“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’.” (Fushilat: 33)
Dakwah, sebuah kata yang sangat luas maknanya. Dakwah menjadi jalan yang harus ditempuh oleh setiap muslim. Tidak terkecuali, semua muslim pasti bersinggungan dengan dakwah. Bahkan, Rasul pernah bersabda “Nahnu Du’aatun Qabla Kulli Syai’in”, kami adalah dai sebelum jadi apapun. Begitu erat kaitannya antara dakwah dan Islam itu sendiri.
Seiring bertambahnya usia dunia, mad’u yang ada pun beraneka ragam. Keanekaragaman mad’u itupun menuntut keanekaragaman metode dakwah yang digunakan. Perkembangan mazhab, ilmu pengetahuan, hingga kondisi geografis menuntut dakwah juga harus berkembang. Rasul pun mengisyaratkan kita untuk berdakwah dengan bahasa target dakwah kita. Bahasa disini tidak sekedar komunikasi verbal juga, namun juga tata krama yang berlaku dalam lingkungan.
Sebagaimana iman, dalam lika-liku perjalanan dakwahnya, seorang da’i juga pernah mengalami turunnya semangat dakwah mereka. Karena memang, dakwah itu tidaklah mudah. Jika tidak ikhlas, kita pasti akan kesulitan mau membagi ilmu kita untuk saudara kita. Oleh karena itu, seorang da’i juga butuh kalibrasi dakwah mereka.
Ya dakwah butuh kalibrasi. Layaknya sebuah alat ukur yang harus senantiasa dikalibrasi sebelum melakukan sebuah pengukuran. Dalam ilmu pengukuran, kalibrasi memiliki tujuan menentukan deviasi kebenaran nilai konvensional penunjukan suatu instrumen ukur dan menjamin hasil-hsil pengukuran sesuai dengan standar. Selain itu kalibrasi juga sangat bermanfaat untuk menjaga kondisi instrumen ukur dan bahan ukur agar tetap sesuai dengan spesefikasinya.
Begitu pula untuk para da’i. Para da’i juga butuh kalibrasi. Tujuannya sama, agar para da’i mampu bertahan lama dalam perjalanan dakwah ini. Perlu muhasabah untuk melanjutkan kembali perjuangan dakwah ini. Mulai dari diri sendiri, sudahkah kita kembali memperbarui niatan kita. Masihkah Allah menjadi alasan utama dakwah kita. Ataukah hanya karena senang ketika mendapat gelar aktivis dakwah.
Dakwah tidak laku, kajian sepi, jangan salahkan mad’u kita. Justru kita lah yang harus mengkoreksi kembali metode dakwah kita. Perlu kita kalibrasi kembali metode dakwah kita agar klop dengan target dakwah kita.
Dakwah itu berat. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal pernah berkata, “Istirahatnya kaum muslimin adalah saat kaki kanannya menginjak surga”. Selama kita masih hidup di dunia, tak akan pernah kita istirahat dari godaannya. Maka selalu ingatlah Allah dalam setiap aktivitas dakwah kita. Jangan pernah sedikit pun lalai, karena iblis teramat pintar memanfaatkan peluang sekecil apapun. Wallahu ‘alam
Oleh: Pramudya Arif D, Yogyakarta