Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in Mencakup Makna Ibadah

Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in Mencakup Makna-makna Al-Qur’an, Ibadah dan Isti’anah

Rahasia penciptaan, perintah, kitab-kitab, syariat, pahala dan siksa terpusat pada dua penggal kalimat ini, yang sekaligus merupakan inti ubudiyah dan tauhid. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Allah menurunkan seratus empat kitab, yang makna-maknanya terhimpun dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Makna-makna tiga kitab ini terhimpun di dalam Al-Qur’an. Makna-makna Al-Qur’an terhimpun dalam surat-surat yang pendek. Makna-makna dalam surat-surat yang pendek terhimpun dalam surat Al-Fatihah. Makna-makna Al-Fatihah terhimpun di dalam iyyaka na’budu wa iyya-ka nasta’in. Dua kalimat ini dibagi antara milik Allah dan milik hamba-Nya. Separoh bagi Allah, yaitu iyyaka na’budu, dan separoh lagi bagi hamba-Nya, yaitu iyyaka nasta’in.

Ibadah mengandung dua dasar: Cinta dan penyembahan. Menyembah di sini artinya, merendahkan diri dan tunduk. Siapa yang mengaku cinta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa yang tunduk namun tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah. Dia disebut orang yang menyembah jika cinta dan tunduk. Karena itu orangorang yang mengingkari cinta hamba terhadap Allah adalah orang-orang yang mengingkari hakikat ubudiyah dan sekaligus mengingkari keberadaan Allah sebagai Dzat yang mereka cinta, yang berarti mereka juga mengingkari keberadaan Allah sebagai Ilah (sesembahan), sekalipun mereka mengakui Allah sebagai penguasa semesta alam dan pencipta-nya. Inilah tauhid mereka yang terbatas pada tauhid Rububiyah, seperti pengakuan bangsa Arab, tapi mereka tidak keluar dari syirik, sebagaimanafirman Allah,

“Dan, sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ niscaya mereka menjawab, ‘Allah’.” (Az-Zumar; 38).

Isti’anah (memohon pertolongan) menghimpun dua dasar: Kepercayaan terhadap Allah dan penyandaran kepada-Nya. Adakalanya seorang hamba menaruh kepercayaan terhadap seseorang, tapi dia tidak menyandarkan semua urusan kepadanya, karena dia merasa tidak membutuhkan dirinya. Atau adakalanya seseorang menyandarkan berbagai urusan kepada seseorang, padahal sebenarnya dia tidak percaya kepadanya, karena dia merasa membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang memenuhi kebutuhannya. Karena itu dia bersandar kepadanya.

Tawakal merupakan makna yang juga cocok dengan dua dasar ini, kepercayaan dan penyandaran, yang sekaligus merupakan hakikat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Dua dasar ini, tawakal dan ibadah disebut-kan di beberapa tempat dalam Al-Qur’an, yang keduanya disebutkan secaraberurutan, di antaranya,

“Dan, kepunyaan Allahlah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada-Nyalah dikembalikan semua urusan, maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” {Hud: 123).

“Ibadah” didahulukan daripada “Isti’anah” di dalam Al-Fatihah merupakan gambaran didahulukannya tujuan daripada sarana. Hal ini bisa dilihat dari beberapa sebab:

  1. “Ibadah” merupakan tujuan penciptaan hamba, sedangkan “Isti’anah” merupakan sarana untuk dapat melaksanakan “Ibadah” itu.
  2. Iyyaka na’budu berkaitan dengan Uluhiyah-Nya dan asma “Allah”. Sedangkan iyyaka nasta’in berkaitan dengan Rububiyah-Nya dan asma “Ar-Rabb”. Karena itu iyyaka na’budu didahulukan daripada iyyaka nasta’in,sebagaimana asma Allah yang didahulukan daripada asma Ar- Rabb di awal Al-Fatihah.
  3. Iyyaka na’budu merupakan bagian Allah dan juga merupakan pujian terhadap Allah, karena memang Dia layak menerimanya, sedangkan iyyaka nasta’in merupakan bagian hamba, begitu pula ihdinash-shirath-almustaqim hingga akhir surat.
  4. “Ibadah” secara total mencakup “Isti’anah” dan tidak bisa dibalik. Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang sempurna adalah orang yang memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak bisa dibalik. Sebab orang yang dikuasai berbagai macam tujuan pribadi dansyahwatnya, juga bisa memohon pertolongan kepada-Nya, hanya karena ingin memuaskan nafsunya. Karena itu ibadah harus lebih sempurna. Berarti “Isti’anah” merupakan bagian dari “Ibadah” dan tidak bisa dibalik, sebab “Isti’anah” merupakan permohonan dari-Nya, sedang “Ibadah” merupakan permohonan bagi-Nya.
  5. “Ibadah” hanya dilakukan orang yang ikhlas, sedangkan “Isti’anah” bisa dilakukan orang yang ikhlas dan yang tidak ikhlas.
  6. “Ibadah” merupakan hak Allah yang diwajibkan kepada hamba, sedangkan “Isti’anah” merupakan permohonan pertolongan untuk dapat melaksanakan “Ibadah”.
  7. “Ibadah” merupakan gambaran syukur terhadap nikmat yang dilimpahkan kepadamu, dan Allah suka untuk disyukuri. Pemberian pertolongan merupakan taufik Allah yang diberikan kepadamu. Jika engkau komitmen dalam beribadah kepada-Nya dan ibadahmu lebih sempurna, maka pertolongan Allah yang diberikan kepadamu juga lebih besar.
  8. Iyyaka na’budu merupakan hak Allah dan iyyaka nasta’in merupakan kewajiban Allah. Hak-Nya harus didahulukan daripada kewajiban-Nya. Sebab hak Allah berkaitan dengan cinta dan ridha-Nya, sedangkan kewajiban-Nya berkaitan dengan kehendak-Nya. Apa yang bergantungkepada cinta-Nya harus lebih sempurna daripada apa yang bergantungkepada kehendak-Nya. Semua yang ada di alam, para malaikat maupun syetan, orang-orang Mukmin maupun orang-orang kafir, orang yang taat maupun orang yang durhaka, semuanya bergantung kepada kehendak-Nya. Apa yang bergantung kepada cinta-Nya adalah ketaatandan iman mereka. Orang-orang kafir ada dalam kehendak-Nya dan orang-orang Mukmin ada dalam cinta-Nya.

Dari beberapa rahasia ini dapat diketahui secara jelas hikmah didahulukannya iyyaka na’budu daripada iyyaka nasta’in.