“Bray, apa sih Islam Nusantara?”
“Itu, menutupi rasa rendah diri.”
“Katanya, ini Islam corak orisinil negeri kita?”
“Ya, menurut si pembuat istilah.”
“Katanya, ini Islam gak pake radikal, Bray?”
“Ya radikal juga, terutama dalam MENGKLAIM sebagai kelompok “paling orisinil”.”
“Gimana sih Bray corak Islam Nusantara?”
“Intinya gini, blangkon tak usah diganti kopiah. Sarung tak usah diganti gamis. Saya-Anda tak usah diganti Ana-Ente. Saudara-saudari, tak usah diganti ikhwan-akhwat.”
“Berarti pejabat Muslim harus pake blangkon ya? Wanita Muslim mesti pake sewek/jarik? Mobil diganti kuda? Musik diganti gending. Hape diganti kentongan? Gudang-gudang dibongkar jadi lumbung? Apa begitu?”
“Malah istilah ISLAM harus diganti NRIMO atau PASRAH. Jadi NRIMO NUSANTARA.”
“Lha, Wali Songo kan pakai sorban, pelihara jenggot, pake gamis, Bray?”
“Mungkin, teladan mereka para dalang seni wayang.”
“Jujur Bray, sbg awam ana bingung. Ada aja hal kayak begini? Bikin pusing.”
“Biarin aja. Diemin. Nanti mereka akan diem juga. Ini cuma soal marketing saja. Biasa rame-rame sebentar. Nanti juga ngilang.”