Catatan Oase ini mungkin tak pernah ada kalau saja pada tanggal 27 Mei 2006, saat subuh, saya tidak berangkat ke masjid. Sebab, saya mungkin sudah mendapati takdir ajal, atau cacat permanen. Tidak ada firasat apapun waktu menjelang ke masjid. Saya berjalan seperti biasa, langkah yang kurang tegap menahan kantuk menuju masjid. Menyusuri dingin pagi dan berharap hari itu terjadi keajaiban.
Sehabis shalat, saya bercengkerama dengan beberapa sahabat, menikmati hangatnya persaudaraan. Kami mulai melangkah keluar masjid dan mengambil napas dalam-dalam. Nikmatnya pagi.
Benar, begitu sampai di depan pintu rumah, keajaiban itu terjadi. kami merasakan tanah bergetar dan bergoyang keras. Dan orang-orang di jalan berteriak. Ya, ini namanya lindhu atau gempa. Saya seperti orang bodoh yang hanya bisa ikut-ikutan berteriak, menginstruksikan kepada seisi rumah untuk segera bangun dan berhambur keluar. Tetapi kejadian itu sangat singkat, hanya dalam hitungan menit beberapa rumah sudah miring. kemudian genteng berjatuhan dan satu per satu pecahan tembok itu runtuh. Gemuruh bumi berpadu dengan jerit orang-orang terjepit, orang-orang terjebak, dan mungkin, jerit orang sekarat. Setengah jam setelah itu situasi tidak terkendali. Di jalan, sirine ambulans dan klakson panjang tak henti-henti.
Kami menyibak reruntuhan genteng, dan mengangkat beberapa orang. Tidak semua, tetapi sebagian besar di antara mereka masih menggunakan baju tidur, sebagian menggunakan kaos singlet dan sarung. Orang-orang yang menikmati tidur.
Kami terus menerus mengucap tahmid dan takbir. Bersyukur dan takjub, betapa Allah menyelamatkan kami dan ribuan orang-orang yang saat gelap tadi melangkahkan kakinya ke masjid. Kami ingin memahami, bahwa getaran bumi-Nya memberi pelajaran kepada orang-orang yang mengabaikan seruan mu’adzin.
Pagi, diciptakan oleh-Nya untuk memberi kesempatan kepada manusia mengambil posisi start lomba paling baik. Pada saat gempa di Jogja itu, seruan subuh memberi kesempatan kepada para jamaah masjid untuk mengambil start terbaik dalam perlombaan menghindari bencana. Mereka yang terlelap belum sampai pada posisi start, padahal detik-detik lomba telah dimulai. Maka begitu ‘pistol’ lomba diletupkan, orang-orang bergamislah yang berkesempatan untuk menang.
Maka Allah tetapkan waktu-waktu shalat dengan jadwal terbaiknya. Waktu-waktu sholat itu ditetapkan-Nya sebagai pembatas, agar manusia menata ulang langkah dan mempersiapkan terobosan penting. Banyak kejutan-kejutan yang Allah ciptakan, Ia rahasiakan kejadiannya sehingga manusia mengambil hikmah darinya.
Bergegas (bukan tergesa-gesa) adalah filosofi juara. Mereka yang bergegas ke pasar di pagi hari mendapat begitu banyak peluang dagangannya laris dan bertemu rekan sesamanya. Mereka yang bergegas membeli tiket tidak akan terjebak dalam antrean panjang depan loket. Mereka yang bergegas ke kantor tidak terjebak kemacetan. Mereka yang bergegas berobat terselamatkan dari ancaman penyakit akut. Orang-orang yang bergegas taubat selamat dari ancaman kematian suu’ul khotimah. Para pemuda yang bersegera menikah akan mendapat kebahagiaan.
Maka, kaum muslimin dianjurkan menyegerakan menuju shalat di masjid (fas’au ila dzikrillah) karena Allah menyimpan rahasia besar yang diperebutkan oleh manusia: imbalan sebaik-baiknya, seagung-agungnya. Tetapi kebanyakan manusia tidak tahu.