kota atau provinsi ini, sehingga setiap detiknya, limpahan pasien tak ubahnya seperti air bah. Karena rumah sakit negeri, maka di sini tidak ada pasien yang ditolak karena tidak mempunyai uang atau karena bed ruang rawat dan kamar bersalin penuh. Bed penuh bukan masalah, para pasien yang datang dari berbagai penjuru itu tak keberatan tidur di atas folding bed seperti di tenda tentara. Bila folding bed pun sudah penuh terisi, maka tikar menjadi alternatif terakhir. Suasana di kamar bersalin kurasa mirip seperti kamp pengungsi tsunami dengan tak kurang dari 50 ibu hamil atau pasca persalinan menjadi penghuninya. Bedanya adalah, mungkin setiap beberapa menit akan terdengar tangisan bayi baru lahir ditingkahi jerit kesakitan karena mules atau seruan-seruan panik para petugas medis yang kelelahan karena pekerjaan yang tiada akhirnya.
Bertugas di rumah sakit ini selalu menyisakan kesan istimewa tersendiri. Loading pasien yang terkadang (selalu sih sebenarnya) di luar akal, justru marangsang produksi adrenalin tetap tinggi dan jantung berdegup kencang. Sudah menjadi permakluman di antara kami residen obgyn, pasien-pasien yang datang ke rumah sakit ini membawa kasus yang tidak biasa. Bahkan kasus persalinan normal tanpa penyulit pun, bisa menjadi kasus sulit yang membawa tim jaga menuju meja audit dan terancam mendapat hukuman.
Sore itu kami sedang melakukan operan jaga di kamar bersalin. Ada beberapa pasien yang sedang in partu (dalam proses persalinan) dan ditargetkan mereka akan melahirkan bayi-bayinya malam itu. Setelah melakukan ronde dan melaporkan semua kondisi pasien pada konsulen jaga malam itu, aku menemani seorang juniorku membantu persalinan seorang perempuan. Perjalanan persalinannya lancar, bayi lahir normal dan langsung menangis, tampak sehat dan bugar. Si bayi kemudian ditangani oleh sejawat dari Perinatologi untuk ditimbang dan diukur, kemudian ditunjukkan pada si ayah (waktu itu IMD belum diberlakukan dan si ayah tidak boleh menemani istrinya melahirkan karena ruangan yang ekstra penuh).
“Selamat ya Bu…bayinya perempuan, cantik dan sehat…!!” seruku pada si pasien. Dia hanya tersenyum sambil terengah-engah dan memintaku untuk menyodorkan sebotol air mineral di meja samping tempat tidurnya. “Plasenta lahir lengkap, Mbak… Kontraksi uterus baik, perdarahan tidak aktif, dan ruptur perineum grade 2… Tanda vital stabil..!!” lapor juniorku yang membantu persalinannya itu. “Okay, lanjut perineorafi ya…” instruksiku padanya untuk menjahit luka di jalan lahir pasien itu. Kemudian aku berpaling pada si pasien, “Selamat sekali lagi ya Bu, seterusnya dijahit sama Dokter itu ya, dan nanti ibu ditensi sama mbak Bidan yang ini yaa… Saya mau periksa pasien yang lain dulu..” pamitku padanya. “Makasih banyak ya Dok…” jawabnya sambil tersenyum.
Belum tiga menit aku meninggalkan ruangan pasien itu untuk memeriksa pasien di sebelahnya, juniorku tiba-tiba berteriak… “Mbaaaakkkk… pasiennya apneuuu…!!!”. Sontak aku melompat kembali ke ruangan pasien tadi yang hanya dibatasi oleh dinding teriplek dengan ruangan tempatku berada saat itu. “Ambil set resusitasi di depan..!!” seruku pada seorang siswa bidan yang tampak mematung pucat pasi menyaksikan seorang pasien tiba-tiba sesak dan tersengal-sengal di depan matanya. “Pasang monitor, panggil residen anestesi untuk evaluasi dan back up ICU…” instruksiku pada 2 juniorku yang lain.
“Tensi tak terukur, Mbak. Nadi 40x/m lemah, nafas gasping 6x/m, kontraksi uterus baik, tidak ada perdarahan aktif, saya belum selesai jahit perineum…”. “Siapkan set intubasi..!!” seruku sambil memasang sarung tangan. Pasien itu segera kami intubasi dan pompakan nafas, dan seorang juniorku melakukan kompresi dada karena nadinya semakin melemah. Berampul-ampul adrenalin kami injeksikan, namun hasilnya tidak seperti yang kami harapkan. Lima belas menit kami melakukan resusitasi jantung paru, layar monitor menunjukkan flat nya aktivitas jantung, dan kedua pupil pasien itu berdilatasi maksimal.
Dengan berat hati aku terpaksa meminta resusitasi dihentikan. Semua yang hadir di ruangan itu tampak terkejut, cemas, dan ketakutan, tak terkecuali diriku sendiri. “Waktu kematian, 19.08…” kataku lirih sambil memberi isyarat agar semua alat monitor dan jarum yang terpasang pada jenazah pasien itu dilepaskan. Kejadian seperti ini bagai mimpi buruk bagi dokter obgyn seperti kami. Kasus yang seharusnya hanya kami baca di jurnal case report saja karena insidensinya yang hanya 1,1 setiap 100.000 kelahiran dan dengan prognosis sangat buruk. Pulmonary embolism (emboli paru), itulah yang terlintas di kepalaku saat itu sebagai penyebab tragedi ini, pembunuh ibu melahirkan nomor satu di negara-negara maju di mana masalah perdarahan dan infeksi sudah hilang dari daftar mereka. Namun lagi-lagi, tanpa autopsi, tidak mungkin kecurigaanku dibuktikan. Jangankan meminta ijin untuk autopsi pada suaminya, harus menjelaskan bahwa istrinya meninggal tiba-tiba saja sudah membuat kedua kakiku lemas.
Akhirnya setelah jenazah pasien itu dirapikan, aku memanggil sang suami ke depan ruangan. Sengaja tak kuajak masuk dulu, karena dia belum diberi tahu bahwa istrinya meninggal. Salah satu juniorku hanya sempat memberi tahu sang suami bahwa kondisi istrinya tiba-tiba memburuk tadi, dan kami sedang melakukan yang terbaik untuk menolongnya. Berdiri di posisiku sekarang adalah kondisi yang paling tidak mengenakkan sebagai dokter. Menyampaikan berita buruk, kemudian mengantisipasi reaksinya adalah tugas yang sama sekali tidak mudah.
“Gimana istri saya Dok, udah baikan kan..?! Saya mau ketemu dong sekarang… Saya sudah lihat bayi saya, cantik banget, hidung dan bibirnya persis istri saya Dok, nah kalo mata dan jidatnya, itu dari saya Dok…”. Rasanya jantungku berhenti berdegup mendengar celotehan suaminya itu. Tak tega rasannya mennyampaikan berita kematian istrinya di tengah kebahagiaannya mendapatkan seorang buah hati. Namun dengan mengingat bahwa di tangan sang Pemilik nyawalah kematian dan kehidupan ini ada, maka dengan menggertakkan gerahamku kata-kata itu mengalir, terdengar begitu dingin di telingaku sendiri.
“Selamat ya Pak atas kelahiran putrinya…!! Iya, saya tahu putri Bapak cantik sekali, mirip sama ibunya, karena tadi saya juga membantu proses persalinannya… Tapi kemudian ada komplikasi persalinan yang sangat tidak diharapkan terjadi Pak… Kejadian ini sangat jarang terjadi…bla bla bla….”.
Kata-kataku semakin lama semakin terasa mendengung di telingaku sendiri, seiring dengan air muka si suami yang berubah mendengar penjelasanku. Air muka sedih, yang kemudian berganti marah… Butuh waktu berjam-jam untukku menenangkan sang suami dan meminta maaf bahwa meskipun kami sudah mengusahakan yang terbaik, namun keputusan akhirnya bukan di tangan kami.
Menerapkan konsep bahwa mengusahakan yang terbaik, kemudian menyerahkan hasilnya pada yang berhak memutuskan menurutku adalah suatu keharusan bagi seorang dokter bila dirinya tidak ingin menjadi gila atau berputus asa dalam menangani pasien-pasiennya. Faktanya, ada begitu banyak hal yang tidak diketahui dan berada di luar kontrol manusia, termasuk seorang dokter (meskipun sudah ditraining berpuluh-puluh tahun). Segala teori dan konsep yang ada di literatur, mungkin hanya secuil pengetahuan yang bisa didapat manusia. Sisanya, yang mungkin masih seluas lautan itu, masih teka-teki dan misteri.
Beberapa hari berselang setelah kejadian pulmonary embolism itu, seorang bidan di kamar bersalin menyarankan agar tim stase kami mengadakan tirakatan. Pasalnya, pasien-pasien di bulan kami stase ini begitu membanjir dan dengan kasus yang aneh-aneh. Mungkin terdengar klenik, dan nyerempet (atau bahkan memang termasuk perbuatan) syirik, tapi memang begitulah “budaya setempat”.
Aku tak tahu siapa yang mengawali dulunya, namun bila ada tim stase atau residen yang bila bertugas selalu banyak pasien, atau kasus-kasus yang datang sulit dan berdarah-darah, biasanya akan digelari “pembawa pasien”. Rekan satu tim yang akan bertugas dengannya juga akan selalu berpesan (yang sekedar candaan) untuk mandi kembang tujuh rupa dulu sebelum jaga. Tapi kurasa toh tak ada yang mengerjakannya, bisa sempat mandi sebelum mulai bertugas jaga malam itu hanya ada dalam mimpi. Aku juga digelari “pembawa pasien” dan biasanya rekan-rekan satu tim segan bertugas bersamaku karena kasus-kasus aneh banyak datang di jam-jam jagaku. Tapi aku tak begitu ambil peduli. Aku selalu menjawab, mudah-mudahan bila berpraktik kelak pasienku juga banyak. Dan kasus-kasus sulit serta aneh adalah bahan belajar yang menarik.
Aku sudah menghabiskan waktu setengah malam itu di kamar operasi melakukan seksio sesarea yang antriannya sudah menyaingi antrian sembako operasi pasar. Bahkan para petugas di kamar operasi sudah mulai berkeluh kesah, “Ya ampuuuunnn Dok, kok gak abis-abis sih pasien yang seksio. Kenapa ga dilahirin normal aja sihhhh, capek dan ngantuk banget nih kita…”.
“Gedubrak”, pikirku dalam hati… “Kalo bisa dilahirin normal ya ngapain juga saya seksio booosss. Nambah-nambahin kerjaan ajaaa, dibayar juga kagak…!!!” jawabku santai. “Buka OK (kamar operasi) sebelah juga yuukkk, biar cepet kelar nih antrian. Masih empat lagi tuh yang mau seksio. Ntar kalo udah kelar kan kita bisa makan roti bakar, indomie, sama jeruk panas rame-rame…” rayuku pada para petugas di kamar operasi. Padahal, saat itu kami sudah memakai 2 kamar operasi. Roti bakar, indomie, dan jeruk panas (aku tak minum kopi, untuk residen yang harus selalu terjaga 24 jam dalam sehari itu adalah hal aneh di mata para kolegaku) dari warkop depan IGD adalah hiburan kami di tengah malam, ganjal perut sekaligus mata agar tetap bisa melayani pasien. “Dokter yang traktir niiihhh…??” seru mereka bersemangat. “Beresss…” jawabku sambil mengerlingkan mata pada asisten operasiku.
“Jahit kulitnya yang rapi ya…” pesanku pada juniorku yang menjadi asisten operasi tadi sambil melepaskan sarung tangan dan jubah operasiku. Niatku ingin meluruskan kaki dan punggung beberapa saat tidak kesampaian karena seorang perawat OK sudah menyodorkan gagang telpon, “telpon dari kamar bersalin Dok,” terangnya sambil menyambung setengah mengomel, “Emang kita ga boleh istirahat bentar ya, masak ngirim pasien buat seksio ga ada berhentinya sejak sore…”. Aku hanya nyengir menanggapi omelannya sambil mengambil gagang telpon. “Mbak..!! Pasien suspek ruptur uteri nihhh… Pasiennya syok dan janin IUFD…” belum sempat aku mengucap sepatah kata, orang di seberang telpon sudah nyerocos dengan nada panik.
Singkat cerita, pasien yang dilaporkan oleh rekan jaga malamku tadi adalah seorang perempuan berusia 30 tahun, dirujuk oleh kolegaku yang telah selesai pendidikan. Pasien itu sedang hamil kedua, cukup bulan, dan sudah masuk proses persalinan sejak pagi hari tadi. Seorang paraji (dukun bersalin) sedianya akan menolong dia bersalin di rumahnya, di daerah pelosok provinsi sekitar 30 km dari rumah sakit ini. Namun ternyata persalinannya macet dan terpaksa sang paraji merujuknya ke sebuah tempat bidan praktek swasta di kota. Tidak jelas apa saja yang telah dikerjakan oleh paraji itu sebelum merujuk si pasien. Kebetulan kolegaku ini sedang berpraktek sore di situ, dan dia diminta tolong oleh bidan yang dirujuk tadi untuk membantu melahirkan si bayi.
Begitu kolegaku memeriksa si pasien di tempat bidan itu, dia curiga dengan bentuk perutnya yang aneh, dan kondisi pasien yang tampak sesak dan kesadarannya mulai terganggu. Tidak ditemukan denyut jantung janin dan walaupun pembukaannya lengkap, namun kepala janin masih tinggi, tidak masuk ke pintu atas panggul. Karena mesin USG di tempat bidan itu sedang rusak, kolegaku tidak dapat melakukan pemeriksaan lanjutan. Namun dia curiga telah terjadi ruptura uteri, yaitu robeknya dinding rahim dengan janin di dalamnya, yang menyebabkan perdarahan hebat di dalam perut, dan mengakibatkan kematian janin. Kematian ibu pun bisa terjadi dalam hitungan menit akibat kehabisan darah. Karena terbatasnya dana si suami, maka akhirnya kolegaku memutuskan untuk membawanya ke satu-satunya rumah sakit pemerintah di kota ini.
“Sedia darah ya, minta 1000 cc PRC (packed red cell/sel darah merah), dan 500 cc FFP (fresh frozen plasma, bagian plasma darah yang kaya akan faktor pembekuan darah)…” pesanku pada juniorku sebelum meminta pasien itu dikirim ke kamar operasi secepatnya karena kondisi hemodinamiknya yang semakin memburuk. Pasti perdarahan hebat terjadi, dan sumber perdarahan harus segera diatasi dengan operasi. Darah yang keluar harus segera digantikan juga, dan faktor pembekuan darah menjadi vital untuk membantu menghentikan perdarahan yang terjadi.
Aku menanti pasien itu di pintu utama kamar operasi setelah meminta tim OK menyiapkan satu kamar untuk operasi emergency ini. Aku jelaskan kondisi pasien pada sejawat anestesi yang bertugas saat itu, dan bahwa aku tak mungkin menunggu komponen darah datang dulu untuk melakukan operasi, karena perdarahan berjalan terus bila aku tak melakukan sesuatu. Kami harus bersiap dengan skenario terburuk, pasien bisa mati di atas meja operasi.
Akhirnya pasien itu tiba juga di depan kamar operasi diantar oleh beberapa juniorku yang melakukan resusitasi, dan diikuti suaminya yang tampak bingung dan gugup. “Pak, saya harus operasi istri Bapak sekarang ya..!! Mungkin saya harus angkat rahimnya agar perdarahan berhenti dan istri Bapak selamat. Tapi risiko operasi ini sangat tinggi, istri Bapak bisa tidak selamat. Tolong Bapak usahakan agar komponen darah yang kami minta bisa segera didapatkan ya Pak..!!” jelasku sesegera mungkin sambil membantu tim OK memindahkan pasien itu ke brankar steril. Wajahnya bertambah pias dan dengan suara gugup dia menjawab, “Tolong istri saya ya Dokter… Tapi saya mesti cari darahnya di mana? Bayar nggak ini buat minta darahnya?” tanyanya dengan gemetar.
Ironis sekali memang sistem pelayanan kesehatan tempat ini (mungkin juga di banyak tempat lain di negara yang mengaku berperikemanusiaan dan berperikeadilan ini). Di sini, bila seseorang membutuhkan komponen darah, maka keluarga atau orang yang bertanggung jawab mengurusnyalah yang harus pergi sendiri mencari komponen darah itu ke kantor Palang Merah Indonesia setempat. Bila di kantor PMI komponen dan golongan darah yang dimaksud tidak tersedia (dan sering sekali terjadi seperti ini), maka orang itu harus mencari sendiri orang lain yang bersedia menjadi donor darah. Kerumitan itu masih ditambah biaya beberapa ratus ribu untuk setiap kantong komponen darah yang diproses.
Jadilah keahlian mengurus darah adalah skill ekstra yang harus dimiliki oleh seorang residen obgyn, profesi yang sehari-harinya selalu berhubungan dengan darah. Bila ada pasien yang membutuhkan darah, dan persediaan PMI sedang kosong, maka kami menjalankan SMS berantai meminta sejawat dengan golongan darah sama untuk menyumbangkan darah. Kami tahu seluk beluk mengurus darah di PMI agar bisa segera mendapatkan komponen darah yang diperlukan. Bahkan kami terbiasa mengambil sendiri komponen darah itu ke Bank Darah atau PMI karena bila menggunakan prosedur biasa, maka banyak pasien kami tentu mati kehabisan darah. Berharap perbaikan sistem terlalu memakan waktu, dan kebanyakan pasien kami tak memiliki cukup waktu untuk menunggu. Karenanya, segera kusuruh salah satu juniorku membantu si suami mengurus komponen darah di PMI.
“Mbak, ada tempat di ICU nggak nih? Ini post op nya pasti masuk ICU kan…” ujar sejawat residen anestesi yang bertugas sambil menyiapkan alat dan monitor untuk operasi. “Lha, mana saya tahulah, kan situ penguasa ICU…” candaku sambil memasang gaun dan sarung tangan operasiku. “Kalo ICU nya penuh gimana dong, lagian kok nerima pasien kayak begini ga konfirmasi tempat di ICU dulu sih…” sahutnya dengan ketus. Aku tertawa mendengarnya dan menjawab, “Ya ampun Bang, masak iya pasien kayak gini mau ditolak. Mau disuruh pergi kemana lagi kalo ICU penuh? Ya udah, kalo ICU penuh ga ada ventilator, nanti kami gantian deh mompa napasnya sampe pasien bangun”. Dan aku tidak main-main, bukan sekali dua kali kami terpaksa tetap memasang ventilator kamar operasi atau memompa napas pasien secara manual secara bergantian karena ICU dengan ventilator penuh.
Setelah semua siap dan sejawat anestesiku memberi lampu hijau, aku segera memulai operasi dengan diasisteni kolega yang merujuk tadi dan satu juniorku. Begitu rongga perutnya kami buka, genangan darah sudah memenuhi pandangan dan sebagian besar punggung janin pasien itu sudah berada di rongga perutnya. Setelah kami lahirkan bayinya yang dalam taksiran klinisku beratnya tak kurang dari 4 kg, tampaklah robekan luas memanjang vertikal dari puncak rahim sampai mencapai leher rahim di dinding belakang rahimnya. Tempat yang tidak lazim untuk terjadi robekan uterus, dan bentuknya yang compang camping berantakan membuat kami memutuskan untuk mengangkat sekaligus rahimnya. Kami memasang klem-klem dan mengikat pembuluh darah secepat mungkin agar sumber perdarahan segera teratasi. Namun bahkan saat rahim telah terangkat, lapangan operasi masih tampak menggenang terus. Genangan yang keluar merembes tidak lagi berwarna merah darah, namun sudah berwarna merah muda encer akibat sejawat anestesiku hanya bisa menginfuskan cairan RL dan koloid yang bening karena komponen darah yang kami nantikan tak kunjung datang.
“Udah loss coagulopathy nih…” cetusku panik, menyebut salah satu kondisi ketika darah hilang terlalu banyak, termasuk komponen pembekuan darah di dalamnya, sehingga perdarahan yang terjadi akan nyaris mustahil berhenti. “Udah teratasi belum perdarahannya..?? Tensi nadinya ajrut-ajrutan terus nih, bisa arrest kalo gini terus…” desak sejawat anestesiku menambah kepanikan. Arrest, atau henti jantung, adalah hal terakhir yang aku ingin pikirkan saat itu.
“Kita ligasi hipogastrika aja..!!” seruku yang langsung dietujui rekan-rekanku, untuk melakukan pengikatan pembuluh darah yang memberikan percabangan ke arah rahim. Dengan mengikat pembuluh darah itu, maka tentu perdarahan akan berhenti. Namun masalahnya, saat itu aku (yang baru naik tahap 3 jenjang pendidikanku) baru memiliki pengalaman sekali melakukan ligasi hipogastrika pada pasien obstetri, sisanya biasanya kulakukan pada operasi-operasi ginekologi, di mana struktur anatominya lebih jelas dan pasien dalam kondisi stabil. Akhirnya kami menyusuri pembuluh darah panggul berusaha mencari arteri hipogastrika kiri dan kanan untuk kami ikat. Namun karena pasien syok akibat kehilangan banyak darah, semua pembuluh darahnya kolaps dan sulit untuk ditemukan.
Yang bisa kami temukan hanya arteri iliaka komunis kiri dan kanan, lebih proksimal (hulu) dan juga memberikan cabang-cabang pembuluh darah ke organ-organ vital yang berada dari panggul sampai ujung kaki. Kalau kami mengikat pembuluh darah ini, maka tentu organ-organ tersebut bisa rusak kekurangan darah. Namun bila tidak kami ikat, maka perdarahan tidak akan berhenti. Menanti bantuan tiba dari orang yang lebih ahli hanya akan memperburuk keadaan. Perdarahan harus dihentikan sekarang juga atau pasien akan arrest. Akhirnya, kami putuskan untuk mengikat arteri iliaka komunis kanan dan kiri dengan pertimbangan menyelamatkan nyawa pasien, walaupun taruhannya pasien mungkin akan tidak lagi bisa berjalan. Tapi aku mengikatnya hanya dengan jenis benang yang dalam beberapa hari akan terserap, sehingga kuharap organ-organ itu masih bisa diselamatkan sementara komponen pembekuan darah mengambil alih tugasnya.
Begitu kami ikat kedua arteri iliaka komunis, lapangan operasi mulai terkendali, tak ada lagi rembesan-rembesan darah yang tidak jelas asalnya. Dengan lega (dan setengah takut) kututup rongga perut pasien itu. Untungnya ternyata ruangan ICU dengan ventilator tersedia, karena semua tim jagaku sudah tak ada yang sanggup lagi memompa manual napas pasien itu akibat loading pasien yang luar biasa banyaknya malam itu. Akhirnya menjelang pagi, komponen darah yang kami tunggu datang juga.
Pagi itu dan pagi-pagi esoknya, kami menanti dengan harap-harap cemas bagaimanakah kondisi pasien itu. Ternyata dia stabil di ICU, produksi urin (kencing) baik menandakan bahwa fungsi ginjal baik walaupun mengalami shock berkepanjangan. Pada hari keempat, pasien itu sudah benar-benar sadar di ICU. Saat pertama aku menemuinya di sana, yang pertama kali kuinstruksikan padanya adalah menggerakkan ujung-ujung jari kakinya, dan ternyata semua bergerak normal. Setelah dia dipindahkan ke ruang rawat biasa dari ICU, residen yang bertugas di bangsal melaporkan padaku bahwa pasien itu bisa berjalan seperti biasa. Pada hari keenam, pasien itu bisa dipulangkan dalam keadaan baik. Jangan tanya bagaimana semua itu bisa terjadi.
Pada sebuah pengajian rutin di departemen kami, seorang Ustadz pernah bertanya pada kami semua, “Dokter, kalau Dokter melakukan operasi emergency malam-malam dan pasiennya selamat, apakah Dokter merasa bahwa berkat Dokterlah maka pasien itu hidup? Padahal Dokter sudah lelah seharian bekerja, mata sudah tidak awas, tangan sudah gemetar, dan konsentrasi sudah mengawang-awang. Apakah tidak mungkin Dokter membuat kesalahan, salah memotong pembuluh darah atau organ lain. Salah menjahit sehingga malah berdarah-darah atau organ lain rusak. Sangat mungkin kan Dok?” yang kami tanggapi dengan anggukan kepala. “Jadi, pasti ada kekuatan yang mengendalikan Dokter kan? Yang memastikan bahwa mata Dokter melihat dengan baik, tangan Dokter bekerja dengan baik, agar pasien itu selamat?” lanjut sang Ustadz yang lagi-lagi kami jawab dengan mengangguk-angguk. “Maka sama sekali kita tak pantas untuk sombong, karena kita ini hanya perantara. Tugas kita hanya berusaha, kemudian berdoa. Hasil dan keputusan itu bukan urusan dan hak kita…”.
Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp OG