Saat kulihat penyembelihan hewan qurban, sering ada rasa iri menyelinap. Pada siapa? Pada segerombol kambing dan sapi itu. Mata mereka hari itu sayu, menunggu giliran untuk disembelih. Tampak gelisah, membayangkan bagaimana setelahnya nyawa terpisah dari raga, tentu semua makhluk memiliki kecemasan yang kurang lebih sama. Tapi, tatapan mata mereka sungguh pasrah. Dan.. rerata hewan qurban yang disembelih, tak meronta terlalu lama. Tak seperti yang sering kulihat di tempat penyembelihan sapi untuk dijual (jagalan) saat aku kecil. Meronta dengan kerasnya, bahkan beberapa kali kejadian, sapi itu melarikan diri dengan kencang masuk ke perkampungan karena saking takutnya.
Iri? Tentu saja. Dengan mengalirnya darah mereka dan maut menjemput seketika, tunai sudah tugasnya sebagai makhluk. Tak ada lagi perhitungan dan hisab yang njelimet tentang dosa-dosa yang telah dilakukan. Jika dia manusia, maka dia telah sukses menemui kesyahidannya, seiring darah yang mengucur dari tenggorokannya. Ya, dia kini syahid, berpulang kepada penciptanya dengan tenang.
Sedangkan aku, masih terpaku di jalan ini, masih dengan lumut-lumut maksiyat yang astaghfirullah, terjadi dan terjadi lagi. Sementara itu, saat hari raya qurban, aku hanya diminta membeli seekor kambing atau sapi bertujuh orang, lalu disembelih sebagai hewan qurban. Bukan mengorbankan salah satu anakku untuk disembelih, seperti perintah Allah pada nabi Ibrahim. Bukan pula mengorbankan diriku sendiri untuk disembelih, sebagaimana kambing-kambing itu. Maka aku iri, karena aku merasa ‘kalah cepat’ untu bisa menemui Sang Pencipta, dalam sebaik-baik cara berpulang.
Adapun harga kambing, tak jauh beda dengan harga telpon genggam kualitas tengahan. Jika telpon genggam dengan fitur terbaru, kadang begitu tergiur untuk membeli, meskipun harganya makin tinggi. Ada apa dengan diriku ini? Saat berqurban kadang masih saja mencari yang murah, dan lebih murah. Sementara telpon genggam suatu hari kelak harus kupertanggungjawabkan penggunaannya di hadapan sang Pencipta. Sedang kambing yang telah disembelih itu, justru akan menjadi saksi yang memperingan langkahku di sana, saat hari perhitungan tiba.
Ada apa dengan diriku ini? Berani membeli motor untuk berkendara yang harganya puluhan juta, meski harus dengan mengajukan kredit yang dicicil tiap bulannya. Sedangkan harga kambing yang tak sampai tiga juta kadang harus berpikir lama? Bukankah jika itu dicicil tiap bulan dalam setahun, nilainya hampir sama dengan kredit panci serbaguna atau alat-alat rumah tangga lainnya? Lalu kenapa untuk alat-alat rumah tangga itu aku kadang tergoda, tapi untuk berqurban kambing dengan kualitas terbaik, masih berpikir-pikir juga?
Rabbi, mudahkan bagiku untuk terus menapaki jalan-Mu. Jika menyembelih hewan qurban ini adalah sarana latihan agar aku terbiasa untuk berqurban yang lebih besar, jangan lalaikan hatiku untuk menetapi latihan ini, dari tahun ke tahun. Tak akan mungkin aku mendapatkan porsi latihan yang lebih berat dari ini, jika untuk latihan yang satu ini saja aku tak kunjung lulus di hadapan-Mu. Mudahkan ya Rabb…
Here are a few tips and exercises to Writemypaper4me help you over a rough beginning.