Iya, Aku Anak Pesantren Kilat

“Apaan, baru juga pesantren kilat, baru juga halaqahan, sudah mau berdakwah? Saya, yang dari SD sampai SMA di pesantren, ‘santai-santai’ saja.” Begitu Ustadz Salim A Fillah menceritakan pengalamannya dalam satu kajian.

“Al-Qur’an pernah merekam,” lanjut beliau, “Seseorang yang hanya pesantren kilat –sebut saja begitu, kemuliaannya setara dengan yang pesantrenan, bahkan lebih.”

Surat Ya Siin menyebut orang ini sebagai “Wa jaaa a min aqsha al-madiinati rajuluyyas’aa”; seorang laki-laki yang datang dari penjuru kota.

Romawi, dimana latar tempat kisah ini berawal, pada masa itu terbagi berkasta-kasta: Kaum Patricia (kaum bangsawan) dan Plebeya (rakyat biasa).

Diceritakan bahwa… pada masa itu, di tempat itu, telah di utus dua orang Rasul –sebut saja anak pesantren- untuk berdakwah, namun mereka didustakan. Lalu Allah tambahkan satu lagi Rasul; sehingga tiga utusan Allah berdakwah di antara mereka. Maka ketiga utusan itu berkata, “Inna ilaykum lamursalun; Sungguh kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.”

Penolakan yang khas dari bangsa Romawi pada saat itu adalah, “Innaa tathayyarnaa bikum; Sesungguhnya kami merasa sial akan kedatangan kalian.”

Dakwah mereka ‘Stuck’. Dakwah mereka mandeg. Dakwah mereka tidak berjalan. Lalu datanglah anak halaqahan, anak pesantren kilat dari penjuru kota. Ia mendakwahkan intisari dari apa-apa yang diserukan utusan-utusan Allah itu dengan bahasa yang sederhana, dengan bahasa yang dimengerti kaumnya. Ia berkata, “Yaa qoumittabi’uul mursaliin…; wahai kaumku, ikutilah utusan-utusan Allah itu. Ikutilah orang-orang yang tak meminta imbalan daripadamu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.

Tak ada alasan bagiku untuk tidak mengimani utusan-utusan itu; tak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah Tuhan yang menciptakan aku. Karena hanya kepadaNyalah aku akan dikembalikan. Tak ada alasan pula bagiku untuk menyembah tuhan-tuhan selain Dia. Jika Dia, Ar-Rahmaan menghendakiku suatu bencana, pasti mereka-mereka; dewa-dewa kalian (Jupiter, Uranus, Saturnus, Neptunus, dll), yang kalian pasang patung-patungnya, tidak akan membawa pertolongan apapun terhadapku, mereka takkan dapat menyelamatkanku.”

Mulai terdengar desas-desus dari Kaum Plebeya, para rakyat Romawi bahwa, “Benar dia, orang ini benar.”

Kalimat-kalimat yang ia katakan; kalimat yang menjadikan laki-laki-yang-datang-dari-penjuru-kota menjadi seorang yang begitu menemukan Islam, dia tergerak untuk menyampaikannya kepada sebanyak-banyak orang. Ia tergerak untuk menyampaikan Islam yang diketahuinya ini, yang dipahaminya ini dengan kemampuannya, dengan bahasanya, dengan begitu indahnya.

Tentu, jalan menujuNya adalah jalan yang terjal. Ibn Qoyyim pernah berkata, “Jalan menuju Allah adalah jalan dimana Adam kelelahan. Nuh mengeluh. Ibrahim dilempar ke dalam api. Ismail dibentangkan untuk disembelih. Yusuf dijual dengan harga murah dan dipenjara selama beberapa tahun. Zakaria di gergaji. Yahya disembelih. Ayub menderita penyakit. Daud menangis melebihi kadar semestinya. Isa berjalan sendirian. Dan Muhammad Saw. mendapat kefakiran dan berbagai gangguan.”

Laki-laki-yang-datang-dari-penjuru-kota ini mendapatkan akibat dari keimanannya; ujian. Kaum Patricia, yang tak ingin ada gejolak sosial di sana kemudian memerintahkan tentara bayaran untuk menyiksa laki-laki ini.

Dikisahkan sampai perutnya hancur, kemudian ditinggalkan dalam keadaan sekarat, lalu datanglah utusan-utusan Allah itu menghampirinya. Mereka mentakjubi lelaki ini, mengakui bahwa ia memiliki kedudukan yang tinggi karena keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran, menyampaikan islam, menyampaikan apa yang diyakini; mencintai untuk kaumnya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, sehingga Rasul-rasul itu mengakui bahwa laki-laki ini lebih utama daripada mereka.

Di akhir hidupnya, laki-laki ini sambil tersenyum berkata kepada para Rasul-rasul itu, “Inni aamantu birabbikum fasma’uun; Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu, maka dengarlah, saksikanlah pengakuan keimananku.”

Lalu dikatakan kepadanya dari malaikat, “Masuklah ke Surga.” ia lantas berkata, “Aduhai… Alangkah baiknya jika sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.”

Begitulah akhir kisahnya, yang pesantren kilat masuk Surga karena berdakwah; menyampaikan kebenaran yang ia ketahui, dengan cara yang ia pahami. Menyampaikan walau se-ayat sepenuh kemampuan.