“Aku tidak mau memilih. Kalau memilih adalah hak, aku merelakan hakku kulepas saja,” ujar seorang temanku yang tinggal di sebuah daerah khusus, bukan daerah istimewa atau daerah otonomi khusus, yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.
“Mengapa tidak memilih?” aku bertanya. Setahuku dia adalah seorang kader partai keren sehingga agak aneh bagiku mendengarnya berpendapat seperti orang-orang awam non partai.
“Karena aku suka dengan calon A tapi partaiku malah memilih calon B. Ya sudah, sekalian saja aku tidak memilih”
Aku manggut-manggut berusaha memahami. “Kamu tahu kenapa orang-orang memilih A, B atau tidak memilih keduanya?”
“Kenapa?”
“Karena mereka mempercayai informasi yang sampai ke telinganya atau matanya.”
“Maksudmu?”
“Kamu pasti memperoleh informasi tentang A dan B kan?”
“Ya. A itu memiliki kinerja yang bagus, hebat dan keren. Dia hanya didzalimi gara-gara salah memilih wakil. Wakilnya seorang dari kalangan minoritas.”
“Terus tentang B?”
“Hahaha… tidak ada yang perlu kuketahui tentang B. Aku warganya dan aku tahu betul betapa bobroknya daerahku selama dipimpin olehnya. Benar-benar menjadi daerah khusus. Khusus galian sepanjang jalannya, khusus konsistensi banjirnya dan khusus kemacetannya.”
Aku mulai mengerti. “Jadi kamu yakin bahwa A akan memimpin lebih baik dari B?”
“Pasti begitu. Memangnya kenapa? Apakah kamu punya informasi dzalim lain yang bisa dipergunakan untuk menyerangnya?”
Aku menggeleng. “Aku bukan pemilih daerahmu dan aku tidak terlalu suka dengan politik jatuh-menjatuhkan, kamu tahu itu. Aku hanya berfikir mengapa kamu sampai galau begitu.”
“Aku tidak galau. Aku hanya memutuskan untuk tidak memilih. Apakah itu salah? Aku ingin memilih A tapi aku juga tidak mungkin mengingkari partaiku.”
“Mengapa tidak? Bukankah ini era demokrasi?”
Ia menggelengkan kepala tanpa menjawab.
“Bisakah kusimpulkan bahwa kamu masih punya mempercayai partaimu meski dalam pemilihan ini memilih B?”
Ia mengangguk sambil menerawang jauh. Langit senja di daerahnya diselimuti asap tebal sehingga gedung yang hanya berjarak beberapa ratus meter pun terlihat kabur.
“Menurutmu, mengapa partaimu memilih B?”
“Ada beberapa alasan, tetapi semua alasan itu sulit kuterima.”
“Misalnya?”
“Tentang kemungkinan A mengincar kursi RI-1, tentang penyerahan daerahku kepada kuasa kaum minoritas, tentang kepentingan golongan yang mengancam keutuhan negara dan banyak lagi alasan lainnya. Aku tidak terlalu care dengan alasan-alasan politis begitu.”
“Kamu tidak peduli karena kamu bukan orang politik?”
“Ya. Aku tidak mau berpolitik.”
“Kamu tidak mau berpolitik atau… tidak tahu politik?”
Ia memandangku sejenak, tampak sedikit tersinggung.
“Maaf. Seperti kesehatan, ekonomi, sosial dan sebagainya, politik adalah kenyataan yang berlangsung di sekitar kita. Ikut atau tidak, terlibat atau minggir, kita semua mendapat pengaruh dari politik tersebut,” aku berusaha menjelaskan.
“Ya. Aku tahu itu. Karena itulah aku menjadi kader partaiku sekarang.”
“Maksudmu, kamu tidak mau pusing-pusing tentang politik sehingga kamu ikut saja kepada partai yang kamu percayai itu?”
“Ya. Aku kenal orang-orang dan pengurus di partaiku. Meskipun orang politik, aku yakin mereka tetap bersih dan peduli. Mudah-mudahan juga profesional. Dibanding orang-orang di partai lainnya, orang-orang dalam partaiku jauh lebih bisa dipercaya.”
“Kalau dibandingkan dengan partai yang memiliki calon A?”
“Dia tidak dimiliki partai.”
“Oh ya?”
“Mmm… tidak juga sih. Dia memang kader partai tertentu juga.”
“Kamu lebih percaya kepada A meskipun didukung oleh partai tertentu itu, atau lebih percaya kepada partaimu meskipun mendukung B?”
Ia seperti terperanjat sejenak kemudian tersenyum. “Keren. Aku suka logikamu.”
“Maksudmu?”
“Iya, aku tahu aku sudah terlalu galau. Seperti kataku, seharusnya aku percaya saja kepada partaiku karena aku memang tidak tahu dan tidak mau tahu politik.”
Aku ikut tersenyum senang. “Jadi kamu akan ikut memilih?”
“Ya,” ujarnya mantap. “A atau B yang terpilih, aku tidak terlalu pasti tentang perubahan besar bagi kotaku. Tetapi aku tidak akan mengkhianati partaiku.”
Aku tercekat mendengar ucapan terakhirnya. Kata ‘khianat’ terasa terlalu keras di telingaku ketika keluar dari mulutnya.
“Aku ikut partai untuk sebuah komitmen, Di. Ini tentang sesuatu yang sakral: mencipta peradaban baru di bawah naungan dakwah. Kemarin aku memang terlalu banyak membaca prestasi A di media sehingga aku sangat bersimpati kepadanya. Ditambah caci maki para pembenci A yang begitu kasar, aku jadi makin kuat mendukung A.”
Aku manggut-manggut sambil mengelus jenggotku yang saat itu sedang panjang. “Satu lagi. Bagaimana kalau keputusan partaimu keliru?”
“Aku yakin mereka mempunyai informasi lebih banyak dari informasi yang kuterima. Kalau pun mereka keliru, namanya juga upaya. Semua orang pasti pernah salah. Yang penting terus belajar dan memperbaiki diri.”
“Giliran aku yang jadi kagum padamu. Di partai lain, aku yakin tidak ada kader seperti kamu.”
Dia tersenyum. “Makanya ikut ta’lim di partaiku. Nanti kamu tahu apa saja yang dibahas di dalamnya. Politik memang terlihat besar dan perkasa, tetapi dalam dakwah ia hanya sebagian kecil saja. Ada agenda-agenda lain yang jauh lebih besar dari sekedar politik.”
“Oh ya?”
Ia tersenyum makin lebar. “Seharusnya begitu. Ada dakwah yang akan tetap berjalan dalam kondisi berpolitik maupun tidak, dalam kondisi menang maupun kalah.”
“Iya deh. Rasanya percakapan kita sudah cukup.”
“Terima kasih untuk nasihatmu ya? Kamu telah mengingatkanku tentang komitmen.”
Aku tersenyum sambil menerima jabat tangannya. Sebentar kemudian aku sudah melaju menembus kemacetan kota temanku itu. Ada sebuah sudut dengan bangunan-bangunan tua yang tidak terpelihara. Tanpa sadar aku berdesis lirih, “B, kalau sudah terpilih, tolong rawat kota tua ini agar seindah tempat wisata kebanggaan A ya? Sayang sekali, kota tua secantik ini tampak kumuh dan gersang…”