Stress yang selama ini Anda pikir hanya dapat terjadi pada orang dewasa, kini dapat dialami oleh anak-anak bahkan balita. Hal tersebut disampaikan psikolog Ratih Ibrahim dalam sebuah diskusi tentang perubahan sosial dan dampaknya pada anak Indonesia, di Jakarta, Selasa.
“Berdasarkan catatan Personal Growth, ditemukan bahwa empat dari lima anak yang datang berkonsultasi, menampilkan indikasi stress berat,” kata Ratih. Menurut Ratih, stress yang terjadi pada anak-anak adalah bagian dari pelanggaran hak anak, yang berasal dari hilangnya komunikasi anak dengan orang tua. Hal itu ditambah dengan padatnya aktifitas anak modern sekarang ini yang membuat mereka kehilangan waktu bermain, serta masalah pergaulan mereka dengan teman-temannya.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), Arist Merdeka Sirait membeberkan data bahwa sepanjang tahun 2011, KNPA mencatat kasus pelanggaran hak anak meningkat 98 persen dibandingkan tahun sebelumnya, atau ada 2.386 kasus.
“Jangan remehkan ini, sudah tercatat sebanyak lima anak di bawah 10 tahun berusaha melakukan pencobaan bunuh diri akibat stress,” kata Arist yang menambahkan bahwa dua di antaranya meninggal dunia.
Menurut Ratih, tanda-tanda stress pada anak dapat terlihat secara fisik, emosi, psikologis dan sosial. “Mereka menjadi rewel, mudah tersinggung, pemarah, kehilangan minat, percaya diri luntur, gelisah, uring-uringan, bahkan ada yang menarik diri dari pergaulan,” kata Ratih.
Kondisi yang demikian seringkali diartikan orang tua sebagai bentuk dari pembangkangan, ‘mulai berulah’ atau minder; sehingga orang tua malah memaksa anak untuk bersosialisasi dan membanjirinya dengan banyak kegiatan yang semakin membuat stress. Oleh karena itu, jika Anda menemukan kondisi yang demikian pada anak, sebaiknya carilah dulu penyebabnya dengan pendekatan yang hangat dan bersahabat.