Islam di Mata Lee Kuan Yew

Setelah berjuang melawan penyakit pneumonia, bapak pendiri Singapura, Lee Kuan Yew wafat di usia 91 tahun. Lee wafat di Singapore General Hospital pada 23 Maret 2015, pukul 03.18 pagi waktu setempat (www.pmo.gov.sg, 23 Maret 2015).

Kepergiannya mengundang simpati dari berbagai pemimpin dunia termasuk Barrack Obama dan David Cameron. Komunitas Muslim di Singapura juga turut kehilangan pria lulusan Cambridge itu.

Seperti yang diberitakan media, Lee menduduki jabatan Perdana menteri terlama di Singapura dari tahun 1959 hingga mengundurkan diri pada 1990 atau selama 31 tahun. Dia digantikan oleh Goh Chok Tong pada 28 November 1990 namun Lee tetap berperan penting dalam kehidupan politik Singapura dengan jabatan Menteri senior. Goh Cok Tong menjabat Perdana menteri hingga tahun 2004 untuk digantikan oleh Lee Hsien Loong putra Lee Kuan Yew yang sudah disebut-sebut sejak awal akan mengantikan ayahnya (www.bbc.co.uk, 23 Maret 2015).

Walaupun di Negeri singa itu tidak ada yang namanya “Demokrasi” seperti di Indonesia, tetapi penegakan hukumnya berjalan sangat baik. Beda dengan yang terjadi di negara kita, Demokrasinya kebablasan dan menyedot banyak anggaran negara, tetapi penegakan hukumnya “Tajam ke bawah, Tumpul ke atas”.

Eksistensi Islam di Singapura
Dari hasil penelitian Asep Saefullah, Islam sudah eksis di Singapura (dulu Tumasik) antara abad 8 M dan 11 M.  Sejak masa kuno, Tumasik telah menjadi kota pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal para pedagang dari berbagai belahan dunia, India, Persia, Arab, dan termasuk Eropa. Bahkan sejak pertengahan abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, Singapura menjadi pusat informasi dan komunikasi dakwah Islam, melalui produksi, reproduksi, dan distribusi kitab-kitab cetak keagamaan, dari wilayah Asia Tenggara maupun Timur Tengah dan Eropa (Lihat Makalah Asep Saefullah, Tumasik: Sejarah Islam Awal di Singapura 1200-1511 M, hal 21).

Di era modern, pemeluk Islam di Singapura posisinya minoritas. Yakni sekitar 15% dari total keseluruhan penduduk Singapura. Dengan komposisi 14% ras melayu dan sisanya dari Arab, Pakistan dan India. Selain ketiga ras tersebut, di Singapura juga ditemukan orang Cina yang beragama Islam. Menurut Prof Hussin Mutalib dari National University of Singapore (NUS), orang Cina yang memeluk agama Islam makin meningkat, namun jumlahnya terbilang masih kecil (www.utusan.com.my, 12 April 2009).

Singapura tentunya dikenal sebagai negara sekuler. Meskipun begitu, menjalankan syariat Islam di Negeri Singa bagi umat Islam bukanlah hal yang sulit. Demikian disampaikan Ketua Indonesian Muslim Association In Singapore (IMAS) Imanuddin Amril dalam pertemuan dengan Perhimpunan Baitul Maal Wat Tamwil Indonesia. “Alhamdulillah kita bisa menjalankan syariat,” ujar Imanuddin.  Singapura, kata Imanuddin, juga mendukung keberadaan komunitas muslim di sana.  Bentuk konkretnya adalah banyaknya masjid yang dikelola secara profesional. “Kebanyakan muslim berasal dari penduduk lokal hingga pendatang, termasuk dari Indonesia,” kata Imanuddin (Republika online, 26 Oktober 2013).

Pandangan Lee Terhadap Islam
Sepanjang hidupnya mendiang Lee Kuan Yew tercatat pernah memberikan sumbangsih terhadap komunitas Muslim di Singapura. Pertama, Lee membentuk MUIS pada tahun 1968. Ini semacam Majelis ulamanya untuk menaungi Muslim Singapura. Kedua, Lee dikenang pernah memberikan dukungan kuat atas skema dana pembangunan Masjid pada tahun 1975 (berita.mediacorp.sg, 23/3/2015).

Selain sumbangsihnya di atas, di sisi lain, ternyata Lee punya pandangan yang tidak mengenakkan terkait agama Islam. Pertama, dalam bukunya yang berjudul, “Lee Kuan Yew: Hard Truths to Keep Singapore Going” (Straits Times Press, 2011), Lee menyatakan “kami dapat mengintegrasikan semua agama dan ras kecuali Islam”. Lee juga menyerukan agar Muslim setempat sedikit lebih longgar dalam menjalankan agama mereka agar mereka dapat berintegrasi dengan warga Singapura lainnya. Pandangan Lee soal integrasi ini direspon oleh mantan PM Malaysia, Dr Mahathir Mohammad, “Saya tidak terkejut atas pernyataannya karena menurut dia agama tidaklah penting. Baginya yang terpenting ialah menghalalkan segala cara, jadi jika dia ingin integrasi rasial di Singapura, ia tidak akan membiarkan Islam mencapai tujuannya” (Baca artikel, LKY really hates Malays and Islam, 4 Februari 2011).

Kedua, dalam bocoran dokumen yang dirilis oleh Wikileaks, Lee menyebut Islam sebagai ‘agama yang beracun’ (venomous religion). Dia menyampaikan hal itu sewaktu bertemu senator AS Hillary Clinton pada tahun 2005. Akan tetapi Lee menyangkal dengan memperjelas bahwa yang dimaksud ketika itu kelompok teroris seperti Jamaah Islamiyah dan penyeru jihad yang menyebarkan ajaran Islam versi mereka (www.mustsharenews.com, 10 Maret 2015).

Ketiga, Saat Lee menjadi menteri Senior Singapura, dia berani menuding pimpinan Abu Bakar Ba`asyir sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah untuk Singapura dan Malaysia. Selain itu, menurut Lee, masih banyak lagi kelompok Islam radikal di Tanah Air. Dan, mereka membahayakan Singapura. Bagi Gus Sholah, tudingan tersebut hanya bentuk ketakutan Singapura karena negeri singa itu dikelilingi negara Muslim besar, seperti Indonesia dan Malaysia (www.liputan6.com, 9 Desember 2002).

Sebelum menutup tulisan ini, belajar dari sosok Lee Kuan Yew, kita bisa mengetahui bahwa seorang pemimpin non Muslim seperti dia tetap saja mengidap islamo-phobia. Pada hakekatnya, Lee khawatir dengan pesatnya pertumbuhan agama ini di negaranya. Terbukti banyak pernyataannya yang tendensius terhadap Islam. Wallahu’allam bishowwab