Seorang ustadz memberi nasihat agar dalam setiap rumah tangga hendaknya cinta dibangun di atas pernikahan, dan bukan sebaliknya. Jika cinta dibangun di atas pernikahan, maka ia mendapat landasan yang sah dan dibenarkan oleh agama. Namun jika pernikahan dibangun di atas cinta, entah cinta yang bagaimana yang dijadikan landasan, sebab sejak awal tidak jelas aturan mana yang menuntun cinta itu.
Dahulu ada ungkapan “cinta itu buta”, kini malah ada yang berseru bahwa “cinta takkan salah”. Dulu, orang masih mau mengaku terus terang bahwa cinta dalam hati bisa saja salah sasaran, karena ia buta. Sekarang, orang sudah terlanjur Haqqul Yaqiin pada cinta, sehingga sikapnya pada cinta sudah sama seperti sikap seorang Muslim pada Al-Qur’an; laa rayba fiihi (tiada keraguan di dalamnya).
Islam memang mengajari manusia untuk membangun cinta di atas pernikahan. Menikah dulu, baru bicara cinta. Kalau belum menikah, tak perlu lancang bicara cinta. Pernikahan adalah satu-satunya institusi sah yang menaungi cinta dari sepasang manusia. Agama mengatur dengan tegas aturan-aturan pernikahan; ada mahar, ada ijab-qabul, ada saksi. Yang mendahului semua itu tentunya adalah kesepakatan, yaitu sepakat untuk menjadikan agama sebagai penuntun. Jika menikah berdasarkan Islam, maka rukunnya begini dan begitu. Kewajiban suami menurut Islam adalah begini-begitu, kewajiban istri menurut Islam adalah ini dan itu. Akhlaq pada suami atau istri menurut Islam begini, akhlaq pada anak-anak begitu, dan akhlaq pada mertua begini dan begitu.
Bayangkan jika tidak pernah ada kesepakatan sebelumnya. Yang penting cinta; saya cinta dia, dia cinta saya. Saya suka sikapnya yang begini-begitu, dia suka sikap saya yang begini-begitu. Padahal sebelum menikah keduanya sama-sama jaim. Setelah menikah, baru keluar semua sifat aslinya. Ketika terjadi masalah, karena sejak awal tidak ada kesepakatan untuk mengikuti tuntunan agama, maka sibuklah mereka bertengkar. Menurut suami begini, maunya istri begitu. Kecenderungan suami begini, tapi istri ngotot ingin begitu. Suami sifatnya begitu, istri tak mau tahu. Istri senangnya begini, suami sebodo amat. Padahal Islam sudah mengajarkan cara berumah tangga yang baik, menyenangkan pasangan, menjaga perasaannya, menerima kekurangannya, mengompromikan hal-hal yang bisa dikompromikan, dan seterusnya.
Pada titik ini, mungkin Antum merasa heran mengapa judul artikel ini sama sekali tidak menyebut soal cinta. Memang poin penting yang dibicarakan di sini bukanlah soal cinta, karena cinta itu alamiah saja dan sudah terlalu jelas untuk dijelas-jelaskan. Cinta tidak perlu penjelasan. Yang dibutuhkannya adalah tuntunan. Sekarang pertanyaannya, sejauh apa komitmen kita untuk mematuhi tuntunan tersebut? Cinta tidak lain hanyalah satu dari sekian banyak masalah dalam hidup.
Dalam peradaban Barat yang sudah terlanjur sekuler, kebenaran dianggap sebagai hal yang relatif. Menurut Anda benar, menurut orang lain belum tentu. Untuk segala ketidaksetujuan, tidak diperlukan alasan yang bernas. Artinya, orang boleh saja tidak setuju, meski tanpa alasan bisa dicerna oleh akal sehat. Kalau kita katakan minuman keras itu haram, tidak boleh dikonsumsi karena kita punya data seribu satu keburukannya, maka orang lain boleh saja menampik semua data tersebut hanya dengan alasan bahwa kebenaran itu relatif. Akhirnya, negara-negara sekuler tak mampu melarang masyarakatnya untuk mengkonsumsi minuman keras, walaupun mereka juga tak bisa menjelaskan secara ilmiah mengapa zat berbahaya semacam itu harus dikonsumsi. Akhirnya mereka buatlah peraturan; kalau mabuk tak boleh menyetir. Tapi tetap saja kecelakaan lalu lintas akibat mabuk menempati posisi tertinggi di negara-negara semacam itu. Belum lagi kasus-kasus kecelakaan lainnya, kekerasan dalam rumah tangga dan seterusnya, yang penyebabnya sama-sama miras.
Kalau manusia modern dengan yakinnya berkata bahwa kebenaran itu relatif, maka kini telah tiba era post-modern yang ditandai dengan penolakan terhadap kebenaran itu sendiri. Manusia sibuk berfilsafat, awalnya mencari kebenaran, namun kini malah menolak untuk mengakui bahwa kebenaran itu ada. Tidak ada yang benar atau salah, yang ada hanya kesepakatan. Kalau Kongres AS sepakat bahwa menginvasi Irak dan Afghanistan itu perlu dilakukan, maka hal itu bisa dilakukan. Bukan soal benar dan salah, karena setiap orang hanya merepresentasikan dirinya masing-masing. Urus urusan sendiri, tak usah pikirkan orang lain. Kalau ada kepentingan bersama, bolehlah berkompromi, asalkan ada win-win solution.
Dalam dunia yang semakin sekuler ini, kita melihat dengan jelas bahwa kebenaran itu semakin dibuat buram, bahkan hendak dihapus sekalian. Jika dulu orang sibuk memperdebatkan kebenaran, maka kini orang hanya memperjuangkan kepentingan masing-masing. Puluhan tahun hidup di dunia, mungkin baru di akhir hayatnya sajalah jiwa-jiwa sekuler ini mau berpikir tentang kebenaran.