Bertemunya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Allah di atas langit ke tujuh dalam peristiwa Isra’ Mi’raj adalah suatu kebenaran. Hanya saja Nabi tidak melihat Allah disebabkan hijab cahaya yang menghalanginya antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah (Wafat: 792H) dalam Syarah ath-Thahawiyah-nya.
Dalam peristiwa ini, beliau berulang kali menemui Allah bagi menerima pensyari’atan shalat lima waktu sehari semalam. Naiknya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertemu Allah di langit menjadi satu dalil dan penjelasan akan shahihnya i’tiqad Ahli Sunnah Wal-Jama’ah bahwa Allah itu istiwa’ di atas langit di atas ‘Arsy-Nya.
Kata Imam asy-Syafi’i rahimahullah (Wafat: 204H), “Sunnah yang aku anut adalah sebagaimana yang dipegang (dianuti) oleh Sufyan at-Tsauri, Imam Malik bin Anas dan selain keduanya yang merupakan pengakuan dengan syahadah (kesaksian) bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah (denganbenar) melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, dan sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya. Dia dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki, dan turun ke langit duniasebagaimana yang Dia kehendaki.” (Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, no. 443)
Apa yang diikrarkan oleh Imam asy-Syafi’i ini bertepatan dengan pegangan para ulama Ahli Sunnah Wal-Jama’ah lainnya bermula dari para sahabat, para ulama tabi’in, dan seterusnya termasuklah Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang menjadi ikutan kelompok mahzab al-Asya’irah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam al-Qur’an sekurang-kurangnya pada tujuh ayat bahwa Dia bersemayam (istiwa’) di atas langit di atas ‘Arsy-Nya. Antaranya dalam Surah al-A’raaf ayat 54, Surah Yunus ayat 3, Surah ar-Ra’d ayat 2, Surah Thaha ayat 5, al-Furqan ayat 59, as-Sajdahayat 4, dan al-Hadid ayat 4.
Juga sebagaimana hadits daripada Mu’awiyah bin al-Hakam ketika mana Rasulullah menyoal seorang hamba wanita yang menggembala kambing miliknya (milik Mu’awiyah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya kepadanya:“Di mana Allah?”
Hamba wanita tersebut menjawab, “Di langit.”
Rasulullah bertanya, “Siapa aku?”
Wanita itu menjawab, “Engkau adalah utusan Allah.”
Maka Nabi bersabda, “Merdekakanlah dia, karena dia adalah wanita beriman.” (Shahih Muslim, no. 537)
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i di dalam kitab al-‘Umm juz 5 halaman 298. Mengenai periwayatan Imam Asy-Syafi’i tersebut Imam Abu Utsman ash-Shobuni menyatakan di dalam kitabnya ‘Aqidatus Salaf Ashaabul Hadits: “Asy-Syafi’i rahimahullah berhujjah terhadap para penentang yang menyatakan bolehnya memerdekakan hamba kafir dengan khabar (hadits) ini karena keyakinan beliau bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas makhluk-makhluk-Nya, dan di atas tujuh langit di atas ‘Arasy-Nya sebagaimana keyakinan kaum muslimin Ahli Sunnah wal Jama’ah sama ada yang terdahulu ataupun yang terkemudian, karena beliau (asy-Syafi’i) tidaklah meriwayatkan khabar (hadits) yang sahih kemudian tidak berpendapat dengan (hadits) tersebut. Telah mengkhabarkan kepada kami al-Hakim Abu ‘Abdillah rahimahullah (dia berkata) telah mengkhabarkan
kepada kami Abul Walid Hasan bin Muhammad al-Faqih (dia berkata) telah memberitakan kepada kami Ibrahim bin Mahmud dia berkata aku mendengar ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: Aku mendengar asy-Syafi’i rahimahullah berkata: Sekiranya kamu melihat aku mengucapkan suatu ucapan sedangkan (hadits) yang sahih daripada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertentangan dengannya, maka ketahuilah bahwasanya akalku telah hilang.
Abu Utsman ash-Shobuni adalah salah seorang ulama’ bermazhab asy-Syafi’i (sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafiz adz-Dzahabi dalam Siyaar A’lamin Nubalaa.
Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata: “Siapa yang tidak menetapkan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya dan ber-istiwa’ di atas tujuh langit-Nya, maka dia kafir kepada Rabb-nya, halal darahnya, perlu diminta kepadanya agar bertaubat. Kalau dia bertaubat, maka itu yang diharapkan. Kalau tidak, maka lehernya dipenggal dan dibuang jasadnya ke salah satu tempat sampah, sehingga kaum Muslimin dan kafir mu’ahhad tidak emrasa terganggu olehnya disebabkan bau bangkainya, dan hartanya adalah fa’i, serta tidak seorangpun dari kaum muslimin yang mewarisinya. Sebab seorang Muslim tidak-lah mewarisi dari orang yang kafir, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ
“Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi seorang Muslim.” (Shahih al-Bukhari, no. 6764. Muslim, no. 1614)
Dari hadits ini jugalah Imam ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi rahimahullah (Wafat: 280H) ketika membantah kelompok jahmiyah, beliau membawakan satu riwayat dari Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak di mana ketika Ibnul Mubarak ditanya, “Bagaimana kita mengenali Rabb (Tuhan) kita?”
Maka Ibnul Mubarak rahimahullah (Wafat: 181H) pun menjawab:
بأنه فوق السماء السابعة على العرش بائن من خلقه
“Bahwasanya Allah berada tinggi di atas langit yang ketujuh di atas ‘Arsy terpisah dari makhluk-Nya.” (Ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, m/s. 47 –Maktabah Syamilah)
Selain itu, dalam lembaran yang sama, Imam ad-Darimi juga turut membantah kelompok sesat yang mendakwa Allah itu di mana-mana. Beliau menyatakan:
“Dan sabda beliau (Shallallahu ‘alaihi wa Sallam), “Dimana Allah?” sebenarnya telah membongkar kebodohan orang yang mengatakan bahwa Allah ada di mana-mana. Karena sekiranya sesuatu itu ada pada semua tempat maka adalah mustahil untuk dikatakan (atau ditanyakan) dengan pertanyaan, “Di mana dia?” Dan tidak dikatakan “di mana” kecuali pada sesuatu yang berada pada tempat tertentu.
Sekiranya Allah ada di mana-mana sebagaimana yang disangka oleh orang-orang yang menyimpang tersebut, maka pasti Rasulullah akan mengingkari ucapan hamba wanita tersebut. Tapi yang berlaku adalah sebaliknya di mana Rasulullah justeru membenarkannya dan mengakui keimanan hamba wanita tersebut.” (Ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, m/s. 47 – Maktabah Syamilah)
Maka, sebagai ahli sunnah wal-jama’ah kita wajib menerima dan memahami khabar tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana datangnya tanpa mempersoalkan bagaimana, tanpa menyerupakan atau menyamakan dengan makhluk, dan tanpa ta’thil (menafikan), tahrif (mengubah maksud), atau menyelewengkan maknanya. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Allah itu istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya di atas langit, maka kita terima sebagaimana dikhabarkan tanpa mempersoal atau menyerupakan-Nya dengan makhluk. Ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Surah asy-Syuura, 42: 11)
Ash-habul hadits/ (para salafush-sholeh, ahli hadits, atau ahlus sunnah wal-jama’ah) meyakini dan mempersaksikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala istiwa’ di atas langit-Nya yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan dalam surah Yunus:
“Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa’ di atas ‘Arsy. Dia mengatur seluruh urusan. Tidak ada satu pun yang dapat memberikan syafa’at melainkan setelah (mendapat) izin-Nya.” (Surah Yunus, 10: 3)
Dan firman Allah Ta’ala dalam surah ar-Ra’d:
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Allah yang telah mengangkat langit-langit tanpa tiang yang dapat kalian saksikan, kemudian Dia istiwa’ di atas ‘Arsy.” (Surah ar-Ra’d, 13: 2)
Dan dalam firman-Nya dalam surah al-Furqon:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا
“Kemudian ar-Rahman (Allah yang maha Pengasih) istiwa’ di atas ‘Arsy. Maka tanyakanlah tentang Dia (Allah) kepada yang dapat mengkhabarkan (yaitu Muhammad).” (Surah al-Furqon, 25: 59)
Dan firman Allah Ta’ala dalam surah as-Sajdah:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Allah yang telah menciptakan langit-langit dan bumi dan yang ada diantara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia istiwa’ di atas ‘Arsy.” (Surah as-Sajdah, 32: 4)
Dan firman Allah Ta’ala:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
“Hanya kepada-Nya naik kalimat (perkataan) yang baik.” (Surah Fathir, 35: 10)
Dan firman Allah Ta’ala:
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ
“Dia mengatur seluruh urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan itu) naik kepada-Nya.” (Surah as-Sajdah, 32: 5)
Dan firman Allah Ta’ala:
ءَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ
“Adakah kalian merasa aman terhadap Allah yang berada di atas langit bahwa Dia tidak membuat kalian ditelan bumi.” (Surah al-Mulk, 67: 16)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhabarkan tentang Fir’aun yang terlaknat bahwa dia berkata kepada Haamaan:
ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى
وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
“Buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat mencapai pintu-pintu, iaitu pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat kepada tuhan yang disembah oleh Musa. Sesungguhnya aku beranggapan Musa itu berdusta.” (Surah Mu’min, 40: 36-37)
Sesungguhnya Fir’aun mengucapkan hal tersebut karena dia mendengar Musa ‘alaihis Salam menyebutkan bahwa Rabb-nya di atas langit. Tidakkah engkau melihat kepada firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya aku beranggapan Musa itu berdusta.” Yaitu pada perkataan Nabi Musa bahwa di langit ada Rabb yang disembah.
Ulama umat dan para imam dari kalangan salaf rahimahullah tidak berselisih bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya dan ‘Arsy-Nya di atas langit. Mereka menetapkan perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan beriman dengannya. Mereka membenarkan perkara yang telah dikhabarkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka menetapkan secara mutlak perkara yang telah ditetapkan-Nya secara mutlak, bahwa Allah Ta’ala istiwa’ di atas ‘Arsy. Mereka memperlakukan bersesuaian zahirnya, dan mereka mengembalikan ilmunya kepada Allah, dan mengatakan:
آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Kami mengimani nya (al-Qur’an) semuanya dari sisi Rabb kami. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (Surah Ali ‘Imran, 3: 7)