Ramadhan belum lagi berjalan seminggu, ketika iklan sirup terkemuka itu menghiasi televisi. Tema iklannya tentang merayakan Idul Fitri. Ramadhan masih belum dimulai, ketika departement store di kota-kota telah sibuk menaikkan hiasan di langit-langit gedungnya. Temanya Idul Fitri. Ramadhan bahkan masih tertutup Sya’ban, ketika antrian menyemut di terminal dan stasiun, juga deretan data-data booking yang memenuhi server maskapai penerbangan. Temanya mudik untuk Idul Fitri.
Di zaman lain yang seolah tak terjangkau oleh ingatan manusia kebanyakan. Lelaki-lelaki dan perempuan-perempuan sejarah, bersiap dengan penuh rindu. Rajab dan Sya’ban mereka hias sebaik-baiknya, demi menyambut Ramadhan yang begitu dirindu. Dzikir dan shaum sunnah mereka susun dengan penuh azzam, agar Ramadhan bisa mereka sambut dengan ruhiyah yang penuh. “Allahumma bariklana fi rajab wa sya’ban wa balighna ramadhan”, begitu doa yang diajarkan Rasul mulia kepada mereka, merayu Allah untuk mempertemukan mereka dengan Ramadhan.
Zaman, telah memangsa kerinduan itu dari benak banyak manusia, termasuk diri saya, atau mungkin Anda. Ketika Rajab atau Sya’ban hadir, kesibukan masih mengalihkan kita dari persiapan Ramadhan. Lalu ketika telah dekat Ramadhan kita berkata, “Ah, nggak kerasa besok sudah Ramadhan… Cepat ya?”
Padahal kerinduan itu tak pernah mampu membunuh waktu, sebaliknya kerinduan itu seolah melebarkan rentang masa. Seorang insan yang baru sehari ditinggal oleh kekasihnya, ia akan merasakan kerinduan yang seolah seminggu mengendap. Jika telah seminggu ia ditinggalkan, maka waktu pun terasa merentang hingga setahun. Maka harusnya penantian Ramadhan itu terasa panjang dan begitu kerasa.
Ketika Ramadhan menemui hari-hari penghujungnya beberapa abad lalu, manusia-manusia mulia mengencangkan ikat pinggangnya, memperbaiki ibadahnya, membangunkan keluarganya pada malam hari. Setiap detik Ramadhan di akhirnya menjadi begitu berharga, dan mereka tak ingin melewatkannya. Tangisan pun menjadi pelepas Ramadhan yang tiba-tiba begitu cepat berlalu.
Dan sekarang kebanyakan dari kita ingin Ramadhan cepat berlalu. Padahal sebaliknya, pertemuan dengan yang dirindu itu tak pernah membuat waktu terasa panjang. Pertemuan setahun dengan kebersamaan yang penuh pun masih terasa singkat bila bersama insan yang kita cintai.
Lalu dimana tangisan itu kini? Adakah masih kita bersedu-sedan ketika Ramadhan berakhir? Mungkin jawabnya – kebanyakan – “tidak”!! Sebab kerinduan telah dinisbatkan tak lagi kepada Ramadhan. Kerinduan telah tercurah kepada hari kemenangan, Idul Fitri!
Kini kita telah merindukan Idul Fitri, padahal Ramadhan belum juga lama dimulai. Industri pun mendukung kerinduan itu dengan berbagai penawaran menariknya.
Kita begitu merindukan hari yang dikatakan sebagai hari kemenangan. Kemenangan atas nafsu yang telah diperangi sebulan lamanya. Kita merindukan hari dimana kita – katanya – telah menjadi suci kembali. Kita sangat merindukan hadiah itu, kado berupa kemenangan atas tiga puluh atau duapuluh sembilan hari perjuangan.
Aih, bukankah aneh merindukan kemenangan, padahal perjuangan belum berakhir? Sebab perjuangan memang melelahkan bagi jiwa yang lemah. Lapar dan haus menjadi terlalu berat, ditambah dengan keringnya bibir yang menguap lembabnya, menyisakan perih. “Perjuangan adalah sebuah kutukan”, begitu yang hadir di pikiran yang manja. Kapan kemenangan akan datang? Kapan ia bisa bebas lagi berbuat ini dan itu? Padahal hatinya sendiri tak yakin pasti, apakah ia turut memenangkan perjuangan itu.
Lain lagi dengan pejuang, yang begitu menikmati masa-masa laparnya. Menahan emosi menjadi seni tersendiri. Tak cukup itu, hatinya terus mencari-cari adakah kesusahan lain yang bisa ditempuh, agar ganjaran berlipat semakin banyak direngkuh. Detik demi detik perjuangannya adalah sesuatu yang dinikmati, kelelahan diyakininya akan berbalas. Sesekali beristirahat, ia terbang lagi mencari-cari keutamaan yang belum lagi ia dapati. Kemenangan di benaknya adalah sesuatu yang niscaya, maka ia tak merindukannya, biar Allah menjadikannya sebagai bonus saja.
Paling tidak sekarang kita tahu, mengapa kita begitu susah untuk menangisi Ramadhan, kendatipun kita ingin menangis – agar jelas keimanan kita. Sebab kerinduan telah beralih kepada yang lain. Ruang kerinduan telah terisi oleh hari raya yang gembira, tanpa menyisihkan kerinduan akan hari-hari penuh pahala yang melelahkan.
Maka mari kita yakinkan hati-hati kita, bahwa kemenangan itu akan tiba dengan pasti. Tak perlu kita memikirkannya dengan serius. Kita nikmati setiap detik Ramadhan ini dengan asupan ruhiyah yang cukup dan amaliyah yang sungguh-sungguh. Kita perbaiki perjuangan Ramadhan kita, agar tak lagi kita yakin bahwa kita hanyalah orang-orang kalah yang turut merayakan kemenangan.