Ibnu Abbas Radhiyallahu ’Anhu berkata, “Aku khawatir bila kalian ditimpa hujan batu dari langit, karena aku mengatakan, ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,’ tetapi kalian malah mengatakan, ‘Abu Bakar dan Umar berkata.’”
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Aku merasa heran pada orang-orang yang tahu tentang isnad hadits dan keshahihannya, tetapi mereka menjadikan pendapat Sufyan sebagai acuannya, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa siksa yang pedih.” (QS. An Nur, 63). Tahukah kamu apakah yang dimaksud dengan fitnah itu? fitnah di situ maksudnya adalah syirik, bisa jadi apabila ia menolak sabda Nabi akan terjadi dalam hatinya kesesatan sehingga celakalah dia.”
Pemberian contoh kasus yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dengan menyebut nama Abu Bakar dan Umar, dan yang dikemukakan oleh Ahmad bin Hanbal dengan menyebut nama Sufyan, menunjukkan bahwa sahabat-sahabat besar dan ulama-ulama yang masyhur pun jika pendapatnya bertentangan dengan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wajib untuk ditolak karena Rasulullah itu ma’shum. mengunggulkan pendapat shahabat atau ulama salaf di atas perkataan Rasulullah dalam mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram berarti mempertuhankan mereka.
Al Qur’an suarat An Nur ayat 63 mengandung suatu peringatan supaya kita jangan sampai menyalahi Kitab dan Sunnah.
Diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam At Tirmidzi dengan menyatakan hasan, bahwa diriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (QS. Al Bara’ah, 31)
Maka saya (‘Adi bin Hatim) berkata kepada beliau, “Sungguh kami tidaklah menyembah mereka”, Beliau bersabda, “Tidakkah mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, lalu kalian pun mengharamkanya, dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian menghalalkannya?”
Aku menjawab, “Ya.”
Maka beliau bersabda, “Itulah bentuk penyembahan kepada mereka.”
Ayat dalam surat At Taubahayat 31 tersebut menunjukkan bahwa barang siapa mentaati seseorang dengan menyalahi hukum yang telah ditetapkan Allah berarti telah mengangkatnya sebagai tuhan selain Allah.
Di sini perlu diperhatikan arti ibadah yang sebelumnya telah diingkari oleh shahabat ‘Adi bin Hatim. Jadi, bentuk peribadahan tidak hanya berbentuk sujud di depan mereka, melainkan juga mengikuti perkataan seseorang yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal tersebut telah berkembang sedemikian rupa, sehingga banyak terjadi pada kebanyakan manusia penyembahan terhadap orang-orang shalih, yang dianggapnya sebagai amal yang paling utama, dan dipercayainya sebagai wali (yang dapat mendatangkan suatu manfaat atau mara bencana), serta penyembahan terhadap orang-orang alim melalui ilmu pengetahuan dan fiqh (dengan diikuti apa saja yang dikatakan, baik sesuai dengan firman Allah dan sabda RasulNya atau tidak).
Kemudian hal ini berkembang lebih parah lagi, dengan adanya penyembahan terhadap orang-orang yang tidak sholeh, dan terhadap orang-orang bodoh yang tidak berilmu (dengan diikuti pendapat pendapatnya, bahkan bid’ah dan syirik yang mereka lakukan juga diikuti).