Kalau caturwarna itu ada, dan diberlakukan secara menjeruji oleh dinasti Hindu (juga Budha), tentunya perkembangan Islam yang mengajarkan kesetaraan merupakan ancaman bagi struktur sosial yang telah mapan selama ratusan atau mungkin ribuan tahun. Kebesaran sebuah dinasti akan dirongrong karena masyarakat dari golongan bawah (sudra) tidak lagi menganggap status “pekerjaannya” adalah bawaan dari lahir dan merupakan kehendak Dewa. Pertentangan kelas jelas meletus.
Sebuah nilai yang dibawa oleh Islam sebagai agama, di satu sisi memicu sebuah revolusi besar yang mendobrak kemapanan sistem yang telah kokoh mengakar selama ribuan tahun. Islam mengantarkan sebuah kabar kepada setiap manusia, dimanapun ia berada, siapapun ia, apapun warna kulitnya, untuk mulai memandang seluruh manusia sama sekali tidak berbeda dengan dirinya sendiri.
Di Nusantara, ribuan orang pergi meninggalkan takdirnya sebagai Sudra cukup dengan mengucap “La ilaha ilaLlah Muhammad RasuluLlah”. Sebegitu simpelnya. Grass rootyang dulu bekerja untuk Borobudur, Prambanan, Kedung Songo, Candi Sewu, maupun kemegahan-kemegahan produk budaya lainnya, memperoleh ruang untuk menemui nasibnya yang baru sebagai manusia yang lain. Dengan mencantolkan diri kepada identitas Islam, fitrah kemanusiaannya menjadi setara dengan siapapun, bahkan dengan raja yang dulu disembah dan ditasbihkan sebagai titisan Dewa.
Manusia dilahirkan dalam kesucian yang sama, baik ia bayi dari seorang permaisuri kaisar maupun bayi dari budak belian. Dan, nilai kemanusiaan yang paling mendasar inilah yang kemudian mampu “menggembosi” kekuatan dinasti-dinasti Hindu-Budha secara permanen tepat dari jantungnya.
Di samping itu, selain Islam sebagai sebuah nilai, memasuki abad 9 hingga 17, setiap kerajaan Hindu-Budha juga menghadapi permasalahan lain dari luar dirinya akibat dari perkembangan Islam. Jalur perdagangan yang dikuasai oleh Islam sejak jatuhnya Persia dan Bizantium adalah faktor besar yang menjadikan raja-raja Hindu-Budha “tidak boleh” bersikap gegabah dalam menghadapi orang-orang Islam di wilayahnya. Karena, pada masa ini aspek-aspek niaga praktis telah pula didominasi oleh saudagar-saudagar muslim. Dan, perdagangan yang sedemikian rupa memakmurkan itu telah tersambung dari Laut Mediterania, Teluk Persia, Samudera Hindia, hingga ke Laut Cina Selatan.
Kedatangan Islam ke Nusantara, yang menurut peninggalannya telah berlangsung seiring dengan tersambungnya jalur perdagangan dunia melalui laut, telah menghasilkan pergulatan dalam satu aspek sosial yang vital dan dampaknya berpengaruh hingga amat jauh ke depan. Sejak Sriwijaya tampil sebagai imperium dan emporium, juga Majapapahit, peran hegemoninya telah dirundung oleh berbagai dinasti Islam yang muncul di Barat dan Timur dunia. Di masa ini kekuasaan Islam pun terus luber tak terbendung.
Walau demikian, berkenaan dengan kedatangannya, Islam di Nusantara memiliki perbedaan corak yang amat mencolok dengan asklerasi Islam di region lain di dunia. Dan, perbedaan inilah yang kemudian menjadi anti-thesis atas stereotipe Islam sebagai pedang yang selalu menebas.
Orang-orang Islam yang masuk ke Nusantara, meskipun memiliki pengetahuan tentang jaringan niaga dunia, tidak serta-merta memanfaatkan potensi kekuatannya di bidang ekonomi untuk dumeh dan mencetuskan sebuah institusi kekuasaan baru. Konsisten dengan substansi nilai agama yang dikandungnya, kedatangan para Alawyin di Nusantara tidak disertai dengan ambisi membangun dinasti-dinasti kekuasaan yang pada akhirnya hanya seperti mengganti macan dengan buaya.
Seiring dengan kekuasaan Islam yang terus melebar, mulai dari daulah Muawiyah yang mencengkram hingga ke Andalusia dan daulah Abassiyah yang kakinya menginjak dari Afrika hingga ke gerbang Asia Timur, orang-orang Islam yang telah settle di Nusantara seakan membiarkan saja dirinya tetap dipayungi oleh raja-raja Siwa-Budha. Tidak ada secuilpun catatan atau peninggalan yang menyebutkan agama Islam datang melalui ekspedisi militer untuk menembus pemukiman-pemukiman Siwa dan Budha di Nusantara. Malahan, berkat diketemukannya situs makam di tengah ibukota Majapahit, yang berkisar dari abad ke-14 hingga 16, justru menandakan bahwa ramainya orang-orang Islam tidak lantas membuat dirinya tampil superior dan membangun basis-basis militer sebagai perisai kehadirannya di Nusantara.
Dengan bentuk huruf sedikit kaku, pada nisan-nisan makam di petilasan Troloyo terpahat tulisan Arab yang mengambil lafal dari bacaan doa, kalimah thayibah dan petikan ayat-ayat Al Quran –sehingga keadaannya pun mirip dengan prasasti–. Isinya pun bukan tentang data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih bersifat dakwah, antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27. Maka, dengan sendirinya, nisan-nisan itu juga menyiratkan, bahwa pada masa pemerintahan Hindu-Budha berkuasa di Majapahit orang-orang Islam telah banyak yang bermukim di sekitar kotaraja.
Sejak awal kedatangannya, Islam di Nusantara hanya merasuk secara berangsur-angsur tanpa disertai gerakan yang konfrontatif. Potensi kekuatan orang-orang Islam di bidang ekonomi (jaringan niaga) tidak pula dimanfaatkan sebagai alat politik yang vis a vis di hadapan kedaulatan dinasti-dinasti Hindu dan Budha di Nusantara. Bahkan, di tengah depresi ekonomi yang melanda Majapahit, kemunculan Maulana Malik Ibrahim sebagai tokoh Islam, hanya berjalan dalam irama kultural yang jauh dari hiruk-pikuk politik dan kemewahan emporium.
Malik Ibrahim, pengembara keturunan Hadramaut yang datang dari negri Atas Angin, sama sekali tidak menancapkan tonggak-tonggak pengaruhnya ke dalam formalitas yang berperan seperti Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan. Potensi ekonomi dan jaringan niaga Islam yang sudah tentu diketahuinya tidak membuat kepalanya mendongak di hadapan raja Majapahit. Demikian pula dengan keturunannya, Ali Rahmatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel dan menjadi tetua Walisongo, sampai akhir hayatnya tidak menginginkan Islam muncul sebagai lembaga kekuasaan yang menyertakan invasi militer dan ekspansi politik.
Akan tetapi, setelah keluar Perjanjian Tordesillas yang disetujui pada 7 Juni 1494 oleh Portugis dan Spanyol setelah kejatuhan muslim Andalusia, sedangkan perjanjian diantara dua kerajaan dari Holy Roman Empire itu juga berjalan atas restu dari Paus dengan dekrit berjudul Inter caetera Devinae (“Keputusan Ilahi”), orang-orang Islam di Jawa akhirnya “keluar” mendirikan Kesultanan Demak sebagai lembaga otoritas Islam di Timur. Dan, Portugis yang telah berhasil njajah segara dengan melakukan pendudukan atas Goa (di India) dan Malaka, menjadi musuh utama sekaligus target pertama yang kemudian digebrak oleh Demak.[]wwd.
Oleh: Dwipa Aksara
http://dwipaaksara.wordpress.com