Saat itu aku berada dalam sebuah musholla kecil ketika mataku tergoda untuk mengamati wanita bermukena putih sederhana. Melihat sosoknya, tak jauh berbeda usia denganku. Sontak, rasa ini, merasa aku sungguh jauh berbeda dengannya. Aku mencoba bertanya pada diriku sendiri, bagaimana dengan sholatku? Apakah hanya penggugur kewajiban, hingga melalaikan waktunya dengan berbagai alasan? Ataukah sekedar melafadzkan bacaannya tanpa menelusup ke jiwa dalam memahami artinya? Lantas mengapa aku sendiri belum merasakan nikmatnya sholat? Padahal mungkin lidah ini bisa membedakan menikmati hidangan di hotel berbintang lima dengan nasi bungkus seadanya? Untuk santapan jiwa, sepertinya aku hanya memberikan nasi bungkus itu, seadanya, sekedarnya.
Saat itu aku seperti sedang melihat perempuan itu menikmati hidangan mewah yang lezat, yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Pengamatan ini begitu saja menyimpulkan hal itu padaku. Hidangan yang mewah nan lezat. Yang ingin aku pula menikmatinya.
“Yaa Bilal, arihna bi shalaah.” Demikian kata Rasulullah kepada Bilal, muadzin pertama umat Muslim. Ucapan itu diriwayatkan dalam hadits Abu Daud dan Ahmad, artinya: ‘Wahai Bilal, Istirahatkan kami dengan solat.’ Rasulullah mengistirahatkan diri dengan sholatnya. Hidangan mewah ini yang merupakan peninggi bangunan jiwa seperti yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam hadits no 2616 yang demikian, Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah solat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah. Hadits ini berkedudukan shahih. Rasulullah SAW juga menggambarkan sholat sebagai kesejukan dan kesenangan hatinya seperti yang terdapat dalam hadits riwayat Ahmad, An Nasa’i dari Anas bin Malik ra berikut: “Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain (sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) sholat.”
Sholat, yang setiap hari kita lakukan bukan hanya pekerjaan ragawi, namun lebih dalam dari sekedar gerakan. Efeknya menelusup jauh ke dalam relung jiwa yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang khusyuk. “Dan (sholat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (Q.S. Al Baqarah: 45). Kemudian, makna kekhusyukan itu dijelaskan pula pada ayat setelahnya,
“(yaitu) mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada tuhan-Nya.” (QS. Al Baqarah:46)
Dengan keyakinan akan bertemu dengan Dzat yang Maha Agung, kita akan melaksanakan sholat dengan sebaik mungkin. Dzat yang sangat kita takuti sekaligus sangat kita harapkan bisa memberikan pertolongan bagi kita dalam menghadapi kehidupan. Itulah mengapa Al Hasan ra gemetar setelah wudlu, ketika ditanya, ia berkata,”Tahukah kamu, di depan siapa aku berdiri?”
Ujungnya, kita akan mengingat tentang kematian. Bagi orang yang sakit, atau sudah divonis bahwa kematian sudah menunggunya, mungkin ia bisa merasakan nikmatnya jantung yang berdetak hingga pelan-pelan ia berpasrah ketika semua akan hilang begitu saja. Kesadarannya lebih nyata, tabir penghalang tampak lebih tipis sehingga ia bisa lebih memikirkan akhiratnya.
Lalu, bagaimana dengan insan yang masih sangat kuat dan sehat? Seringkali ia jarang merasakan denyut nadinya sendiri, atau jika merasakannya hanya sebatas kontrol kesehatan yang rutin dilakukannya, dan mungkin tidak terlintas untuk memikirkan bahwa denyut itu bisa saja seketika berhenti. Ini memang tabiat manusiawi kita. Manusia yang pelupa cenderung lebih mengingat momentum yang berkesan, momentum yang menentukan, momentum kemenangan, kebahagiaan, kesedihan atau detik-detik terakhir yang akan hilang. Selebihnya, hanya sebuah rutinitas atau keseharian yang biasa saja. Dan Allah tentu saja yang lebih memahami kita. Ya, Allah yang lebih tahu tentang kebutuhan kita. Hal itu, Ia sampaikan dalam ayat cinta-Nya.
Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus Maha Mengetahui .(QS. Al Mulku:14).
Itulah salah satu hikmah diperintahkannya sholat kepada khalifah bumi ini. Dan mengapa pula sholat menjadi tolok ukur amal yang pertama dihitung kelak. Lalu ketika masalah datang, apa yang kita ingat pertama kali untuk mendapatkan pertolongan? Bisakah kita meneladani Rasulullah SAW dan para sahabatnya, ketika sholat sudah menjadi bagian terpenting dalam hidup mereka? Bahkan saat berlaga di medan perangpun, dalam suasana kejiwaan yang mencekam, mereka melakukan solat Khauf. Mengapa mereka melakukannya sedangkan menyelamatkan nyawa atau meraih kemenangan sudah tentu menjadi fokus utama bagi pasukan manapun yang berperang. Hanya, perasaan ‘butuh’ yang akhirnya mendominasi. Pasukan butuh kemenangan, butuh menyelamatkan diri. Tetapi, ketika kesadaran akan kebutuhan yang haqiqi itu sudah mengkristal dalam sanubari, apalah lagi yang bisa menghalangi pelakunya. Toh kita memang secara naluri digerakkan oleh apa yang disebut kebutuhan. Dan proses mengenali kebutuhan itu yang tiap orang berbeda laku, bukan karena kita memang beragam tapi karena kesadaran spiritual tiap orang tidaklah sama. Padahal, kesadaran spiritual yang kemudian menuju kepada pentauhidan Allah lah yang akan menunjukkan kita jalan yang lurus.
Ingatlah kembali tentang kisah Khubaib bin Addi. Hukuman mati untuknya sengaja dipertontonkan di muka umum oleh kaum kafir Quraisy. Hal itu dilakukan untuk membalas dendam kepada Rasulullah SAW dan melampiaskan kekalahan Perang Badar. Saat itu, ketika Khubaib sampai di tiang salib, dengan mantap ia berkata,”Jika kalian ijinkan, saya ingin sholat dua rakaat sebelum saya kalian bunuh.”
Setelah Khubaib menyempurnakan sholatnya, ia bangkit dan berkata,”Demi Allah, seandainya kalian tidak akan menuduhku melambat-lambatkan waktu karena takut mati, niscaya aku akan sholat lebih banyak lagi.” Demikianlah seorang Khubaib mengakhiri hayatnya. Sejarah mencatat bahwa ia ditawari kebebasannya dengan Rasulullah sebagai tebusan nyawanya, namun ia menolak mentah-mentah. Kecintaannya pada Rasulullah SAW dan sudah tentu pula kepada Islam telah mengkristalkan jiwanya.
Sholat telah menjadi hal yang sangat penting bagi Khubaib, ia menjadikannya sebagai alat menuju kebebasan jiwa, ketakutan apa lagi yang bisa hinggap pada jiwa yang merdeka. Kesakitan apa lagi yang menderanya padahal kerinduannya atas kemurahan tuhannya ada di depan mata. Khubaib bersegera menuju kepada Allah atas kesusahan yang menimpanya. Dengan begitu, berarti ia bersegera menuju rahmat Allah.
Itulah kuncinya, menuju rahmat Allah sehingga solat dapat menjadi penolong kita. Demikianlah makna yang difirmankan Allah dalam Q.S. Al Baqarah: 45 yang kemudian terdapat pula pada Q.S. Al Baqarah:153.
“Dan mintalah pertolongan Allah dengan sabar dan solat.”
Hudzaifah r.a. dia berkata, “Apabila Rasulullah SAW mengalami kesulitan maka beliau segera melaksanakan sholat.” Abu Darda ra pun berujar,”Jika terjadi angin topan, maka Rasulullah SAW segera masuk ke masjid dan tidak akan keluar sehingga angin itu berhenti. Begitu juga jika terjadi gerhana matahari dan bulan, maka Rasulullah SAW segera melaksanakan sholat.”
Kedekatan dengan sholat juga dihadirkan oleh salah seorang sahabat Rasul yang lain, yakni Ibnu Abbas. Ia melaksanakan sholat ketika mendengar bahwa saudara laki-lakinya wafat. Ia solat dua rakaat setelah turun dari untanya dan berdoa pada tasyahud-nya sebagaimana surat Al Baqarah :45.
Solat begitu istimewa. Ia adalah amal pertama yang dihisab saat yaumul hisab kelak. Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman:
Aku membagi sholat dua bagian antara Aku dengan hamba-Ku. Buat hamba-Ku, apa yang dia minta. Bila dia membaca, “Alhamdulillahirabbil ‘alamin”, Allah berfirman, Hamba-Ku telah memujiku. Bila ia membaca “ Arrahmanir Rahim”, Allah berfirman, Hamba-Ku menyanjung-Ku. Bila ia mengatakan “Maliki yaumiddin.” Allah berfirman, Hamba-Ku mengagungkanku. Bila ia membaca, “Iyyakana’budu wa iyya ka nasta’iin”. Allah berfirman, Ini antara aku dan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang ia pinta. Bila ia membaca, “Ihdinas shiraatal mustaqiim. Siraatal ladziina an’amta alaihim ghairil maghdhuu bi’alaihim wa laa dhdhaalliin.” Allah berfirman, Ini untuk hamba-Ku dan buat hamba-Ku, apa yang dia pinta.” (HR Muslim).
Subhanallah, indah sekali cinta Allah kepada kita, yang sedikit sekali kita sadari. Allah menghadirkan momentum bagi kita untuk menuju kepada-Nya, menumpahkan asa, serta memohon kepada-Nya karena manusia pada dasarnya lemah dan membutuhkan pertolongan. Lalu, apa lagi alasan bagi kita untuk menyia-nyiakan momentum pertolongan dari Allah ini. Berfikiran sempit bahwa beribadah rutin sungguh menyulitkan kegiatan kita sehari-hari, terganggu dengan adzan atau menunda waktu sholat. Padahal kita tidak ingin keberuntungan kita tertunda bukan? Kita pun tidak ingin pertolongan kita tertunda atau santap makan siang kesukaan kita terlambat datang.
Dan puncak kenikmatan itu adalah ketika kita menganggap semua ini akan berakhir. Ketika solat itu adalah solat terakhir kita. Rasulullah SAW pernah didatani seorang laki-laki. Ia berkata: “Ya Rasulullah, ajarilah aku tetapi yang ringkas saja.” Lantas beliau bersabda, “Jika kamu berdiri untuk melaksanakan solat, maka sholatlah seperti sholatnya orang yang akan berpisah (meninggal).” (HR. Ibnu Majah). Demikian pula dengan ungkapan Hatim Al Asham ra. Ia mengatakan, “Ketika sholat, aku menjadikan Ka’bah seolah berada di hadapanku, jembatan As Shirath terletak di bawah kakiku, syurga di samping kananku, dan neraka di samping kiriku, serta malaikat tepat di belakangku. Aku menganggap sholatku ini sebagai sholat yang terakhir.”
Rasulullah SAW, ketika hendak menghadap kepada Allah di penghujung usianya, beliau mewasiatkan sholat untuk umatnya. Dan wajib bagi kita untuk melaksanakan wasiat, apalagi jika itu datang dari Rasulullah SAW. Dari Ali ra, ia berkata: “Kalimat terakhir dari Rasulullah SAW adalah, Sholat. Sholat. Dan Orang-orang yang ada dalam kekuasaan kalian.” Sementara, Anas bin Malik berkata,” Pesan terakhir dari Rasulullah SAW di saat beliau mengalami sakaratul maut adalah, sholat, sholat. Dan bertakwalah kalian kepada Allah atas orang-orang yang berada dalam kekuasaan kalian.”
Maka, marilah memperbaiki sholat kita, marilah menikmatinya, rehatlah sejenak. Bukankah kita senang dengan libur pada hari kerja? Ketika kita bisa berkumpul dengan keluarga dengan liburan itu? Kini, saatnya untuk libur sejenak ketika adzan berkumandang.
__________________________________________________________
Maraji’ utama: Buku Sebelum Jauh-jauh mencari Solusi Perbaiki Solat Kita karya Sulthan Hadi