Musim penghujan telah tiba. Alhamdulillah, yang lama ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Meski belum merata tapi hujan sudah mulai sering mengguyur beberapa kota. Sayangnya, diantara mereka yang juga menunggu turunnya hujan, setelah datang, bukannya bersyukur malah sebaliknya. Mereka kecewa, kesal dan bahkan ‘berani’ mengumpat hanya karena merasa hujan turun tidak pada waktu yang diinginkannya. Selain beberapa orang yang sedang menggelar hajatan dan pesta, si Fulan adalah salah satunya.
“Sebel! Dari semalam hujan nggak berhenti-berhenti. Mana pakai mati lampu segala lagi!” jawab si Fulan ketika Bunda bertanya, mengapa ia belum juga mandi padahal hari sudah semakin siang. Bunda khawatir Fulan terlambat sekolah lagi, seperti tiga hari sebelumnya.
“Sabar, Nak. Bukan hanya kita yang mengalami” jawab Bunda yang masih menyiapkan hidangan sarapan pagi di meja makan.
“Gara-gara hujan, sepedaku bakal kotor lagi. Padahal baru semalam aku cuci. Dan sepatu baruku bakal basah dan kotor juga!” gerutu si Fulan.
“Lho, kok jadi nyalahin hujan? Semestinya kita bersyukur, hujan datang membawa berkah”
“Kalau nggak jadi upacara bendera gara-gara hujan sih boleh disebut berkah. Tapi kalau gara-gara hujan, acara sepedaan bareng teman-teman sore nanti jadi batal, itu sih musibah!”
“Astaghfirullah! Kamu nda boleh begitu, anakku. Menyalahkan hujan sama saja kamu menyalahkan Tuhan. Tidak akan turun hujan kalau Allah tidak menghendaki dan mengijinkan. Lagian, hanya gara-gara takut sepeda dan sepatumu kotor, kenapa jadi menyalahkan hujan? Sepeda dan sepatumu kan bisa dicuci lagi. Atau kalau kamu nda mau basah dan kotor, kamu berangkat ke sekolah naik becak, dari rumah pakai sandal jepit dan ganti sepatu setelah sampai di sekolah.” Bunda memberi solusi.
“Tapi kalau hujan terus-terusan begini, acara sepedaan nanti sore bisa gagal. Padahal rencananya sudah matang, tidak boleh batal dan tidak boleh ada yang tidak datang. Itu sudah kesepakatan!”
“Anakku..” Bunda berusaha tetap sabar menghadapi sulungnya yang baru beranjak remaja. Emosinya masih labil. “Apa yang akan terjadi siang sampai sore nanti tidak ada yang tahu, kecuali Allah. Bukan tidak mungkin, walau sekarang hujan masih turun bahkan mendung masih tebal menggantung, kalau Allah berkehendak, bisa saja siang nanti cuacanya cerah dan kamu bisa tetap bersepeda bersama teman-temanmu. Hujan nanti sore belum pasti tapi satu kesalahan sudah pasti kamu lakukan. Menyalahkan hujan, mengingkari nikmat Tuhan. Dan yang kamu tidak boleh lupa, anakku, kalau berjanji, berencana, jangan lupa ucapkan insya Allah.”
“Ah, insya Allah! Mereka yang mengucap itu biasanya memang tidak niat untuk datang tapi tak berani mengatakan!”
“Tidak , anakku! Insya Allah itu bukan alasan untuk mencari pembenaran ketika janji tak bisa ditepati. Bukan pula kata ganti untuk sebuah penolakan yang tak enak hati untuk dikatakan. Insya Allah itu sebuah pengakuan bahwa di luar kemampuan yang kita miliki ada satu kekuatan yang akan menentukan apakah yang kita rencanakan akan menjadi kenyataan, seperti yang kita inginkan. Sematang apapun rencana kita buat, sekuat apapun ikhtiar kita lakukan, kalau Allah tidak mengijinkan maka tidak akan pernah terjadi dan tercapai apa yang kita inginkan.”
Menyadari kebenaran kata-kata Bunda, Fulan hanya terdiam. Kali ini sedikitpun ia tak membantah.
“Sudah setengah tujuh, mandi dulu, terus nanti kita sarapan bersama-sama. Kalau kamu tidak mandi sekarang, kamu akan kehilangan waktu untuk sarapan pagi, bahkan mungkin juga terlambat masuk sekolah lagi!”
*****
Saudaraku, apabila terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan pada diri kita, rencana kita, acara kita, janganlah kemudian menyalahkan hujan. Menyalahkan hujan sama saja menyalahkan Tuhan. Tiada turun hujan kalau Allah tidak mengijinkan.
Jangan marah bila pakaian basah, sudah tahu mendung mengapa tak juga sedia payung. Jangan pula kesal bila rencana yang telah disusun rapi tiba-tiba batal, sudah tahu musim hujan tapi kemungkinan turun hujan tak ikut diperhitungkan. Jangan mengumpat bila pesta hajatan yang digelar tidak semeriah yang dibayangkan, mengira banyak undangan yang tak datang karena turunnya hujan. Ingat, sesungguhnya Allah lah yang membolak-balikan hati manusia, termasuk para tamu undangan. Apakah mereka akan datang atau tidak, bukan semata karena hujan.
Juga, hanya karena khawatir kendaraan menjadi kotor lalu keluarlah kata-kata kotor. Jangan karena malas mencuci lagi, lalu meluncurlah caci maki sepuas hati. Janganlah kufur nikmat. Kemarin, sebelum hujan turun, setiap hari mengeluh kepanasan, minta hujan segera diturunkan. Tapi sekarang, setelah hujan mulai turun, masih saja mengeluh, kedinginan. Sebenarnya apa sih yang diinginkan?
Hujan datang membawa berkah. Meski sebagian orang merasa ‘dirugikan’, janganlah menyalahkan hujan, lalu menyebut hujan sebagai sumber musibah. Allah Mahaadil. Kalaupun saat hujan para penjual es merasa dirugikan, tapi di sisi lain para penjual gorengan dan ojek payung menjadi pihak diuntungkan. Semua ada masanya, ada bagiannya. Hidup itu berputar, bergantian. Kemarin panas, sekarang hujan. Begitu, saling bergantian. Terima, nikmati dan tentu saja syukuri anugerah Allah yang satu ini.
Kalau tak ingin menyiksa diri, jangan mengharap teriknya mentari di saat mendung menggantung. Jangan pula membayangkan segarnya es buah, nikmati saja teh manis atau panasnya kopi. Bukankah di saat turun hujan, secangkir teh atau kopi panas lebih pas dinikmati?
Jika saat ini diluar sedang turun hujan, sementara Anda ingin melakukan kegiatan di luar rumah, apa yang Anda pikirkan? Ingatlah, jangan menyalahkan hujan!
Oleh: Abi Sabila, Tangerang