Istilah karantina sudah menjadi prosedur umum dalam dunia kedokteran saat wabah penyakit menjangkit sebuah komunitas. Karantina berasal dari bahasa latin quadraginta yang artinya empat puluh. Hal ini disebabkan karena dahulu semua penderita penyakit harus diisolasi selama empat puluh hari. Saat ini, ilmu pengetahuan modern telah menyingkap cara-cara mikroba berkembang dan menyebabkan penyakit, sehingga ditemukan metode bagaimana seharusnya karantina dilakukan.
Pada abad ke-14, sejarah mencatat wabah penyakit melanda Eropa, menyebabkan kematian seperempat warganya. Lebih dari 60 juta orang warga dunia meninggal karena penyakit “pes” (Black Death). Pada tahun 1348 Pelabuhan Venesia sebagai salah satu pelabuhan terbesar di Eropa melakukan upaya karantina dengan cara menolak masuknya kapal yang datang dari daerah terjangkitnya penyakit Pes serta terhadap kapal yang dicurigai membawa penyakit Pes (Plague). Pada 1377 di Ronguasa dibuat suatu peraturan bahwa penumpang dari daerah terjangkit penyakit Pes harus tinggal di suatu tempat di luar pelabuhan dan tinggal disana selama 2 bulan supaya bebas dari penyakit. Dan itulah prinsip karantina yang juga diajarkan oleh Islam. Pada saat itu, saat wabah penyakit Pes menggila di Eropa, hanya sebagian kecil dunia muslim yang terserang wabah tersebut.
Bagaimana Islam memandang konsep pencegahan tersebarnya penyakit dengan melakukan sistem karantina? Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kalian mendengar wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari Muslim).
Selain itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Orang yang melarikan diri dari tempat wabah adalah seperti orang yang melarikan diri dari pertempuran di jalan Allah. Dan barangsiapa yang sabar dan tetap di tempatnya, maka dia akan diberi pahala dengan pahala seorang yang mati di jalan Allah”.
Dengan demikian, sistem karantina ini, dimana semua orang yang menderita wabah dicegah meninggalkan tempat tersebut, dan pengunjung juga dicegah masuk, sekarang telah diberlakukan di seluruh dunia. Pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sebelum Pasteur berhasil menemukan keberadaan mikroba, orang berfikir bawha wabah penyakit yang terjadi itu disebabkan oleh setan dan bintang-bintang. Menurut mereka, wabah tersebut tidak berhubungan dengan kebersihan atau perilaku tertentu, sehingga mereka melakukan ritual magis untuk mengatasinya. Dalam kondisi wabah seperti itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan sistem karantina yang merupakan dasar pencegahan modern setelah penemuan mikroba yang menyebabkan penyakit.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabat, “Jika kalian mendengar tentang wabah wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di tempat kalian berada, maka janganlah kalian jangan meninggalkan tempat itu.” Hal ini merupakan proses pengisolasian wabah agar tidak menular ke tempat lain dan menjadi pandemi.
Untuk memastikan perintah dilakukan dengan baik, Rasulullah akan memerintahkan mendirikan tembok di sekitar daerah wabah dan menjanjikan kepada orang-orang yang sabar dan tinggal di daerah wabah dengan pahala sebagai mujahit di jalan Allah. Sementara mereka yang melarikan diri dari tempat tersebut diancam dengan malapetaka dan kebinasaan. Jika orang yang sehat diperintahkan untuk tetap tinggal dengan orang sakit di suatu daerah wabah, pasti ia akan menganggap bahwa hal tersebut sebagai sebuah bualan belaka. Dan karena didasari keinginan untuk hidup, maka pasti ia akan melarikan diri ke tempat lain. Namun orang muslim tidak boleh melarikan diri dan meninggalkan tempat wabah sesuai dengan instruksi nabi. Orang-orang nonmuslim mengejek tindakan itu hingga mereka kemudian menemukan bahwa mereka yang tampak sehat dan tampa gejala dapat saja menjadi pembawa kuman yang dimungkinkan akan menjadi carrier dan mentransfer wabah ke tempat lain jika mereka pindah kesana. Mereka akan bergerak bebas dan berbaur dengan orang yang sehat, sehingga mereka dapat menyebabkan orang lain terserang penyakit. Rasulullah mencegah hal tersebut bahkan menjanjikan pahala syahid jika orang tersebut tetap tinggal dan meninggal karenanya.
Pada zaman modern, konsep karantina ini dibuat lebih sistematis dan detail melalui pembuatan Undang-Undang Karantina yang pertama dan dengan pendirian pusat karantina di Marseille, Perancis. Konsep ini terus berkembang hingga terselenggaranya International Sanitary Conference di Paris pada 1851 yang menghasilkan International Sanitary Regulation (ISR 1851). Tahun 1951 World Health Organization (WHO) mengadopsi regulasi yang dihasilkan oleh International Sanitary Conference. tahun 1969 WHO mengubah ISR yang dihasilkan oleh International Sanitary Conference menjadi International Health Regulations dan dikenal dengan IHR 1969 yang sekarang sudah direvisi menjadi IHR 2005.
Dengan demikian sistem karantina ini, diminta semua orang kota yang menderita wabah dicegah meninggalkan tempat tersebut, dan pengunjung juga dicegah masuk, sekarang sudah diberlakukan di seluruh dunia. Sesuatu yang telah diajarkan Islam jauh-jauh hari. Nah, siapakah yang memberitahu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang fakta ini? Bisakah seorang manusia tahu sesuatu seperti ini empat belas abad yang lalu, ataukah itu berasal dari wahyu Yang Maha Mengetahui?
Allah berfirman, “Dan katakanlah, “Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamau tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Naml:93).