Sekitar tahun 1970-an, Harun Nasution mengeluarkan pernyataan bahwa sudah saatnya bagi pelajar Muslim Indonesia menuntut ilmu pengetahuan ke Barat, karena dianggap sebagai pusat peradaban yang maju dan memiliki metodologi penelitian dan keilmuan yang bersifat general.
Ilmuwan Barat, khususnya kaum orientalis, selalu melakukan studi lintas bidang dalam berbagai macam penelitian. Dalam menulis makalah dan penelitian, mereka juga selalu menyuguhkan berbagai macam referensi yang lengkap sehingga dianggap memiliki basis ilmu pengetahuan yang kuat.
Berbeda dengan metodologi pembelajaran di Timur Tengah yang lebih memfokuskan pada bidang tertentu. Misalnya, setiap negara memiliki keunggulan dalam bidang-bidang tertentu. “Jika ingin menguasai ilmu hadis belajarnya ke Madinah,” ujar Adian Husaini dosen pascasarjana di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor ini.
Kalau dibandingkan dengan para imam mazhab (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Gazali) dan beberapa ulama klasik lain (Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Farabi) memang sangat jauh berbeda. Mereka menguasai berbagai macam bidang ilmu pengetahuan.
Seiring berjalannya waktu, pengiriman pelajar Islam menjadi blunder ketika mereka belajar metodologi orientalis yang dikembangkan Barat. Menurut Adian, metode ini lebih mengedepankan kekritisan sehingga sering menimbulkan keragu-raguan terhadap ajaran Islam, bahkan cenderung merusak. “Semangat mereka adalah bagaimana meninggalkan agama dan peradaban,” paparnya.
Atas dasar pendekatan kritis ini, kaum orientalis selalu berpikiran negatif terhadap al-Qur’an sehingga menganggap al-Qur’an sebagai kitab biasa seperti buku-buku yang lain bahkan koran. Di antara orientalis tersebut adalah Montgomery Watt, yang dengan tegas meragukan autentisitas al-Qur’an dan hadis.
Selain menganggap kedua sumber hukum Islam ini dibuat-buat dan tidak konsisten, Montgomery mengatakan, al-Qur’an dan hadis tidak dapat dijadikan sebagai sumber pandangan hidup Islam. Ada pernyataan yang lebih parah lagi bahwa ia mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur’an. (Muhammad at Mecca, 1960: 103).
Hal yang sama juga disampaikan pemikir orientalis seperti Mohammed Arkoun dalam buku Rethingking Islam (1996). Dalam buku ini, Arkoun mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali dan membongkar hal-hal yang sudah dianggap mapan oleh umat Islam.
Secara terang-terangan, Arkoun mengajak umat Islam untuk mengkritisi al-Qur’an seperti yang dilakukan kaum Yahudi dan Kristen dalam mengkritik kitab suci mereka. Selain menyebut Mushaf Utsmani sebagai corpus resmi yang tertutup, Arkoun juga mendukung upaya orientalis untuk meragukan keabsahan Mushaf Utsmani.
Artinya, kaum orientalis ini menginginkan agar konsep teks dalam al-Qur’an ada unsur manusiawi di dalamnya. Padahal, dalam al-Qur’an itu sendiri redaksinya sama sekali tidak ada campur tangan Nabi Muhammad SAW. Tidak seperti Bibel yang sempat berubah-ubah—baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Selama ini, keotentikan al-Qur’an mengundang perhatian khusus kaum orientalis dan sejumlah teolog Kristen agar unsur manusiawi diakui ikut campur tangan dalam teks al-Qur’an. Padahal, al-Qur’an adalah Kitab pembeda (al-Furqan) yang diturunkan (tanzil) melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
Mengutip pendapat Buya Hamka dalam bukunya Studi Islam (1985) bahwa ada tiga tujuan orientalisme di dunia Islam. Pertama, untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam. Kedua, untuk kepentingan penjajahan. Dan ketiga, untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata. Sekalipun halus, kesalahan yang sengaja dilakukan kaum orientalis bisa digunakan untuk merusak Islam.
Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Ikatan Da’i Indonesia, Prof. DR. KH. Ahmad Satori Ismail bahwa Barat memang memiliki metodologi yang lebih baik daripada Timur. Akan tetapi, bukan hal yang dibenarkan jika umat Muslim berguru kepada orientalis yang selalu memosisikan Islam sebagai tertuduh yang harus dihukum.
Seharusnya, kalau mau belajar tentang Islam ya ke negara yang memiliki banyak ulama dan sang pemikir Islam, seperti di Mesir, Arab Saudi, atau di negara-negara Timur lainnya. Selain itu, mahasiswa Indonesia akan mendapatkan fasilitas yang lebih lengkap, seperti Al-Azhar adalah tempat yang tepat untuk penelitian Islam. “Salah satu kelebihannya, fasilitas ada semua dan lengkap,” ungkapnya
Sebaliknya, belajar Islam di Barat—yang pengajarnya adalah kaum orientalis—merupakan perkara yang harus dipikirkan lebih matang. Selain itu, para pengajarnya pun bukan orang ahli di bidangnya, kaum orientalis tersebut memandang Islam tidak dengan keseluruhan.
Daud Rasyid dalam tulisannya Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan menjelaskan bahwa karya-karya para orientalis banyak diwarnai oleh sikap yang kurang baik, seperti memutarbalikkan fakta, menyalahpahamkan teks, memalsukan sejarah, serta menyusupkan kebohongan dan fitnah.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Teuku Zulkhairi mengungkapkan bahwa setiap umat Muslim yang belajar Islam di Barat itu akan merugi, karena harus siap-siap terkontaminasi dengan nilai-nilai Barat
Ketika mereka mencoba mengadopsi peradaban Barat maka mau tidak mau paham-paham seperti liberalisme, sekularisme, feminisme dan lain-lain akan mengontaminasi pemahaman mereka. Hal itu terjadi pada Ulil Abshar Abdalla, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang secara mentah-mentah menelan paradigma Barat tentang Islam.
Pentingnya Ilmu dan Adab
Adian Husaini menjelaskan, kaum orientalis ini tidak memiliki adab sebagai wujud dari kebermanfaatan ilmu dimilikinya. Mereka selalu curiga dengan pendapat ulama seperti Imam Syafi’i. Sementara ketika mereka mengutip pendapat Imanuel Kant dan tokoh orientalis lain sangat patuh. “Ini harus diseimbangkan. Baru hafal dua hadis sudah mengecam Imam Bukhari,” paparnya.
Misalnya juga, ketika baru lulus S1 hukum tata negara, langsung mengecam Mahfud MD. Bayangkan, baru S1 sudah mengecam ketua Mahkamah Konstitusi atau bahkan ulama yang karyanya sudah diakui di seluruh dunia. “Kalau saya perhatikan, kritisnya terlalu kuat dan basis ilmunya kurang sehingga dia tidak menjadi apa-apa,” paparnya.
Oleh karena itu, Adian berpesan kepada calon mahasiswa yang akan menuntut ilmu ke Barat supaya menyiapkan diri sehingga tidak terpengaruh dengan pemikiran mereka. Pertama, harus meluruskan niat karena dalam menuntut ilmu niatnya bukan untuk mencari dunia tapi untuk ibadah.
Kedua, adab mencari ilmu harus dengan guru yang baik dan saleh. Bisa dibayangkan ketika belajar tentang shalat kepada orang yang tidak pernah wudhu dan shalat, atau belajar tentang kebersihan kepada orang yang tidak pernah bersuci atau mandi junub. Bagaimana harus menjadikan mereka sebagai guru kalau mereka bukan Musim, tidak pernah shalat, tidak pernah bersuci dan mandi junub.
Sebelum belajar ke Barat, secara keilmuan Islam mereka harus sudah matang dan menyiapkan mental untuk tidak tergoda dengan proyek-proyek penelitian yang bisa merusak Islam. “Apalagi ketika kembali ke Tanah Air, mereka harus siap berjuang dan berdakwah,” paparnya.
Barat selalu punya kepentingan terhadap Islam, sementara mereka tidak bisa masuk ke basis-basis umat Islam, seperti pesantren, masjid, dan ormas-ormas Islam. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan para mahasiswa Indonesia untuk melakukan penelitian. “Penelitian ini tergantung siapa yang menggunakan. Ada yang meneliti tentang radikalisme masjid dan lain sebagainya,” ujar Adian.
Sayangnya, sejauh ini belum ada universitas berkelas internasional di Indonesia yang mampu mendidik dan melahirkan generasi Islami. Penantian selama 40-tahun sejak tahun 1970-an ketika kebijakan studi ilmu pengetahuan diarahkan ke Barat justru menambah persoalan baru yang rawan merusak akidah umat.
Maka tugas umat Islam adalah merumuskan cita-cita untuk melahirkan lembaga pendidikan yang berbasis pada peradaban ilmu dan peningkatan amal. Hal itu bisa dilakukan dengan cara mengumpulkan cerdik dan cendekiawan Muslim di Indonesia dalam wadah lembaga pendidikan Islam yang patut menjadi teladan umat Islam dan menjadi pusat pembinaan ilmu pengetahuan.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa menghantarkan pemiliknya pada ketakwaan kepada Allah SWT. Manfaat ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan enam syarat. Pertama, cerdas, artinya bukan hanya memiliki kemampuan IQ yang tinggi tapi juga memiliki akal yang mampu menangkap ilmu pengetahuan dengan baik.
Kedua, harus memiliki semangat untuk mencari ilmu demi meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta membawa manfaat bagi semua orang. Ketiga, harus memiliki kesabaran, artinya tabah menghadapi cobaan dan ujian dalam mencari ilmu. Orang yang mencari ilmu adalah orang yang mencari jalan lurus menuju pencipta-Nya. Oleh karena itu, setan sangat bernafsu untuk menggoda para penuntut ilmu dengan berbagai cara supaya mereka gagal dan binasa.
Keempat, harus dengan biaya. Namun jangan dipahami biaya di sini tidak memiliki uang, tapi cukup makan, minum, sandang, dan papan. Imam Syafi’i adalah seorang yatim yang papa. Namun dengan mencari sambil berkhidmat atau bekerja yang tidak mengganggu belajar, ia berhasil menjadi orang yang berguna di tengah masyarakat.
Kelima, memiliki guru/ustad yang mengerti hakikat ilmu, yang memiliki sanad dari guru ke guru lainnya. Dengan demikian, ilmu yang diterima seorang murid adalah ilmu yang bersambung sampai Nabi dan sampai kepada Allah SWT.
Jadi, sangat jelas sekali bahwa orang yang belajar harus lewat bimbingan seorang guru yang bisa menunjukkan apa yang dikehendaki oleh sebuah pernyataan dalam sebuah ayat atau hadis. Sebab tidak semua yang tersurat mencerminkan apa yang tersirat dalam pernyataan.
Keenam, masa/lamanya menuntut ilmu. Artinya, orang belajar perlu waktu yang cukup untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.