Sebelum menikah, sesungguhnya saya sudah menyadari bahwa kami mau tidak mau mesti tepisah jarak untuk sementara waktu. Mungkin paling lama satu tahun dengan waktu bertemu sekitar tiga bulan sekali. Saat itu, sungguh saya masih dapat biasa penanggapannya. Walaupun dalam hati menyeruak perasaan ganjil. Sebuah keluarga yang dijalani pasangan suami istri dengan LDR (Long Distant Relationship) adalah sebuah bayangan yang kurang ideal bagi saya. Momok, saya anggap seperti itu. Ya, dan saya pun kini harus menjalaninya.
Tiga bulan, itu memang waktu yang lama. Tapi saya pikir akan bisa dilalui dengan mudah. Lagipula, di hati ini belum terbit rasa sayang maupun cinta pada calon suami saya itu. Akhirnya setelah saya dinikahi oleh suami, kami pun harus menjalani hidup secara berdua. Berlalulah malam pertama kami dan malam-malam bersama yang mengiringinya, dan saat itulah Allah yang Maha Rahman mengkuasakan hati yang mudah berbolak balik dalam dada ini. Saya rasa, mulai mengalami apa yang namanya jatuh cinta.
Subhanallah, secepat ini hati saya tertawan atas kesederhanaan suami. Pengakuannya yang sangat takut mendzalimi saya dengan pernikahan ini, justru membuat kebekuan sebelumnya luluh. Ya Allah, saya jatuh cinta pada sosok suami saya itu. Maka harus saya katakan bahwa sekarang ini adalah jalan yang cukup sulit bagi perjalanan hidup saya. Berpisah dengan suami dalam jarak yang jauh dan rentang yang panjang adalah sebuah kepiluan sehari-hari.
Seolah kesendirian saya sehari-hari menjalani kehidupan di ibukota yang keras sangat membelenggu batin ini. Kesibukan saya sedari pagi hingga sore, terasa semakin mencekat kalbu. Iya saya selalu terbenam pada rindu yang mendalam pada suami. Masya Allah.
Akan tetapi waktu perpisahan ini memang musti dijalani dan dilalui. Harapan yang genap akan sebuah pertemuan dalam satu atap bersama suami terus membuncah. Penuh dan menyesak dalam sanubari. Kuncinya adalah menjalani dengan kesabaran yang khidmat, ridho yang ikhlas, dan pengharapan yang menghunjam pada kebesaran Allah, tetapi memang menjalaninya kesabaran ini cukup berat.
Namun kesabaran yang musti dilalui ini belumlah dapat disandingkan apapun dengan kesabaran-kesabaran wanita penuh pesona sepanjang sejarah peradaban bumi ini. Sayyidah Hajar, Bunda Ismail adalah potret dari segala kekuatan dan kesabaran seorang perempuan, sebagai isteri dan seorang ibu. Baru saja ia mengecap kehangatan suami di sisinya dan merekah kebahagiaan mereka dengan kehadiran seorang anak lelaki, Hajar sudah ditinggalkan berdua saja di tengah padang gersang yang tandus.
Tiga kali Bunda Hajar bertanya dan menyampaikan kebingungannya atas tindakan sang suami, namun beliau berhenti pada pertanyaan sekaligus jawaban cerdas pasangan suami istri pilihan ini, “Apakah Allah yang memerintahmu, duhai Suamiku?” maka Ibrahim cukup menjawab dengan mengangguk yang berarti, “Iya!” Maka cukuplah anggukan itu bagi Bunda Hajar pungkas segala kegalauan dan kerisauan yang menghadang di pelupuk matanya.
Bagaimanapun, sempat terjenak seorang diri tanpa bekal yang cukup dan tanpa pertolongan orang lain, pun harus membesarkan anak lelakinya itu. Hajar cukup bergeming dan memasrahkan segala urusannya kepada Allah yang Maha Memberi Pertolongan. Bunda Hajar sendirian kala itu, desis saya. Mematut keadaan saya yang sendiri terpisah jarak dengan suami, rasanya tak pantas diri ini semestinya mengiba. Bunda Hajar jauh lebih berat ujiannya.
Tawakal pada Allah dan tak putus menggigit harapan untuk mengisi kehidupan sehari–hari itulah yang semestinya saya teladani akan sosok Bunda Hajar. Maka saat bayi kecil Ismail yang mulai kehausan menangis meronta-ronta meminta air pada ibunda, Hajar lekas bangkit mencari sumber mata air yang mungkin ada di tengah padang pasir itu. Hatinya membisikkan bahwa dia mendengar suara orang-orang dari arah bukit sehingga dia mendakinya. Bunda Hajar segera menaiki atas bukit Shafa dan melihat ke sekeliling tetapi tidak melihat apa-apa. Kemudian dia turun dan selanjutnya berlari ke arah bukit Marwah. Dari sana pun dia tidak melihat apa-apa. Tanpa berputus asa Bunda Hajar melakukan hal seperti itu berulang kali hingga ketujuh kalinya.
Maka Allah pun segera memberikan pertolongan-Nya tanpa diduga-duga yang memancar dari pukulan kaki Ismail. Memancarlah terus-menerus air tersebut. “Zam-zam!” teriak Bunda Hajar memerintah air tersebut supaya berkumpul. Seiring berjalannya waktu, maka Allah menjawab doa Nabi Ibrahim pungkas meninggalkan anak isterinya, “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim:37)
Pun, tak kalah gemilangnya kisah kasih Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bersama sang suami tercinta Abu Salamah, wanita cantik lagi bernas ini yang kemudian juga menjadi ibunda kaum mukminin menuturkan sendiri kisahnya, “Ketika Abu Salamah berniat hijrah ke Madinah, ia radhiallahu ‘anhu mempersiapkan untanya untukku. Dia membawaku dan anakku, Salamah bin Abi Salamah di atas unta itu. Kemudian membawaku keluar dengan menuntun untanya,” lanjutnya, “Ketika keluarga istri beliau orang-orang Bani al-Mughirah bin ‘Abdillah bin Amr bin Makhzum melihatnya, serta merta mereka menghadangnya seraya berseru, ‘Masalah dirimu, itu urusanmu, tetapi bagaimana dengan wanita kami ini? Dengan alasan apa kami membiarkan engkau membawanya (keluar dari negeri kami)?”
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengisahkan, “Lalu mereka merebut tali kekang unta dari tangan Abu Salamah radhiallahu ‘anhu dan merebutku darinya. Seketika itu juga, Bani ‘Abdil-Asad, keluarga dekat Abu Salamah marah. Mereka berkata, ‘Demi Allah, kami tidak akan membiarkan anak kami ini (maksudnya Salamah) bersama Ummu Salamah, karena kalian telah merebut Ummu Salamah dari tangan keluarga kami ini (maksudnya Abu Salamah)’. Akhirnya mereka pun memperebutkan anakku Salamah. Sampai akhirnya, Bani al-Mughirah menyerah. Bani ‘Abdil-Asad pergi membawa anakku. Sedangkan aku ditahan oleh Bani al- Mughirah. Akhirnya, Abu Salamah pun berangkat ke Madinah seorang diri.’
Ummu Salamah berkata, “Aku terpisah dengan suami dan anakku,”
Sejak itulah Ummu Salamah sangat merasa sedih. Setelah terpisah dari sang anak dan sang suami yang sudah berangkat hijrah, Ummu Salamah pergi pagi dan duduk di Al Abthah. Di sana ia menumpahkan kesedihannya, menangis sampai sore hari. Ini dilakukan setiap hari. Hingga setelah satu tahun berlalu, ada salah seorang anak pamannya yang merasa iba kepadanya, lalu ia pun berkata kepada Bani al-Mughirah, ‘Tidakkah kalian melepaskan wanita malang ini? Kalian telah memisahkannya dengan anak dan suaminya. ‘
Mendengar penuturan ini, lalu Bani Al Mughirah mengatakan kepada Ummu Salamah, ‘Jika engkau mau, susullah suamimu?’ Maka Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengisahkan, ‘Dan saat itu, Bani al-Asad mengembalikan anakku. Aku kemudian mempersiapkan unta. Aku berangkat menuju Madinah seorang diri. Tidak ada seorangpun yang menemaniku kecuali anakku.‘
Saat tiba di Tan’im, kira-kira sembilan kilometer dari Mekkah. Ummu Salamah bertemu dengan Utsman bin Thalhah yang kemudian merasa harus mengantarkannya ke Madinah.
Masya Allah, ummul mukminin ini pun menangis sepanjang hari akibat terpisahkan dirinya dengan suami dan anak tercinta. Hal itu dilakukannya selama hampir satu tahun. Akan tetapi, harapannya pada Allah, dan kesabarannya demi menjaga memperjuangkan dan menyelamatkan agamanya sungguh melebihi kerapuhan dalam menanggung rindu nestapa.
Demikian, sungguh pun saya menjalani ini dengan payah. Mempertaruhkan nafas diri untuk menunaikan amanah yang telah menjadi janji bakti sebagai bagian dari pelayan publik, yang semoga di dalamnya pun tetap ada barakah Allah. Namun jauh di lubuk hati yang paling dalam, saya menginginkan diri ini hadir menemani suami saya di negeri antah berantah itu untuk saling menguatkan dan berjuang di tengah kehimpitan kaum muslimin. Menemaninya, walaupun saya bukanlah siapa-siapa. Semoga Allah senantiasa bersama perpisahan jarak antara kami dan semoga memudahkan kami berkumpul dalam limpahan barakah-Nya. Aamiin, ya Rabb. Kabulkanlah..
Dian Suci Lestari – Jakarta