Federasi Rusia dan Uni Soviet, dua nama yang sering tercampuraduk. Dalam pandangan sebagian masyarakat Indonesia, keduanya tergolong ‘beti’, alias beda tipis. Kesan yang biasanya muncul adalah: gelap, hitam, kejam, tidak bersahabat dan aneka kekelaman lainnya. Dan yang sering dipahami adalah bahwa mereka masih dalam era komunis dan atheis.
Federasi Rusia dan Uni Soviet adalah dua nama yang berbeda dengan karakter yang tidak sama. Bedanya bisa jadi bainas sama’ wa (antara langit dan) sumur bor. Uni Soviet berpaham komunis sosialis, sedangkan Rusia baru menganut demokrasi dan kapitalisme. Sekat antara keduanya adalah sebuah rangkaian peristiwa menjelang tahun 1990 yang sangat dikenal dengan perestroika dan glasnost dengan tokoh utamanya Mikhail Gorbachev.
Itulah titik metamorphosis yang demikian dahsyat dari sebuah negeri yang paling luas di dunia. Sebuah perubahan yang unik, luar biasa dan menjadi titik perhatian dunia. Runtuhnya sebuah rezim komunis yang telah bertahta selama lebih dari 70 tahun. Uni Soviet bubar dan kemudian menjelma sebuah negeri baru dengan tatanan baru dan nama baru: Federasi Rusia.
Kalau mau sedikit dirunut ke belakang. Perubahan radikal seperti itu bukanlah sebuah barang baru. Sesuatu yang lumrah. Masyarakat Rusia sudah punya pengalaman panjang untuk terus menggeliat menuju sebuah titik idaman. Manakala itu dirasa tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, maka perubahan itu bukan mustahil akan dilakukan dengan cara apapun.
Jauh sebelum kejayaan era komunisme, maka era kerajaan yang dipimpin oleh para tsar selama ratusan tahun telah ditumbangkan pada tahun 1917 melalui sebuah revolusi yang bernama Bolschevik. Tidak hanya itu, ibukota “Rusia” juga telah berpindah dan menempati beberapa kota seperti Kiev, Vladimir, Moskow, dan St Petersburg.
Rusia baru kini hanya mewarisi kisaran 75 persen wilayah Uni Soviet. Beberapa negara lebih suka menjadi negara yang mandiri. Namun begitu, Rusia masih tergolong negara paling luas di dunia, dimana di bagian baratnya menyentuh Eropa Barat dan ujung timurnya berada diatas Jepang. Wilayah mantan negeri beruang merah ini juga terbelah dua, sebagian di Eropa dan bagian lainnya di Asia.
Rusia baru memang membawa sesuatu yang baru, antara lain adalah kebebasan beragama. Kembali memberikan keleluasaan bagi para pemeluk agama apapun untuk bisa melaksanakan ibadahnya. Tercatat sebagai agama tradisi antara lain Kristen Ortodoks, Islam dan Yahudi. Tiga agama ini sudah mulai dikenal sejak zaman kekuasan tsar serta mengalami pasang surut dari waktu ke waktu.
Pada masa komunis bertahta, agama adalah sesuatu yang tidak perlu eksis di bumi Uni Soviet. Agama dianggap oleh para petinggi komunis sebagai candu yang menghambat kemajuan dan pembangunan. Karenanya, buku-buku agama apapun dienyahkan, tempat ibadah dihancurkan atau dipusokan, sekolah agama ditutup, kegiatan dakwah dilarang dan para tokoh agama tidak boleh eksis apalagi beraktifitas.
Itu pula yang akhirnya menyebabkan banyak masjid enyah dari bumi Uni Soviet. Dalam hitungan Dewan Mufti Rusia yang berkedudukan di Moskow, pada awal Uni Soviet mengambil alih kekuasaan, terdapat sekitar 10 ribu masjid. Namun, ketika negeri adidaya itu disungkurkan oleh kekuatan rakyat (1991), jumlah masjid menjadi hanya 100-an saja. Hampir tidak ada sekolah yang mengajarkan agama. Lebih 70 tahun terjadi kevakuman dalam soal agama. Terjadi kemandegan akut dalam pemahaman religi.
Kini, setelah 21 tahun kebebasan agama dibuka lebar-lebar, maka masjid, gereja dan tempat belajar agama tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Jumlah tempat ibadah umat Islam saat ini diperkirakan sudah mencapai 7.500 bangunan. Terdapat sepuluhan institut atau universitas Islam. Dan jumlah umat Islam telah mencapai angka 25 juta, atau kisaran 18 persen dari seluruh populasi.
Moskow sendiri, sekarang menjadi kota terbesar di Eropa dalam hal jumlah umat Islamnya. Jumlah masjid yang masih sedikit tidak mampu menampung umat Islam ibukota yang kabarnya mencapai 2 juta orang. Shalat jumat pasti mengular sampai pelataran dan harus siap didera salju, hujan atau panas terik matahari. Sementara, untuk salat Idul Fitri, dipastikan bisa mengular ratusan hingga beberapa kilometer. Mereka siap berjamaah walau tidak mendengar apapun yang disampaikan khoib maupun imam.
Kota-kota santri juga muncul di Rusia baru. Di Kazan misalnya, kemanapun kita pergi sangat mudah mendapati masjid dengan menaranya yang sangat tinggi. Ucapan salam, azan dan bahasa Arab bukan sesuatu yang tergolong aneh. Di tempat ini, kita merasa di Indonesia saja. Kita pasti ‘feel at home’ dengan masyarakatnya yang sangat ramah, murah senyum dan berhati tulus. Sebuah kebangkitan agama telah terjadi dan tidak mungkin dielakkan apalagi dihentikan.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang ada pada diri mereka” (QS13:11)
Oleh: M Aji Surya, Rusia
Penulis adalah diplomat Indonesia di Rusia