Imam Hasan Al-Banna rahimahullah pernah mengingatkan kepada kader Ikhwan bahwa kewajiban-kewajiban (seorang da’iyah) lebih banyak daripada waktu yang mereka miliki.
Karena itu, beramal adalah sebuah keniscayaan bagi kader Ikhwan. Apalagi posisi amal dalam Islam merupakan tuntutan keimanan bahkan sebagiannya merupakan syarat keimanan dan pembuktian komitmennya pada Islam.
Begitu juga Imam Al-Banna rahimahullah memperingatkan bahaya banyak bicara sedikit amal serta banyak berdebat sedikit menyibukkan diri dalam dakwah. Beliau menegaskan bahwa umat-umat yang sibuk dengan amal niscaya jarang melakukan jidal. Dan justru ketika mereka ditimpa kelemahan, kemerosotan, dan runtuhnya himmah (obsesi agung) dalam diri mereka maka mereka jadi sibuk dengan jidal. Akhirnya mereka menjadi tersesat dan jauh dari amal Islami yang serius dan berkualitas.
Kalau kita kaji kehidupan para salaf maka kita temukan mereka adalah orang yang paling zuhud dalam masalah omongan sekalipun omongan yang mubah dan tidak menyakiti orang. Salaf menyadari bahwa banyak omongan berpotensi menyebabkan kesalahan dan ketergelinciran semakin tambah besar. Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah pernah berkata, “Adraktun naasa wa hum ‘alal jumal. Aku dapatkan manusia; salaf, dalam kondisi irit bicara.”
Imam Ahmad Bin Hanbal rahimahullah memberikan komentar atas ucapan gurunya tersebut dalam Al-‘Ilal Wa Ma’rifatur Rijaal dengan mengatakan, “Maksudnya adalah mereka tidak (banyak) bicara; juga tidak suka berbantahan.”
Ustadz Abdul Wahhab Azzam rahimahullah, seorang tokoh Ikhwan, dalam kitabnya Asy-Syawaarid memberikan kesimpulan bahwa,
“Kamu akan temukan individu-individu dan kelompok-kelompok yang paling dekat kepada keshidikan dan kesungguhan adalah yang paling sedikit omongan. Perbuatan menyibukkan mereka dari bicara. Serta pikiran dan tangannya mengalahkan lisannya. Sebaliknya manusia yang paling dekat pada pengangguran dan senda gurau adalah yang paling banyak omongan dan paling tajam lisannya kecuali sedikit orang saja yang tidak seperti itu.
Seandainya lisan berhubungan dengan pikiran niscaya pikiran akan mengikatnya. Seandainya ucapan berkawan dengan amal niscaya amal akan membuatnya tenang dan berwibawa. Tetapi, lisan justru seringkali tersjerembab dalam omong kosong yang tidak berpengaruh dan melontarkan lafazh-lafazh yang tidak terkontrol. Ia menjadi sebatas ucapan tanpa perhitungan dan omongan ngalor ngidul tanpa subtansi pembicaraan.
Sejak zaman dahulu manusia sudah banyak membicarakan tentang (negatifnya) banyak bicara dan (posistifnya) sedikit bicara juga dampak serius dan ringannya. Dan tidaklah seseorang merenungkan kondisi kita sekarang melainkan ia akan mendapatkan pembenaran atas apa-apa yang telah diwejangkan. Jadilah gerakan lisan-lisan kita lebih mengungguli pembuktian-pembuktian ucapan dan gerakan-gerakan tangan. Kreatifitas kita pun juga lebih banyak dalam segi omongan bukan pada sistem dan perbuatan.
Semoga Allah memberikan rahmat pada orang yang menjadikan akalnya sebagai pengawas lisannya dan amalnya sebagai penghisab ucapannya.”
Karena itu, wahai saudaraku, sadarlah bahwa kita adalah “qaumun ‘amaliyyuun“. Maka, marilah kita berlomba dalam amal kebaikan dengan sepenuh hati demi meninggikan kalimat Allah dan mengukir kejayaan umat yang gemilang.