Bagaimana ustadz-ustadz kita mengumandangkan suara kajian mereka di masjid-masjid dan kelas-kelas, baik mengkaji tematik atau kitab, ketahuilah itu bukan hal mudah. Butuh tenaga besar. Jikalau tidak ditolong oleh Allah Ta’ala dan juga tidak ada kemauan besar untuk memberi kepada kita, tentu tiadalah itu semua.
Kita akan merasa malu, melihat guru kita menuju majelis berjalan kaki membawa kitab, sementara kita mengendarai motor. Lalu kita lewat jalan yang dilewati beliau. Kita melihat beliau berjalan menunduk dengan kitab di genggamannya. Kita malu menyapa dan mengajak boncengan. Karena wibawa beliau; dan karena sudah terlanjur malu: kita bukanlah apa-apa, namun fasilitasnya sudah berada.
Mungkin kita kurang mau berfikir dengan minim adabnya kita karena telat datang ke majelis. Berfikir apakah ustadz kita di rumahnya hanya tidur saja, atau belajar?
Kurang berfikir kita, karena kurang adabnya kita.
Sekiranya pernah kita merasakan sebagaimana ustadz kita rasakan. Sungguh bisa jadi ustadz kita telat tidur malam karena mempersiapkan bahan ajaran dan referensi buat kita. Lalu bangun sebelum Subuh untuk mendoakan kita di sela rimbunan doanya dan gejolak air matanya. Lalu berjalan menuju majelis demi kita dengan persiapan yang sudah-sudah. Dan rupa-rupanya momen panjang perjuangan beliau sebelum majelis, kita berenak-enak. Santai. Toh di majelis kita hanya mendengarkan tugasnya.
Ustadz kita berusaha tepat waktu. Ternyata kita terlambat. Ustadz kita berjuang sebelum dan ketikanya, kita main-main, terlambat dan saat sudah tiba di majelis, kita tidak konsentrasi atau tertidur. Ustadz kita tahu ini semua, namun ia tidak menegur; bukan karena apa, mungkin karena kita punya slogan sombong: “SUDAH SYUKUR SAYA MAU HADIR DI MAJELIS!”
Kadang, kedurhakaan itu tidak mesti mencaci dengan lidah, tetapi, kedurhakaan itu hanyalah beberapa sikap halus tak terlihat yang menunjukkan betapa kita tidak tahu diri.
Sungguh, orang miskin sombong itu lebih buruk daripada orang kaya sombong.
Ustadz yang terkesan sombong itu sangat terlihat dan tersadar; namun murid yang sebenarnya sombong dan durhaka, lebih banyak dan jarang tersadar. Betapa guru-guru kita dahulu dan sekarang, berusaha menunaikan hak keilmuan kita; dan kita belum menunaikan apa-apa kecuali apa?