“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut : 2 – 3)
Mungkin selama ini, kita yang turut serta berada dalam gerbong dakwah aktif telah merasakan ‘ujian-ujian’ dalam dakwah. Entah itu wujudnya berupa sedikitnya tidur, badan yang pegal-pegal, tulang yang linu-linu kepayahan, akibat dari banyaknya aktivitas dan amanah yang kita pikul di pundak-pundak kita setiap harinya.
Lebih jauh lagi melangkah ke mihwar sya’bi wa daulah di mana dakwah kita telah merangsek masuk ke dalam tatanan kelembagaan dan Negara, maka ujian yang diterima pun lingkupnya tidak lagi menjadi sekedar ‘ujian pribadi’, namun meluas hingga ke jantung jamaah itu sendiri. Dimulai dengan ujian internal dalam tubuh jamaah, semisal adanya kader-kader yang berguguran, adanya oknum yang menggunakan dakwah untuk ambisi pribadi, adanya conflict of interest masing-masing kader, kader dengan kuantitas yang melimpah namun tak diimbangi dengan kualitas dan sebagainya. Tak hanya itu, ujian juga datang dari orang-orang di luar jamaah dengan varian yang lebih bermacam. Mulai dari cacian dan cibiran, dengki dan iri hati, pendapat-pendapat yang tidak objektif, adu domba, teror, hingga sampai pada fitnah-fitnah terorganisir yang melibatkan media massa.
Namun, jangan pernah menganggap bahwa ujian yang bertubi-tubi menimpa itu adalah ujian besar yang kemudian sampai membuat dada-dada kita sesak karenanya. Sungguh, hal itu belumlah bisa disebut ujian. Itu hanya kerikil-kerikil kecil yang jika kita terkena timpukannya maka kita hanya akan merasai sakit yang tak seberapa. Jika dada kita sudah sangat sesak dengan itu semua, maka yakinlah pasti ada yang salah dalam bangunan akidah dan pemahaman kita akan hakikat dakwah. Jika dengan ujian itu kita sudah sangat merasa kelelahan dan kepayahan, maka Dia lebih tahu mungkin selama ini diri kita telah tertipu dengan fatamorgana keimanan.
Pengalaman generasi pendahulu mengajarkan bahwa dalam dakwah yang efek geraknya mulai menggoyang kekuasaan para tiran dan membuat mereka gerah, pasti akan menimbulkan reaksi dahsyat yang melahirkan makar-makar terorganisir yang penuh dengan kamuflase dan kelicikan. Kita bisa belajar dari perjalanan dakwah Murrabbi tercinta kita Rasulullah shalallahu ‘alayhi wassalaam dan para shahabat terpilih. Tidak hanya fitnah, cacian, dan hinaan yang mereka terima; tapi juga siksaan-siksaan yang tak pernah terbayang sebelumnya: dijemur di tengah pasir mendidih dengan ditindih batu besar, dipanggang di atas bara api hingga melepuh dan meleleh air dari luka bakarnya hingga sampai memadamkan baranya, diboikot total sampai pernah memakan daun-daunan kering untuk mempertahankan hidup, diusir dari kampung halaman, dan juga diperangi secara besar-besaran. Lalu ketika ada salah seorang shahabat yang mengadukan kepada Rasul tentang beratnya ujian yang mereka rasakan, yang sudah jauh melampaui batas kemanusiaan, apa jawab Rasulullah?
Dari Khabbab bin Al Aratti, dia berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu beliau sedang berbantalkan sorbannya di bawah lindungan Ka’bah. Kemudian kami bertanya, ‘Apakah engkau tidak memintakan pertolongan untuk kami? Apakah engkau tidak mendoakan untuk kebaikan kami?’
Beliau bersabda, ‘Orang-orang yang sebelum kamu itu ada yang ditanam hidup-hidup, ada yang digergaji dari atas kepalanya sehingga tubuhnya terbelah dua, dan ada pula yang disisir dengan sisir besi yang mengenai daging dan tulangnya, tetapi yang demikian itu tidak menggoyahkan mereka dari agamanya.
Demi Allah, Allah pasti akan mengembangkan agama Islam hingga merata dari Shan’a sampai ke Hadhramaut, dan masing-masing dari mereka tidak takut melainkan hanya kepada Allah atau takut serigala menyerang kambingnya. Akan tetapi kamu sekalian sangat tergesa-gesa.’” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i)
Kemudian belajar juga dari makar licik yang dilakukan berulang-ulang oleh pemerintahan Mesir terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin. Dimulai dengan fitnah ‘kudeta’ dan isu pembunuhan terhadap Presiden Mesir kala itu, maka resmilah diumumkan bahwa organisasi dakwah Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi terlarang. Sejak saat itu terjadilah penangkapan besar-besaran anggota Ikhwanul Muslimin dari yang muda hingga tua, dari mahasiswa hingga pengacara, pria maupun wanita. Mereka dikurung dalam sel-sel yang jauh dari kata layak; pengap, gelap, dingin, dengan jatah air dan makan yang sangat minimalis. Tidak cukup sampai di situ, berbagai teknik interogasi dan penyiksaan yang tidak pernah terbetik bagi manusia-manusia yang punya hati, mereka ujicobakan semuanya. Mulai dari mencambuki, pelecehan seksual, disundut dengan rokok, digantung dengan kepala terbalik kemudian dimasukkan dalam kolam air, hingga disayat-sayat dagingnya oleh para anjing penjaga. Dan hal itu terus menerus dilakukan selama bertahun-tahun. Tak sedikit yang menjemput syahidnya karena beratnya siksaan yang harus mereka terima.
Namun herannya, justru pemimpin tertinggi Ikhwan, Ustadz Hasan Al Banna rahimahullah dibiarkan bebas. Tentu saja pasti ada makar besar yang sedang mereka persiapkan untuk beliau. Benar saja, dua hari setelah hari lahirnya, mereka mengirimkan untuknya kado terindah: kesyahidan, insyaAllah. Pengecut-pengecut itu menghadiahinya dengan berondongan peluru. Tanpa ada satu orang pun yang menolongnya, karena semua rekannya berada di balik penjara. Tak juga masyarakat umum, karena ketakutan mereka akan dicap sebagai anggota kelompok ini yang akan membawanya dalam nasib yang tak terkira pahitnya. Dalam keadaan kritis itu, beberapa gelintir wanita yang masih tersisa di keluarganya membawanya ke rumah sakit, berharap masih ada peluang kehidupan bagi da’i ini. Namun, tangan-tangan para dokter dan perawat itu terbelenggu oleh ketakutan. Kaum elite telah merancang sedemikian rupa semuanya, agar bisa memastikan bahwa kematian itulah pilihan satu-satunya untuk orang yang telah mencoba merebut kekuasaan dari tangan mereka. Maka dari sakaratul maut, pengurusan jenazah, hingga penguburannya, hanya beberapa gelintir wanita itulah yang menjadi saksinya.
Pahit? Sangat. Jika kita memandangnya dengan kacamata keimanan kita yang hanya segaris tipis. Tapi hal itu bukanlah hal yang ‘mengejutkan’ bagi beliaunya, karena jauh-jauh hari beliau sudah memprediksikan bahwa semua itu boleh jadi akan menimpa dirinya dan juga kepada para pengusung kebenaran semisalnya. Dalam Risalah Bainal Amsi wal Yaum, beliau menuliskan:
“Saya ingin berterus terang kepada kalian bahwa kalian ini belum banyak diketahui orang. Nanti, di saat mereka mengetahuinya dan memahami tujuan-tujuan serta sasaran-sasarannya, niscaya mereka akan memusuhi dan menentang keras dakwah kalian. Di depan kalian akan terbentang berbagai kesulitan dan kalian akan menemui banyak kendala. Saat itulah kalian mulai meniti jalan para aktivis dakwah yang sesungguhnya. Namun sekarang kalian belum dikenal. Kalian baru masuk pada masa-masa persiapan untuk memasuki jalan dakwah dan bersiap-siap untuk menghadapi segala tuntutannya berupa jihad dan peperangan.”
Tidak hanya berhenti disitu, beliau juga telah memproyeksikan kendala-kendala utama yang akan dihadapi; tribulasi yang harus dilalui sebagai konsekuensi; dan juga wasiat tentang apa yang harus dilakukan ketika menghadapi kendala dan tribulasi tersebut.
Beliau menjelaskan bahwa kendala-kendala itu meliputi:
- Ketidaktahuan bangsa
- Anggapan aneh dari sebagian orang yang ‘agamis’ dan penentangan para ulama resmi pemerintah
- Kedengkian para pemimpin, pembesar, dan orang-orang yang memiliki pengaruh
- Kesepakatan seluruh pemerintahan untuk menentang dan menghalangi dakwah dan aktivitas kalian
- Konspirasi para penjajah untuk menumpas kalian dan memadamkan cahaya dakwah kalian
- Penyebaran syubhat dan tuduhan yang dibuat-buat
Sedangkan tribulasi-tribulasi yang akan muncul adalah:
- Kalian akan ditangkap dan dipenjarakan
- Kalian akan diusir dan dideportasi
- Kekayaan kalian akan dirampas dan aktivitas kalian dihentikan
- Rumah kalian akan digeledah dan tribulasi seperti ini mungkin akan bersama kalian dalam waktu yang lama
Kemudian tidak lupa beliau mewasiatkan sepuluh faktor agar berhasil dalam mengatasi berbagai ujian tersebut:
- Iman kepada Allah, bangga dengan mengenal-Nya, dan hanya bergantung kepada-Nya
- Tidak takut dan tidak gentar kecuali hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala
- Menunaikan kewajiban dan menghindari segala yang dilarang (oleh syariat)
- Menghiasi diri dengan akhlak mulia dan membiasakan diri melakukan hal-hal yang utama
- Akrab dengan Al Quran dan Sirah Nabawiyah serta mengkajinya
- Memfokuskan perhatian kepada aspek amal dan menghindari perdebatan
- Saling mencintai dan memperkokoh ikatan ukhuwah
- Teguh memegang prinsip
- Mendengar dan taat kepada pemimpin (dalam kebenaran)
- Mengharapkan kemenangan dan dukungan dari Allah
Dengan bekal yang memadai jauh-jauh hari itu, maka tak heran jika mereka bisa istiqamah walau seberat apapun siksaan yang mereka terima di jalan dakwah. Bagi mereka panasnya bara yang mereka genggam itu bagaikan kuntum-kuntum mawar yang mempesonakan.
Begitulah mereka. Lalu bagaimana dengan kita?
Dulu mereka, dan nanti boleh jadi kita..
Maka memperkokoh akidah adalah hal yang harus mulai dari sekarang kita tanamkan dalam jiwa-jiwa kita. Agar akarnya kuat menghujam hingga ke dasar jiwa yang paling dalam. Sehingga ketika Allah menakdirkan ujian-ujian dahsyat itu menyapa kita, maka kita tidak menjadi bagian dari para pengecut yang menggadai akidah demi bisa berlama-lama bermain di dunia..
***
Shabra Shatila – Jakarta
22 Rabiul Awwal 1433 H