Bagi sebagian orang pertanyaan di atas sangat sensitif. Sesensitif pertanyaan yang ditujukan kepada pasangan yang sudah menikah berpuluh tahun, namun belum di karuniai buah hati. Kalupun bukan bagian dari orang-orang yang sensitif ada diantara kita yang sampai bosan mendengar pertanyaan itu.
Tiap bertemu dengan kawan atau handai taulan pertanyaan itu selalu terselip baik sebagai candaan atau bahan pembicaraan. Ditambah dengan banyaknya kata-kata mesra di dunia maya dari pasangan-pasangan yang telah lama atau baru saja dihalalkan secara agama. Juga melihat teman-teman seumuran yang bahkan sudah menimang buah hati,pertanyaan itu semakin menusuk hati saja bagi mereka yang masih ‘sendiri’.
Jadi, kapan nikah?
Banyak di antara kita yang tidak sadar bahwa di luar sana ada insan-insan shalih yang telah bersungguh-sungguh dalam berdoa untuk disegerakan dalam menikah, namun belum bertemu dengan jodohnya. Betapa banyak akhwat shalihah yang dalam sujud malamnya menitikkan air mata memohon agar segera dipertemukan dengan seorang imam yang dapat membimbingnya, namun tak kunjung juga lelaki sholih itu datang.
Seolah tanpa salah, seseorang dengan mudahnya –entah sebagai olok-olok atau sekadar basa-basi– mengajukan pertanyaan tersebut. Pernikahan memang menjadi tema yang selalu hangat untuk dijadikan bahan pembicaraan. Buku-buku tentang pernikahan laris bak kacang goreng. Seminar-seminar pernikahan membludak.
Akan tetapi, terkadang, banyak yang tidak sadar bahwa menikah adalah sesuatu yang sakral. Suatu ikatan yang dapat “mengguncang ‘arsy” Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, menjadikan pernikahan sebagai bahan bercandaan adalah sebagaimana meletakkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Termasuk pertanyaan tentang kapan menikah.
Alangkah indahnya jika kita memberikan ruang bagi lelaki-lelaki sholih dan wanita-wanita sholihah yang menurut pandangan kita sudah saatnya menikah namun belum juga menggenapkan separuh dien nya. Berikanlah berjuta alasan yang memungkinkan dia belum melaksanakan sunah rasul tersebut.
Bisa jadi ada banyak alasan yang kita tidak tahu, karena ketidaktahuan kita atas kondisi seseorang tersebut. Mungkin ia adalah seorang lelaki sholih yang menunda menikah karena ingin membahagiakan orangtuanya terlebih dahulu. Mungkin pula ia adalah seorang sholihat yang menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya, sehingga menikah belum bisa menjadi prioritas utama. Dan masih banyak kemungkinan lainnya karena kondisi apapun yang membuat seseorang menunda pernikahan.
Menikah adalah ibadah, maka sudah tentu tiap orang ingin sesegera mungkin melaksanakannya. Bagi yang lahir dari keluarga yang berkecukupan, memiliki orang tua yang paham dan tidak ada satu udzur pun untuk menunda pernikahan, maka bersyukur lah dan bersegeralah. Namun jangan pukul rata kondisi semua orang seperti itu.
Bagi yang telah Allah mudahkan ibadahnya, dalam menyempurnakan agamanya, sekali lagi bersyukur lah. Pun, mari berempati bagi para shalihin dan shalihat yang saat ini sedang berikhtiar untuk menggenapkan agamanya. Jangan melukai hati mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan, walau hanya bercanda, karena bercanda pun ada adab adabnya.
Mari kita sadari bahwa orang yang belum menikah belum tentu karena tidak mau, tetapi bisa jadi karena mereka memang belum mampu. Mungkin ada berbagai alasan syar’i yang kita tidak tahu. Jangan bertanya kecuali memang kita punya solusi.
Terlebih, doakanlah kebaikan bagi mereka…