“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”,
“Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali”
(Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 156)
Kalimat itulah yang terucap ketika terdiam sejenak melihat pengumuman berita lelayu (dalam bahasa Jawa yang artinya berita kematian). Tertempel jelas di depan salah satu kotak pengumuman. Selembaran yang tertuliskan berita duka atas meninggalnya salah satu mahasiswi membuat diri ini tertunduk malu. Sudah siapkah diri ini dengan kematian? Berapa banyakkah amal yang sudah disiapkan untuk dijadikan bekal kelak di alam barzah?
Hati ini menjerit. Inilah salah satu kuasa Ilahi. Dia yang Menghidupan dan Dia pulalah yang Mematikan. Kematian adalah salah satu bukti akan kefanaan dunia yang hanya sementara dilalui. Disediakan suatu tempat yang kekal dan abadi oleh-Nya sebagai balasan segala amal perbuatan yang telah kita lakukan di dunia.
Tertunduk sekejap. Memikirkan. Diusia yang masih muda bahkan lebih muda daripada kita. Dia harus dipanggil menghadap Sang Maha Hidup. Apakah kematian itu pilah-pilih? Hanya untuk orang yang sudah lanjut usia saja sehingga kaum muda bisa berkehendak melakukan sesuka hatinya walaupun bertentangan dengan aturan agama?
Masih ingatkah kita dengan kisah buah kelapa? Buah kelapa yang bergantungan di atas pohonnya. Apakah yang jatuh hanya buah kelapa yang tua ataukah buah kelapa yang muda pun memiliki peluang untuk jatuh?
Begitulah gambaran manusia. Layaknya buah kelapa yang suatu saat pasti akan jatuh dari pohonnya. Entah diwaktu muda ataupun diwaktu tua. Masihkan kita bermalas-malasan dalam beribadah jikalau kematian itu semakin dekat dan selalu menghampiri diri kita?
Sebuah petuah bijak disampaikan oleh seorang alim ulama ternama. Imam Al Ghazali pernah bertanya kepada murid-muridnya salah satu pertanyaanya yakni “Sesuatu hal apakah”, ucap Imam Ghazali “yang paling dekat?”. Jawaban yang bijaksana terlontarkan setelah murid-muridnya menjawab dengan versi jawaban masing-masing. Jawaban yang akan membuat kita tersentak sadar dalam kelalaian akhirat. Sesuatu hal yang terdekat itu adalah kematian.
Jikalau kematian itu adalah hal yang paling dekat dengan kita. Apakah kita hanya akan berdiam diri dalam menyongsongnya?
Tak ada yang tahu kapan waktunya tiba yang jelas sudah ditentukan oleh-Nya batas hidup kita di dunia ini. Semakin hari usia kita semakin berkurang untuk jatah hidup kita walaupun kita merasakan usia kita semakin bertambah tetapi semakin mendekatkan kita akan kematian.
Jika saat itu tiba. Apakah kita yakin untuk menghadapinya? Di Lauhul Mahfudz sana terdapat satu pohon dengan berdaunkan yang tertuliskan nama kita masing-masing. Jikalau daun yang bernamakan kita itu gugur maka tibalah saatnya Malaikat Izrail menjalankan tugasnya untuk menghampiri kita.
Daun itulah yang akan menghantarkan Malaikat Izrail kepada sang pemilik nama. Tanpa terkecuali, tanpa pandang bulu. Jika daun itu tergugur saatnya itupun harus tiba.
Tertulis dengan indahnya di dalam kitab yang akan terjaga kesucian dan kemurniannya hingga akhir zaman yang tertuangkan dalam surah Ali Imran ayat 185, “Setiap yang bernyawa pasti akan mati”.
Akankah kita menghindar dari kematian? Setiap manusia memiliki nyawa sehingga dia pun akan merasakan kematian. Pada dasarnya manusia berasal dari ketiadaan kemudian ada akhirnya merasakan ketiadaan kembali sebelum merasakan keberadaan yang sesungguhnya kelak di akhirat.
Sebelum kita terlahir ke dunia bukankah kita telah tiada. Atas seizin-Nyalah kita terlahirkan ke dunia sehingga membuat keberadaan diri kita di dunia ini, kemudian dia ambil kembali diri kita sehingga kembali pada ketiadaan. Namun, itulah proses menuju keberadaan yang hakiki di akhir zaman kelak.
Manusia hidup di dunia bagaikan seorang musafir yang beristirahat sejenak dibawah pohon. Itulah gambaran kehidupan manusia di dunia. Masih panjang perjalanan kita menuju kampung abadi. Maka dari itu, kita dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan berbagai macam bekal yang akan kita bawa untuk bertamasya menuju tempat nan indah yang tak pernah kita lihat, tak pernah kita dengar dan tak pernah kita rasakan.
Suatu hari satu keluarga akan mengadakan rekreasi ke suatu pantai. Berbagai bekal telah disiapkan sebelum berangkat menuju tempat wisata tersebut. Mulai dari bekal untuk kendaraan hingga bekal pribadi baik itu makanan, minuman, pakaian ataupun berbagai benda yang akan digunakan pada saat sampai di pantai.
Jika hendak pergi ke pantai ataupun tempat rekreasi lainnya berbagai persiapan dan bekal telah kita siapkan seperti yang dilakukan oleh keluarga tersebut. Tak malukah ketika dipanggil-Nya kita tak mempersiapkan sama sekali bekal yang akan dibawa kepada-Nya?
Untuk urusan dunia kita berani melakukan berbagai hal dan mempersiapkan berbagai bekal agar kita dapat merasakan kebahagiaan di dunia. Untuk urusan akhirat pun kiranya kita bisa lebih maksimal mempersiapkannya dan melakukannya, sebab bukan sembarangan. Jika bekal di dunia ada yang tertinggal kita masih bisa untuk mengambilnya kembali di rumah. Tapi, jika bekal akhirat yang tertinggal apakah kita masih bisa mengambilnya pulang?
Mari sejenak. Kita pikirkan dan renungi bersama. Sudahkah kita maksimal dalam mempersiapkan bekal yang akan kita bawa kelak agar di akhirat memperoleh kebahagian. Bukankah kita mengharapkan kebahagiaan di dunia dan kebahagian di akhirat?