Apa yang terpikirkan di benak Anda ketika mendengar jizyah ini? Apakah terpikirkan di benak Anda sebuah masa kekhalifahan Islam, yang sedang mencoba membangun kekuasaannya dengan melakukan ekspansi, dan begitu sampai di suatu wilayah yang mayoritas penduduknya masih belum memeluk Islam, mereka akan diberikan tiga pilihan sederhana “Islam, jizyah, atau pedang?”
Maaf, tapi jika Anda termasuk salah satu orang yang memiliki pemikiran seperti itu, maka Anda harus merubah literatur Anda dalam mempelajari sirah Nabi dan sirah Sahabat yang mulia. Sudah bukan rahasia umum bahwa fakta sejarah dapat diubah oleh siapapun demi kepentingan kelompok tertentu.
Dan kelompok yang merubah fakta sejarah tentang penerapan jizyah ini, telah berhasil menanamkan sebuah “sejarah palsu” dalam pemikiran beberapa orang, dan sukses membuat kekhalifahan Islam pada saat itu seperti sebuah negara tak beradab serta hanya bisa memaksakan kehendak dalam masalah keimanan. Lalu, permasalahan jizyah ini seperti membuat Islam keluar dari citranya yang Rahmatan lil alamin, malah cenderung membuat musibah bagi umat non Muslim.
Mari kita mulai dengan pembahasan tentang apa itu jizyah. Menurut penjelasan ulama, kata jizyah berarti pajak yang dipungut dari rakyat non muslim merdeka dalam negara Islam, yang dengan pajak itu mereka mengesahkan perjanjian yang menjamin mereka mendapat perlindungan, atau suatu pajak yang dibayar oleh pemilik tanah.
Perlu adanya sebuah pelurusan sejarah tentang pilihan yang diberikan oleh kekhalifahan pada suatu daerah non muslim, antara Islam, jizyah, atau pedang. Ketika ada satu daerah kecil ditaklukkan oleh Islam, sebenarnya penduduk daerah tersebut diberikan otonomi sepenuhnya untuk mengatur daerah tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat di Madinah. Masyarakat dibebaskan mengelola daerahnya, masyarakat diperbolehkan tetap menjalankan aqidah dan budaya lama mereka. Dengan syarat mereka menjamin syiar Islam dapat dijalankan di sana dan mereka wajib membayar jizyah.
Namun perlu digaris bawahi. Jizyah di sini bukanlah konsekuensi yang diterima penduduk non Muslim akibat perbedaan aqidah mereka dengan Muslim. Jizyah adalah sebuah kewajiban sebagai warga negara, dengan kata lain harga yang harus mereka bayar atas penggunaan fasilitas negara tempat mereka tinggal. Termasuk di antaranya fasilitas tanah pertanian, irigasi, serta keamanan dari serangan pihak luar. Tidak jauh berbeda dengan pajak yang kita kenal saat ini.
Saat itu, sumber dana untuk pembangunan negara didapatkan dari zakat. Namun, zakat hanya berlaku bagi umat Muslim. Maka untuk mengikut sertakan penduduk non Muslim dalam penyelenggaraan negara, dipungutlah jizyah dari mereka.
Bagi yang masih menganggap jizyah melanggar HAM atau tidak berperikemanusiaan, mungkin Anda harus coba membalik pola pikir. Dimanakah etika seorang warga negara yang menikmati semua fasilitas negara, tapi tidak mau membayar apapun sebagai gantinya? Untuk orang seperti itu, mungkin cocok dengan slogan ini, “hari gini ga bayar jizyah/zakat? Apa kata dunia?”
Dan satu lagi hal menarik terkait jizyah, bahwa jizyah yang dibayarkan penduduk non muslim kepada pemerintah pusat di Madinah saat itu, jauh lebih murah daripada zakat yang harus dibayarkan penduduk Muslim dalam satu tahun. Pastinya lebih murah juga daripada pajak/upeti yang harus mereka bayar kepada pemerintahan mereka yang lama (kalau bukan Romawi ya Persia). Jadi mungkinkah seseorang melepas keyakinan lamanya hanya karena diwajibkan membayar pajak yang sangat murah, lalu beralih menjadi muslim dengan kewajiban zakatnya yang lebih mahal?
Kalau kita memahami logika sederhana ini pastinya kita akan paham. Besarnya jumlah penduduk yang memeluk Islam pada saat itu bukanlah karena paksaan untuk memilih “Islam, jizyah, atau pedang?” Tentu hanya karena rahmatNya-lah, banyak yang memeluk Islam dengan berbondong-bondong.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada- Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS An-Nashr;3)
Wallahualam bishawab
Oleh: Renatha Agung Yoga – Surabaya