Jilbab, Darah Pertama Saya

“Kalau kamu masih pakai jilbab, Mamah akan bunuh diri saja!” ancam Mamah disertai isak tangis yang mulai membuncah.

Mendengar Mamah berkata begitu saya hanya mampu tertegun. Tak menyangka bahwa kata-kata penuh amarah tersebut akan dengan mudah terlontar begitu saja dari bibir hangat Mamah. Kali ini Mamah tidak main-main. Saya yakin itu! Terlihat dari nadanya yang geram.

Seketika, seolah tersihir keadaan Mamah yang mulai membuat saya khawatir, lekuk-lekuk hati saya ikut-ikutan banjir. Lelehan demi lelehan bola salju mulai jatuh dari kedua mata sipit saya. Seraya bersimpuh meminta maaf, saya mencoba menenangkan Mamah.

“Iya Mah, Nana tak akan pakai jilbab.”

Setelahnya, kami berdua saling menderaikan air mata.

“Kamu belum bisa mandiri Na, jadi mesti menurut sama orang tua,” ucap mentor di SMA ketika saya berkeluh kesah tentang peristiwa tersebut, beberapa hari kemudian. Peristiwa penuh isak tangis antara saya dan Mamah yang disebabkan oleh alasan yang sama, jilbab!

Ya, hanya karna jilbab..

***

Dua puluh tahun silam, Allah mengirimkan saya kepada keluarga yang begitu perhatian kepada saya. Mungkin karena saya adalah anak pertama, dan berstatus ‘perempuan’ maka mereka cenderung protektif terhadap saya, terutama Mamah. Sifat protektif ini pun didukung oleh keluarga dari garis Mamah yang sebagian besar memeluk Kristen-Katholik, akibat perkawinan beda agama. Beruntungnya, Mamah adalah seorang muslim, begitu pula Ayah.

Sewaktu kecil saya terbilang aktif. Tidak pelak, ketika SD saya sempat menjadi penyiar radio cilik di Kebumen, di samping aktivitas saya sebagai model cilik yang sering ikut lomba fashion show di mana-mana. Menginjak SMP, Mamah mulai cemas dengan cara berpakaian saya ketika ber-fashion show akan menjadi sebuah kebiasaan yang nantinya tak bisa dihentikan. Untuk itu saya pensiun dari ranah “pertunjukkan gaya” dan mulai melirik dunia science yang tampaknya penuh dengan kejutan ilmu pengetahuan.

Semenjak saat itu, saya lebih sering ikut perlombaan yang menyangkut keilmuan, bahkan ketika saya mulai memasuki dunia baru yang penuh warna bernama SMA. Hanya satu yang tidak bisa saya tinggalkan dari kecil, yakni kesenangan saya dalam hal menyanyi. Rasanya, itulah dunia saya! Dunia bernada yang membuat saya berjalan di atas partitur berirama dengan ketukan yang terkadang membuat saya terbang hingga ke dunia nirwana. Indah!

Namun perkataan Mamah saya sekali waktu membuat nada-nada fals kian menari-nari di atas not-not indah milik saya.

“Mamah tidak setuju kalau Nana pakai jilbab.”

“Tapi Mah?” bantah saya yang dengan cepat Mamah mentahkan.

“Mamah hanya khawatir kalau kamu ikutan aliran sesat, jadi Mamah tidak setuju kamu pakai jilbab!”

Padahal ketika itu saya masih gadis SMA kelas satu yang hanya mencoba share tentang apa yang disampaikan mentor saya beberapa waktu sebelumnya,

“Perempuan yang berpakaian tapi ‘telanjang’ tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wanginya surga…”

Ya, karena itu sungguh besar keinginan saya mengenakan jubah kemuliaan perempuan tersebut. Tetapi sekali lagi, dengan alasan kecemasan bahwa jilbab memiliki hubungan erat dengan aliran-aliran islam nyeleneh yang sedang marak-maraknya kala itu, Mamah pun tidak merestui. Lalu ayah? Beliau hanya terdiam dengan raut wajah khasnya yang menandakan ketidaksetujuan saya mengenakan jilbab.

Saya bersikeras. Iseng-iseng suatu hari, ketika hendak pergi ke sekolah untuk mengikuti kegiatan organisasi, saya mengenakan jilbab. Alhasil, genderang perang pun mulai didengungkan. Seketika itu, Mamah mulai mengeluarkan senjata pembunuh yang membuat saya diam seribu bahasa. Perkataan yang menghujam hingga ke dasar hati yang paling dalam,

“Kalau kamu masih pakai jilbab, Mamah akan bunuh diri saja!”

Bunuh diri? Hanya karna jilbab?

Ya Rabb… Terkadang terlintas di benak saya betapa beruntungnya mereka yang dengan mudahnya mampu melingkupi bagian tubuh yang semestinya tidak boleh terlihat dengan balutan kain panjang bernama jilbab.

Sedangkan saya?

Rasanya butuh kesungguhan yang nyata untuk meyakinkan seluruh keluarga bahwa saya pantas berjilbab. Keluarga yang berpikiran moderat, yang beralasan,”nanti saja kalau udah kerja baru pake jilbab”, bahkan tante saya pun yang mulanya berjilbab, kini telah menanggalkan jubah kehormatan tersebut, hanya karna desakan keluarga.

Di sisi lain, saya melihat betapa banyak perempuan muslim yang mesti berpikir berkali-kali untuk mengenakan jilbab. Alasannya pun bermacam-macam; Jilbabin hati dululah, jilbab tak pentinglah, yang penting akhlaqnya benarlah, jilbab hanya akan membuat penampilan menjadi kunolah, berjilbab nanti saja kalau udah menikahlah, panaslah, nanti saja jilbabannya kalau udah sesuai targetlah, belum siaplah, mengganggu aktivitaslah, serta berbagai alasan lain yang rasanya tidak asing lagi.

Jilbab tak penting yang penting akhlaqnya benar, begitukah?

Ah, masuk akalkah jika seorang perempuan dengan akhlaqnya yang baik serta memiliki rasa malu yang sangat luar biasa, tetapi dalam waktu yang bersamaan ia berjalan ‘telanjang’ di tengah keramaian, membuat auratnya dicumbu pandangan-pandangan lelaki nakal? Bukankah seharusnya akhlaq baik dan rasa malu itu mendorong perempuan untuk melingkupi auratnya di hadapan para lelaki?

Seorang perempuan yang menjaga kehormatan serta rasa malunya adalah perempuan yang tidak membiarkan pandangan lelaki manapun menjamahi lekuk tubuhnya demi menjaga ketaatan kepada Sang Pencipta. Lalu, buat apa busana diciptakan kalau perempuan hanya menyukai secuilnya saja? Bukankah busana tercipta untuk menutupi bukan membukai?

Waktu pun bergulir.

Saya pun akhirnya lulus SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Awal tingkat satu merupakan hal terberat buat saya. Selain saya mesti berusaha untuk meyakinkan keluarga terutama Mamah saya agar saya boleh mengenakan jilbab, saya pun akhirnya mengalami sebuah titik keputusasaan bahwa saya memang ‘tidak ditakdirkan’ untuk berjilbab. Hingga secara tidak sadar, saya terperosok ke dalam kerlap-kerlip dunia yang membuat saya lupa akan jilbab.

Sampai suatu ketika, di saat saya menginjak tingkat tiga Allah mengingatkan saya dengan cara-Nya. Kala itu, penyakit thipus menggerogoti kesehatan saya. Layaknya sudah jatuh tertimpa tangga, lever saya pun ikut kena akibat gula darah saya yang rendah.

Mendengar kabar tersebut, Mamah langsung terbang dari Kebumen ke Bintaro untuk merawat saya. Satu bulan saya mesti menginap di ruang UGD. Lalu mirisnya, dokter memvonis bahwa saya tidak akan sembuh seratus persen dari sakit lever tersebut selama hidup saya.

Ya Rabb..

Di saat itulah cahaya hidayah menyapa..

Di ranjang reyot rumah sakit, saya memulai pembicaraan dengan Mamah.

“Mah, kalau Nana nanti meninggal bagaimana? Nana kan belum pakai jilbab Mah.. Nana khawatir Nana tidak akan masuk surga.”

“Kamu jangan bicara begitu donk Na”, lirih Mamah saya yang matanya mulai basah.

“Jadi boleh kan Mah Nana pakai jilbab?”

Mungkin karena melihat saya, anak gadisnya begitu ngotot ingin mengenakan jilbab, ditambah kondisi kesehatan saya yang membuat semuanya tampak mendramatisasi, akhirnya sebuah anggukan Mamah waktu itu mampu mengobati segala sakit yang terasa. Papah serta sebagian keluarga besar Mamah pun yang awalnya menolak, akhirnya menyetujui.

Alhamdulillah.

Kala itu, tak terasa tetesan syukur mengalir perlahan dari mata saya. Betapa bahagianya saya yang akhirnya mampu menanggalkan pakaian terbuka saya dan mengantinya dengan pakaian yang menutupi. Betapa gembiranya saya mengenakan jilbab pertama dengan semburat darah yang hampir menghiasi seluruh lipatannya. Semburat warna merah-darah, yang membuat saya menjadi perempuan cantik dengan sebuah azzam di dalam jiwa,

“Kan saya genggam hidayah ini erat-erat selamanya.”

Oleh: Mas Mochammad Ramdhani, Bandung