Karena Kamu Laki-laki dan Aku Perempuan

Sekedar berbagi kisah, setitik kecil dari bagian warna-warni awal perjalananku saat mulai “berhijrah”. Ada banyak hal, yang dulu sering kulakukan, dan betapa aku bahagia bisa memilikinya. Bukan karena aku berbangga, namun karena aku merasa semua yang pernah kualami dan kumiliki selama ini adalah suatu pembelajaran berharga yang bisa mengantarkan aku sampai di titik ini.

Ini kisahku, Fenny, dan tiga sahabatku, Uchup, Nono, serta Faje.

Masih ingat sebelum tanggal itu, 12 Oktober 2009. Hilir-mudik aku rusuh menanyakan kepada Murabbi (guru) tentang pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Niatku sudah mantap, tekadku pun sudah bulat. Aku akan meninggalkan semua yang bertentangan dengan pilihanku, agamaku, Tuhanku, Rasulku.

“Jadi Fenny harus gimana kak?” tanyaku bingung.

Awalnya, aku bingung, tak ada yang merencanakannya hingga kemudian kami terikat dalam sebuah makna “sahabat”. Bahkan tak jarang, satu sama lain diantara kami saling bertanya, “Kenapa kita bisa ketemu ya? Trus, kenapa kita bisa jadi sahabatan gini? Awalnya gimana sih?” Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat kami mengagumi kuasa Tuhan, yang telah mempertemukan kami.

Dan Kuasa itulah yang lagi-lagi membuatku bingung, “Tuhan, kenapa ketiga sahabatku laki-laki semua?” Ngerusuhin rumahku, ngabisin pisang goreng mamaku, nyulik diriku kemana-mana, nonton Monster buaya, sampai nongkrongin penjual TahCamp (tahu campur) dan banyak kegilaan lainnya. Yang membuatku bingung harus beristighfar ataukah bersyukur dalam mengenangnya?

Dan rasanya aku pun tak kan mampu, untuk menyebutkan sedemikian banyak kenangan-kenangan itu. Mulai dari kelakuan kita yang biasa menyempatkan menatap bintang di manapun berada. Bukit Istana Kuning, JBS (Jembatan Bersama), sampai ditengah lapangan basket sekolah. Tergeletak membuat formasi lingkaran, sambil menunggu penampakan dari berbagai penjuru. Membicarakan tentang mimpi-mimpi, tentang hal-hal aneh dan nggak penting (kata Nono). Juga yang tidak kalah seru adalah, mencukur bukit Istana Kuning dengan menjadikannya sebagai tempat perosotan.

Masih ingat hari sebelum tanggal itu, 12 Oktober 2009. Dimana aku akan benar-benar membulatkan tekadku, meninggalkan segala yang bertentangan dengan pilihanku, agamaku, Tuhanku, dan Rasulku.

“Uy Fen, bentar lagi kam ulang tahun lok? Traktir-traktir lah? Awas kam kalo kaga traktir aku.” Faje mulai menyambar-nyambar dari seberang telepon.

“Traktir gimana? Wong kam aja ada di Palangka”

“Ya.. Barang apa kek, beliin pulsa kah. Atau apakah”.

“Hiih.. dasar rese!”

“Ih.. Traktir pokoknya! Atau gini aja, kam nelpon aku aja. Gimana?”

“Hmm.. Oke”

“Tapi selama 6 jam”

“Apa? 6 jam?”

“Iya, kam telpon aku selama 6 jam pokoknya”

Aku mulai berpikir, bukan karena pulsa, bukan karena bingung hendak membicarakan hal apa selama 6 jam itu. Tapi karena keputusanku, aku ingin menjadi seorang wanita yang terjaga iffah dan izzahnya. Wanita yang menjaga diri, hati, dan juga pergaulannya. Aku benar-benar bingung, dilema, sedang aku terbiasa melewati hari-hari bersama mereka.

“Tetap nggak boleh ya kak, meski temenan aja?”

“Boleh.. Siapa bilang nggak boleh temenan? Tapi tetap ada batasannya Fenny..”

“Batasannya apaan kak?”

“Ya.. mulailah dari mengurangi interaksi yang sekiranya kurang penting. Seperti nelpon berlama-lama, sering sms-an, jalan berduaan kemana-mana..”

“Tapi Fenny nggak berduaan kak, kita berempat”.

Dan sang Murabbi hanya membalas senyum. Memberiku kesempatan untuk mempertimbangkannya sendiri.

“Fenny biasa curhat sama mereka kak, mereka juga gitu”.

“Tapi kan Fenny punya teman-teman akhwat sekarang.. Jadi kalau ada apa-apa malah bisa lebih mudah berbagi kan?”

“Iya juga sih.. Tapi..” Aku kembali meragu.

“Yang kasihan itu hati kita Fenny, tidak menutup kemungkinan hati kita jadi memiliki kecenderungan terhadap mereka. Apalagi mereka bukan mahram kita.”

Ya, mereka laki-laki dan aku perempuan, kesimpulannya aku dan mereka bukan mahram. Dan dalam Islam sudah sangat jelas batasannya.

Pembelajaran pertamaku, aku belajar untuk melepas ketergantunganku dari mereka.

“Oke Je, besok aku telpon. Ada sesuatu yang pengen aku sampaikan..”

* * *
“Je..” Suaraku mulai lirih. Aku merasa ini seperti sebuah perpisahan. Ya, memang sebuah perpisahan untuk sebuah perbaikan. Seharusnya aku berbahagia ketika itu, karena aku hendak belajar untuk menjadi lebih baik. Namun menjadi lebih baik itu, tidak serta-merta langsung jadi begitu saja. Ada prosesnya, ada ujiannya, hingga ada titik dimana kemudian kita baru bisa memetik sebuah hikmah.

“Je..” ulangku sekali lagi.

“Hmm..”

“Nanti aku nggak bisa lagi telpon-telponan sama kalian kaya gini..”

“Lho, kenapa?”

Aku mulai bingung menyampaikannya

“Maaf Je.. Aku.. A..a..a ku…”

“Kenapa sih?”

“Aku ingin menjadi seorang wanita yang shalehah..”

“Terus?”

“Ya.. mau nggak mau, ya aku harus membatasi diri untuk bergaul sama kalian.”

“Oh..,” jawabnya pelan.

Apa? Faje hanya menjawab “Oh”? Apa maksudnya? Sebenarnya itu jawaban paham atau bingung?

“Aku nggak bisa nelpon-nelpon kalian kaya gini lagi..”

Air mataku mulai meleleh. Dan aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Faje di seberang sana. Aku benar-benar merasa ini adalah sebuah perpisahan. Walau sebenarnya kami memang sudah berpisah karena melanjutkan sekolah di universitas masing-masing di berbagai kota. Tapi perpisahan itu, bukan seperti ini. Bukan, sedikit pun aku tak menyedihkan perpisahan kami beberapa minggu yang lalu. Karena kami merasa tetap bisa saling berkomunikasi, telpon-telponan, saling sms-an, chatingan, dan lain sebagainya. Tapi kali ini? Aku benar-benar menangis sejadi-jadinya. Aku tak sanggup. Entahlah, seperti sesuatu yang konyol.

Dan masih dalam tangis, aku mengucapkan berbagai macam uraian, berharap Faje mau mengerti tentang pilihanku. Berharap Faje mengerti dengan apa yang kumaksud, mulai dari jangan sering-sering sms atau telepon kecuali untuk hal-hal penting, mulai dari nggak jemput aku lagi, dan lain sebagainya.

Dan masih dengan menangis pula, aku sesunggukan mengucapkan berbagai macam wejangan buat Faje. Ya, buat Faje. Karena memang yang pertama kali kusampaikan mengenai hal ini adalah Faje.

“Faje, baik-baik disana ya.. Pokoknya, jangan sampai terpengaruh dengan pergaulan.” Bla bla bla bla bla. Benar-benar 6 jam, aksi telpon-telponan saat itu.

Namun, lagi-lagi tidak semua langsung berubah. Lagi-lagi secara bertahap aku harus tetap mencoba memahamkan mereka dengan keadaanku. Pernah suatu ketika Faje hendak menemuiku di sebuah terminal Bus.

“Uy, kam dimana sekarang posisi? Kalau dah nyampe bilang lah?”

“Faje..”

“Apa?”

“Kayanya kita nggak bisa ketemu..”

“Kenapa? Kamu nggak kesini kah?”

“Bukan..”

“Terus?”

“Kita ketemunya cuma berdua, aku nggak enak dilihat sama orang. Ntar dikira apa-apa, aku cewek sendiri jilbaban gede gini ketemuan sama laki-laki. Ntar malah jadi fitnah.”

“Oh.. gitu kah? Ya sudah kalau gitu. Hati-hati di jalan lah?”

“Iya, hati-hati di jalan juga ya Je”

“Ya..”

“Assalamu’alaykum”

“Wa’alaykumssalam”

Klik, sambungan terputus. Dan air mataku kembali menetes. Lagi-lagi menangis, di dalam bus.

Aku menangis, karena sebenarnya rindu dan ingin bertemu dengan sahabatku itu. Tapi.. tidak. Maaf.

Pernah pula, ketika hendak sampai di sebuah kota. Sms Faje kembali datang,

“Uy, kam dah sampai belum? Ada yang jemput nggak? Aku jemput kah?”

Hingga sampai pertanyaan Nono, yang kutahu dalam diamnya ia mencoba untuk mengerti tentang pilihanku.

“Te, kalau Aisyah berteman nggak sama sahabat Rasulullah?”

“Ya bertemanlah No.. tapi tetep ada batasannya. Kalau sahabat mau tanya tentang hadist Rasulullah, terkadang tanya sama Aisyah, minta pendapat sama Aisyah. Dan bener-bener seperlunya aja..”

“Oh.. Semangatlah Te!”

“Iya No.. walau kita jalannya sekarang beda-beda. Tapi kita tetap sahabatan kan No?”

“Selamanya..”

* * *
Dan kini, setelah semua perlahan terlewati, mulai mengerti dengan segala kondisi. Meski kadang Uchuph, masih sangat teramat sering lupa untuk tak perlu berjabat tangan denganku.

“Te, pokoknya Uchuph nggak setuju kalau Kote kaya Cici. Terlalu Ekstrem. Masa jabat tangan aja dia ngga mau.”

Dan kemudian Nono dengan bijaksana memberikan pemahaman ini dan itu kepadanya tanpa kuminta.

Sekarang, setiap lebaran, aku menunggu kalian untuk bersilaturahmi, sungkem sama Mamaku.

Kalian, cepat nikah ya. Agar setelahnya, kita bisa ke Mekkah bareng-bareng.

* * *
Dan pernah ada, dalam waktu-waktu yang kulewati. Aku pernah menyalahkan kalian. Merasa kalian pergi menjauhiku, padahal aku yang telah memintanya terlebih dahulu. Sempat tersiksa karena merasa kalian begitu jauh, namun bukan Allah namanya kalau tidak memberikan sesuatu tanpa hikmah.

Sebelum aku belajar untuk menjaga batasan-batasan dengan yang ‘bukan mahram’ ku yang lain. Aku diminta Allah untuk menjalani ujian itu melalui kalian. Alhamdulillah. Insya Allah, ini hanyalah salah satu bagian kecil dari hikmah mengapa Allah pertemukan kita dulu.

“Semua orang yang ada dalam hidup kita, masing-masingnya, bahkan yang paling menyakiti kita diminta untuk ada disana agar cahaya kita dapat menerangi jalan mereka.” Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah.

FUN (Fenny, Faje, Uchuph, Nono)

“Coba kalian itu jadi cewek aja, kan sama kita jadinya.”

Faje menyahut, “Enak aja, kam kan cewek sendiri, kam aja yang jadi cowok.”

Si Uchuph, “Tenang Te, Kote nggak usah cari pacar. Kan ada kami bertiga…”

Nono, “Oya Te, kalau kam ntar nikah. Suami kam gimana ya sama kami?”

Dalam kenangan..

Oleh: Fenny Oktapriyani, Pangkalanbun
BlogFacebookTwitter

catatan:

– kam : ‘kamu’ dalam dialek setempat